Mongabay.co.id

Laporan Ungkap Polusi Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara

Polusi dari kendaraan pribadi di Jakarta, jadi sumber polusi. Belum lagi ditambah polutan dari PLTU, yang mengungkung Jakarta, dalam radius 100 km, turut berkontribusi meningkatkan konsentrasi PM2,5. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

”Jakarta Butuh Udara Besih.” ”Jakarta #1 PM 2,5 Terburuk Asia Tenggara.”

Begitu spanduk yang dibentangkan Greenpeace di depan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Manggala Bhakti, Jakarta. Hanya hitungan menit, sekuriti meminta mereka menurunkan spanduk.

Greenpeace juga memberikan trofi berbentuk Tugu Selamat Datang kepada KLHK, yang diterima Fery Santoso, Kepala Bagian Rumah Tangga Biro Umum Sekretariat KLHK.

Aksi pagi itu, Selasa (5/3/19), merespon laporan soal kualitas udara dunia 2018 AirVisual IQAir yang menyatakan, polusi udara di Asia, sudah sangat krisis. Jakarta, sebut laporan itu, jadi kota paling terpolusi di Asia Tenggara.

Berdasarkan laporan itu, polusi udara diperkirakan menelan korban sekitar 7 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahun dan menimbulkan kerugian ekonomi.

”Jakarta sebagai ibukota negara kita masuk 10 besar dunia. Untuk Asia Tenggara, Indonesia memiliki kualitas udara PM 2,5 terburuk nomor satu rata-rata tahunan 2018,” kata Bondan Andriyani, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, usai aksi merespon laporan berjudul World Air Quality Report 2018 itu.

Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Buruk, Warga Ramai-ramai Gugat Pemerintah

Jakarta dan Hanoi, dilaporkan dua kota paling terpolusi di Asia Tenggara. Laporan itu mengindikasi konsentrasi rata-rata tahunan particulate matter (PM) 2,5 tahun 2018 mencapai 45,3 µg/m3, sedang Hanoi, 40,8 µg/m3. Artinya, konsentrasi PM 2,5 di Jakarta sampai empat kali lipat dari batas aman tahunan menurut standar WHO, yakni 10 µg/m3. Angka itu, melebihi batas aman tahunan, menurut standar nasional pada PP Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yakni 15 µg/m3.

”Kami menerima simbolis laporan kualitas udara di Jakarta. Kami akan sampaikan ke pimpinan dan menindaklanjuti kepada Direktorat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan,” kata Fery.

Surat dan simbol yang disampaikan Greenpeace ini, katanya, akan mereka diskusikan secara teknis dan kompeten dari direktorat terkait. Dia berjanji, aspirasi ini pun disikapi KLHK, baik melalui surat maupun audiensi.

Berdasarkan data rata-rata tahunan Jakarta, paling tinggi 72,5 µg/m3 pada Juli dan paling rendah 14 µg/m kubik pada Januari. Sedangkan, wilayah tertinggi Jakarta Selatan mencapai 42,2  µg/m3 dan Jakarta Pusat 37,5 µg/m3. Angka ini meningkat dari konsentrasi rata-rata pada 2017, sebesar 26,9 µg/m3 (Jakarta Selatan) dan 27,6 µg/m3 (Jakarta Pusat).

Peningkatan kendaraan pribadi di Jakarta, setiap harinya jadi salah satu penyebab kualitas udara menjadi buruk. Belum lagi, sumber polutan lain, seperti PLTU, yang mengungkung Jakarta, dalam radius 100 km, turut berkontribusi meningkatkan konsentrasi PM2,5.

Berdasarkan pemodelan Greenpeace, PLTU batubara yang beroperasi itu dapat berkontribusi 33-38% dari konsentrasi PM2.5 harian di Jakarta, pada kondisi terburuk.

PM2,5 ini campuran partikel padat dan cair berdiameter 2,5 mikrometer atau lebih kecil yang mengambang di udara. Bahkan, partikel ini sangat rentan dalam meningkatkan risiko penyakit, seperti, kanker paru-paru, stroke, serangan jantung dan penyakit pernapasan, termasuk asma.

”Pengukuran PM 2,5 ini sangat penting karena sangat karsiogenik dan berbahaya. Dampaknya lebih pada jangka panjang,” katanya.

