Mongabay.co.id

Begini Rusaknya Hutan Mangrove di Kabupaten Banggai

 

 

Pertengahan Oktober 2018. Belum genap sebulan pasca gempa Palu, Sigi, dan Donggala, terjadi ketegangan antara sejumlah nelayan dan seorang imam masjid di Desa Lambangan, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Nelayan-nelayan tersebut geram. Sebabnya, hutan mangrove di pesisir desa yang mereka jaga, dibuka menjadi areal tambak.

Pembukaan kawasan hutan mangrove itu awal mulanya dilihat oleh Lutfi Bullah, ketua kelompok Daerah Perlindungan Laut (DPL) ketika melakukan patroli. Ia mendapati aktifitas pembukaan kawasan hutan mangrove oleh imam masjid menjadi tambak sepanjang 6 meter.

Lutfi dan beberapa anggota kelompoknya protes. Pasalnya, lokasi itu merupakan zona inti DPL. Sebelumnya penetapan DPL melewati proses panjang dan kesepakatan bersama. “Karena terjadi ketegangan, pekerjaan pembuatan tambak itu dihentikan,” ungkap Lutfi kepada Mongabay Indonesia, awal Maret 2019.

Dalam pertemuan di balai desa bersama kepala desa, Lutfi menjelaskan aturan DPL sejak Desember 2017. Salah satu kesepakatan adalah membuat sistem zonasi. Dimana zona inti yang meliputi terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove dilarang melakukan aktifitas apapun. Dan untuk menjalankan aturan tersebut, maka dibuatlah kelompok DPL.

“Setelah pertemuan itu ketegangan mulai mereda. Pak imam masjid sudah minta maaf,” ungkapnya.

baca :  Lambangan dan Uwedikan, Desa yang Merancang Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

 

Kondisi hutan mangrove yang ada di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto : Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Namun kelompok DPL tersebut masih khawatir karena payung hukum yang mereka harapkan untuk melindungi DPL yaitu Peraturan Desa (Perdes), belum juga keluar. Saat ini draft rancangan perdes belum ditetapkan. Mereka khawatir adanya berkepentingan pembukaan tambak dalam draft perdes.

“Sampai dengan saat ini kami terus memantau hutan mangrove jangan sampai ada lagi yang membuka kawasan di wilayah kita, sambil menunggu Perdes disahkan,” ujar Lutfi.

 

Kondisi Mangrove

Berdasarkan kajian ekosistem mangrove yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekologi Pesisir dan Kearifan Lokal (PKEPKL) Universitas Negeri Gorontalo (UNG) kerjasama dengan Perkumpulan Japesda Gorontalo, kawasan mangrove di Kabupaten Banggai mengalami penurunan kualitas yang cukup parah baik dari segi tutupan lahan, keanekaragaman spesies, dan jumlah individu mangrove-nya.

Tingkat kerusakannya karena kegiatan alih fungsi lahan menjadi tambak, pemukiman, pengambilan kayu untuk kayu bakar, untuk pembuatan perahu, bahan bangunan, dan kebutuhan lainnya.

PKEPKL UNG dan Japesda melakukan survei mangrove khususnya di Kecamatan Pagimana Desa Lambangan, dan Kecamatan Luwuk Timur, Desa Uwedikan, serta kecamatan lainnya yang diamati secara visual di Kabupaten Banggai. Dalam laporan tersebut luas wilayah mangrove di Kabupaten Banggai adalah 7,387 hektar dan 5,652 hektar diantaranya rusak berat.

Sementara di Kecamatan Luwuk Timur, luas mangrove 350 hektar dan 209 hektar diantaranya rusak berat. Demikian juga di Kecamatan Pagimana, yang luas mangrovenya 762 hektar dan 605 hektar diantaranya rusak berat.

baca juga :  Mangrove di Gorontalo Ikut Menyusut, Begini Kondisinya

 

Mangrove dengan perakarannya yang melindungi area pesisir pantai. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Nur Ain Lapolo, Direktur Perkumpulan Japesda Gorontalo dan juga peneliti dari PKEPKL UNG menjelaskan, gangguan terhadap hutan mangrove pada umumnya karena pengambilan kayu untuk bahan bangunan dan pembukaan tambak, walaupun sebagian besar tambak sudah tidak berfungsi.

Masyarakat di Desa Lambangan dan Desa Uwedikan belum memiliki kepedulian tantang pentingnya menjaga dan mempertahankan fungsi hutan mangrove. Masyarakat hanya tahu mengambil hasil hutan mangrove yang dijadikan sebagai kayu bakar dan pagar, namun masih sulit melakukan rehabilitasi lahan.

Ain menyebutkan, ketika dilakukan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat, sebenarnya usaha dalam melakukan rehabilitasi sudah pernah dilakukan dalam bentuk pengadaan bibit dan penanaman, yang didukung Pemkab Banggai dibawah koordinasi Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD).

Menurutnya warga mengakui telah terbentuk kelompok-kelompok penyedia bibit, tetapi aktitivas kelompok tidak berlanjut. Akhirnya usaha pembibitan menjadi usaha perseorangan yang komersial dan partisipatif masyarakat menurun.