 

Aksi Greenpeace di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merespon laporan World Air Quality Report 2018 itu menyebut, udara Jakarta, terburuk di Asia Tenggara. Foto: Lusia Arumingtyas/ Jakarta Indonesia

 

 

Standar ukur polusi udara lemah

Hingga kini, pemerintah Indonesia masih belum memiliki stasiun pemantau kualitas udara PM 2,5. Padahal, berdasarkan aturan PP No.41/1999, memuat baku mutu kualitas udara PM 2,5. Bondan menyayangkan, pemerintah masih mengabaikan dan lebih berpegang pada Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU).

Berdasarkan 44 kota di Asia Tenggara, yang terdata, 12 kota memiliki polusi PM2,5 lebih tiga kali lebih tinggi dari pedoman WHO, termasuk kota di Indonesia Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Kualitas udara di Kota Jakarta, pernah sama dengan Kota Bangkok, Thailand, pada Juli dan Agustus. Di Bangkok, pencemaran udara ini mendapat respon serius pemerintah dengan menutup ratusan sekolah dan menyemprotkan air di udara dengan drone.

Berbeda di Indonesia, pemerintah masih menyangkal konsentrasi PM2,5 sudah berbahaya dan menyatakan udara Kota Jakarta, masih kategori sehat.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jakarta, 16 kecamatan di Kota Jakarta, mengalami kasus terbesar infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dampaknya, 58.3% penduduk di Jakarta, mengeluarkan biaya kesehatan Rp51.2 triliun karena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara selama 2016.

Paparan polusi PM 2,5 ini pun dapat menurunkan rata-rata harapan hidup global hingga 1,8 tahun. Artinya, jika semua orang memiliki udara bersih, akan hidup rata-rata 1,8 tahun lebih lama.

Yeb Sano, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, polusi udara mematikan mata pencaharian dan masa depan manusia.

Dengan perkiraan kerugian US$225 miliar dari kehilangan produktivitas dalam bekerja, belum lagi triliunan dolar membebani sistem medis, ini memiliki dampak sangat besar. “Tidak hanya pada kesehatan semua, juga keadaan keuangan kita semua.”

Dia berharap, laporan ini membuat masyarakat lebih sadar akan udara yang mereka hirup, memahami kualitas udara dan bertindak untuk melindungi diri.

Frank Hammes, CEO IQAir mengatakan, laporan kualitas udara dunia 2018 berdasarkan pada tinjauan, kompilasi dan validasi data dari puluhan ribu stasiun pemantauan kualitas udara di seluruh dunia.

“Sekarang semua orang dengan ponsel memiliki akses gratis ke data ini melalui platform AirVisual. Ini juga mendorong permintaan untuk pemantauan kualitas udara di kota-kota atau wilayah di mana tidak ada data publik tersedia.”

Masyarakat dan organisasi dari California hingga Kabul, katanya, melengkapi upaya pemerintah dengan jaringan pemantauan kualitas udara yang terjangkau oleh mereka sendiri, dan memberi semua orang akses ke informasi lebih lokal.

 

Pemandangan di sekitar Jakarta Selatan dari ketinggian, tampak asap menyelimuti sekelilng pemukiman. Riset Greenpeace memperlihatkan udara Jabidetabek, buruk dan membahayakan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

India dan Bangladesh, paling tercemar di dunia

Laporan dirilis Greenpeace dan perusahaan perangkat lunak IQAir AirVisual, mengatakan, 22 dari 30 kota memiliki polusi tertinggi di dunia, berada di India, lima kota di Tiongkok, dua di Pakistan dan satu di ibukota Bangladesh, yakni Dhaka.

Secara jumlah kota, katanya, India, mendominasi sebagai negara tercemar, namun kalau dikaitkan populasi, Bangladesh, menempati urutan pertama negara terpolusi di dunia, diikui Pakistan dan India. Dalam 20 besar, untuk wilayah Asia, Indonesia, urutan 11, Vietnam 17 (32,9 µg/m3).

Baca juga: Bakal Perburuk Kualitas Lingkungan, Koalisi Tolak Pembangunan Enam Ruas Tol Jakarta

Ada lebih 3.000 kota dianalisis dalam laporan itu dari seluruh dunia, 64% melebihi pedoman paparan tahunan WHO, 99% kota di Asia Selatan, 95% kota di Asia Tenggara, 89% kota di Asia Timur, melampaui level ini.

Dia bilang, masih banyak daerah kekurangan informasi kualitas udara publik terkini, hingga tak dapat terwakili dalam laporan ini. Mereka memperkirakan, banyak kota jauh lebih tinggi melebihi ambang PM 2,5.