Hasil survey menunjukkan masyarakat Desa Lambangan dan Desa Uwedikan mengambil kayu mangrove jenis Rhizophora tegakan muda, dan Ceriops tagal untuk kebutuhan kayu bakar dan diperjualbelikan ke desa lainnya.

“Bahkan banyak warga desa tetangga datang menebang pohon Ceriops tagal dan Rhizophora di desa Uwedikan dan desa Lambangan untuk kebutuhan kayu bakar.”

Warga juga masih banyak mengambil kayu Soneratia alba dan Xylocarpus granatum sebagai bahan baku pembuatan perabot rumah tangga. Kayu yang diambil dari usia tua dan memiliki ukuran batang yang tinggi untuk tiang utama konstruksi rumah. Sementara di Desa Lambangan ditemukan hampir semua rumah menggunakan kayu Ceriops tagal sebagai bahan baku pembuatan pagar rumah.

Fakta di lapangan, ujar Ain, menunjukkan tekanan ekosistem mangrove terus meningkat. Sementara rehabilitasi lahan masih sangat minim, dan tidak sebanding dengan laju konversi lahan di hampir semua wilayah.

baca juga :  Mangrove, Ekosistem Penting Langka yang Semakin Terancam

 

Mangrove yang penting sebagai pelindung dari abrasi dan banjir rob. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Kehadiran Perusahaan

Selain itu ada beberapa lokasi yang beralih fungsi karena dikelola perusahaan. Seperti di Desa Petak Kecamatan Nuhon, dan Desa Toyiba kecamatan Bualemo, sehingga upaya rehabilitasi akan sulit dilakukan di wilayah tersebut.

Bahkan ada kawasan mangrove yang telah berubah menjadi kawasan perkebunan sawit, seperti di wilayah kecamatan Toili dan Toili Barat.

Perkebunan sawit tersebut, jelas Ain, mengubah fungsi mangrove, secara ekologis seperti pada rantai makanan, rantai energi, dan siklus biogeokimia. Hutan mangrove tidak lagi berfungsi untuk tempat pemijahan ikan dan udang.

Perlu dilakukan perencanaan penggunaan lingkungan untuk mengetahui dan mengkaji kesesuaian lahan yang dapat dijadikan sebagai lahan perkebunan sawit tersebut. Karena struktur tanah akan berubah dan mungkin tercemar bahan-bahan kimia dari pupuk untuk sawit.

“Jika penebangan hutan mangrove terus dilakukan baik secara legal maupun ilegal, diperkirakan dalam kurun waktu 20-30 tahun populasi mangrove di Kabupaten Banggai akan menurun drastis,” tegas Ain.

 

Potensi Mangrove di Banggai

Di Kabupaten Banggai ditemukan 50 jenis mangrove yaitu 25 jenis mangrove sejati, dan 25 jenis mangrove asosiasi. Satu jenis mangrove yang langka dan terancam punah ditemukan di lokasi yaitu Scyphiphora hydrophyllacea. Sebaran Scyphiphora hydrophyllacea hanya ditemukan di Desa Tingki-tingki, Kecamatan Batui Selatan, dan Desa Uwedikan, yaitu di Pulau Balean dan Pulau Potean, Kecamatan Luwuk Timur.

“Desa Uwedikan dan Desa Tingki-tingki terdapat jenis vegetasi mangrove yang dikategorikan hampir punah yakni Scyphipora hydrophyllacea. Sedangkan di Desa Lambangan yakni spesies Sonneratia ovata. Kedua jenis ini merupakan status rentan dan dalam pengelolaannya perlu perhatian yang lebih khusus, sehingga kelestarian jenis ini tetap terjaga dimasa mendatang,” jelas Ain.

Juga ditemukan hewan kepiting Scyilla serrata, beberapa jenis reptil seperti ular dan kadal, serta ditemukan pula satwa yang dilindungi di kawasan mangrove yang terdapat di Desa Uwedikan.

 

Hutan mangrove yang melindungi pesisir pantai dari abrasi, selain tempat berpijah berbagai jenis ikan dan spesies laut lainnya. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Hasil kajian menunjukkan kawasan mangrove berpotensi besar menunjang perekonomian masyarakat, dengan pemanfaatan hasil hutan berupa sumber bahan pangan, pakan ternak, bahan obat-obatan tradisional, pemanfaatan daun nipah, tempat penangkapan ikan, udang, dan kerang, serta untuk kepentingan sosial budaya berupa pariwisata dan pendidikan.

Diperlukan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang berkelanjutan, dalam bentuk pelestarian, rehabilitasi lahan terdegradasi, peningkatan daya dukung lingkungan pesisir, penataan ruang dan integrasi antar sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia di wilayah pesisir, serta peningkatan peran serta masyarakat.

Sedangkan bagi Lutfi Bullah, dengan adanya kelompok DPL, merupakan upaya membangun peran serta masyarakat dalam memulihkan kondisi pesisir laut, baik itu terumbu karang atau hutan mangrove yang ada di Desa Lambangan Kecamatan Pagimana.

“Kesadaran masyarakat saat ini sudah terbangun untuk melindungi pesisir laut kami dari praktek penangkapan ikan dengan cara merusak dan pembukaan kawasan hutan mangrove,” tambahnya

 

Exit mobile version