Laporan itu memprediksi, Jakarta, berisiko segera menyusul kota-kota besar di Tiongkok, yang terkenal tercemar. Apalagi, konsentrasi rata-rata PM2,5 kota-kota di Tiongkok, mulai turun 12% dari 2017 ke 2018.

Sedangkan di Amerika Serikat dan Kanada, meski kualitas udara rata-rata baik dalam perbandingan global, kebakaran hutan memiliki dampak signifikan pada Agustus dan November lalu, dengan 5-10 kota paling tercemar di dunia selama Agustus ditemukan di Amerika Utara.

Sama dengan Indonesia, rentan kebakaran hutan dan lahan. Kondisi inipun kemungkinan kota lain memiliki angka konsentrasi rata-rata PM2,5 yang mengkhawatirkan. Sayangnya, stasiun pemantau hanya ada di Jakarta.

 

Kendaraan bermotor begitu banyak di Jakarta, salah satu kontributor polusi udara . Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Daya rusak polusi dan urgen stasiun pemantau

Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, pemerintah Indonesia masih menyangkal konsentrasi PM 2,5 sudah berbahaya dan menyatakan udara Kota Jakarta masih kategori sehat.

Seharusnya, pemerintah segera memperkuat standar pengukuran polutan dan memperbanyak stasiun pemantauan kualitas udara. “Ini hal sangat mendesak dilakukan pemerintah Indonesia,” katanya.

Menurut Bondan, konsentrasi PM2,5, perlu jadi perhatian utama dan global. Harapannya, polusi udara jadi salah satu prioritas ditangani. ”Masalahnya, hingga kini bicara regulasi udara, masih pakai ISPU, indeks itu belum menghitung parameter PM2,5.”

ISPU, katanya, tak mengakomodir parameter PM2,5. Terlebih, pemerintah belum ada stasiun pemantau PM2,5 yang bisa terakses publik mudah dan langsung.

”PP 41/1999 itu sebenarnya harus di-review setiap lima tahun, sejalan perkembangan ilmu dan teknologi, riset akademis atas dampak pencemaran udara bagi kesehatan. Itu belum dilakukan,” katanya.

Selain itu, Permen LH No 21/2008 yang mengatur baku mutu emisi (BME) PLTU batubara di Indonesia, dinilai masih sangat lemah dibandingkan BME PLTU batubara dari negara lain, seperti Tiongkok, India, Eropa dan Amerika Serikat.

Yeb Sano menambahkan, perlu ada tindakan nyata pemerintah daerah dan nasional mengatasi dampak polusi udara. Salah satu, katanya, menyediakan infrastruktur pemantauan dan pelaporan yang memadai.

Hal penting perlu jadi perhatian, katanya, berbagai pihak harus berpikir serius tentang kesehatan dan perubahan iklim dengan memastikan transisi adil dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. “Sambil memberi tahu jelas bagaimana kualitas udara kita, hingga dapat mengambil langkah-langkah mengatasi krisis kesehatan dan iklim ini,” kata Sano.

Penyebab umum di seluruh dunia yang paling nyata, adalah pembakaran bahan bakar fosil, batubara, minyak dan gas.

Pemerintah, katanya, hanya perlu menetapkan target dalam rencana aksi untuk membawa kualitas udara ke level yang dapat diterima sesegera mungkin. Juga segera mengurangi emisi pencemar udara di daerah-daerah dengan beralih ke sumber energi terbarukan yang bersih, sistem transportasi berkelanjutan dan memperkuat standar emisi maupun penegakan untuk pembangkit listrik, industri, kendaraan dan sumber emisi utama lain.

 

Keterangan foto utama:      Aksi Greenpeace di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Laporan World Air Quality Report 2018 itu menyebut, konsentrasi rata-rata tahunan particulate matter (PM) 2,5 tahun 2018 mencapai 45,3 µg/m3, sedang Hanoi, 40,8 µg/m3. Artinya, konsentrasi PM 2,5 di Jakarta sampai empat kali lipat dari batas aman tahunan menurut standar WHO, yakni 10 µg/m3. Angka itu, melebihi batas aman tahunan, menurut standar nasional pada PP Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yakni 15 µg/m3.

 

Polusi dari kendaraan pribadi di Jakarta, jadi sumber polusi. Belum lagi ditambah polutan dari PLTU, yang mengungkung Jakarta, dalam radius 100 km, turut berkontribusi meningkatkan konsentrasi PM2,5. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version