Mongabay.co.id

Kerja Sama Internasional Ancam Kehidupan Nelayan Tradisional?

 

 

Masa depan sektor perikanan tangkap dikhawatirkan akan terpuruk jika tidak dilakukan koreksi dan penanganan yang benar dari sekarang. Kekhawatiran itu muncul, karena Indonesia saat ini terlibat dalam kerja sama ekonomi dan perdagangan di kawasan ASEAN dengan enam negara mitra ekonomi dan juga tiga negara Asia Timur, yaitu Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan.

Kerja sama yang melibatkan sembilan negara tersebut, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, dikenal dengan nama Regional Comprehensive Economie Partnership (RCEP) dan pada akhir Februari lalu baru saja melangsungkan perundingan di Nusa Dua, Bali, Indonesia.

Susan menjelaskan, sebagai wadah kerja sama ekonomi dan perdagangan, RCEP diarahkan untuk menjadi pasar perdagangan bebas terbesar di dunia. Untuk itu, dalam setiap perundingan yang dilaksanakan, isu yang diangkat tidak hanya mencakup perdagangan barang dan jasa saja. Melainkan juga, perlindungan investasi dan mekanisme penyelesaian sengketa.

“Dan juga tentang e-commerce, government procurement, serta perlindungan hak kekayaan intelektual,” tutur dia, di Jakarta, akhir pekan lalu.

baca :  Sudah Tepatkah Kebijakan Pemerintah di Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Pertemuan Regional Comprehensive Economie Partnership (RCEP) di Nusa Dua Bali, akhir Februari 2019. Kerja sama RCEP di bidang ekonomi dan perdagangan di kawasan ASEAN dengan enam negara ASEAN dan Jepang, Tiongkok, serta Korea Selatan. Foto : aec.ekon.go.id/Mongabay Indonesia

 

Di antara bahasan-bahasan tersebut, Susan menyebutkan, RCEP menginisiasi negara-negara yang terlibat kerja sama untuk melaksanakan liberalisasi jasa perikanan tangkap. Melalui kerja sama tersebut, negara-negara yang terlibat akan bisa melakukan penangkapan ikan di perairan negara-negara tersebut. Termasuk, perairan Indonesia yang akan menjadi wilayah tangkapan ikan bagi sembilan negara tersebut.

Menurut Susan, kerangka kerja sama yang dibuat dalam RCEP tersebut jelas akan berdampak buruk pada sektor perikanan tangkap nasional dan sekaligus wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan adanya kebebasan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia, itu akan mengancam keberlangsungan hidup jutaan nelayan tradisional yang selama ini menggantungkan hidup mereka pada sumber daya perikanan.

“Nelayan tradisional harus bersaing dengan kapal-kapal besar penangkap ikan negara-negara RCEP. Selain itu, kebijakan tersebut akan berdampak pada eksploitasi sumber daya alam perikanan Indonesia,” katanya.

Dengan kata lain, Susan melihat bahwa perundingan RCEP yang sudah dilaksanakan tidak akan memberikan dampak yang baik bagi kehidupan delapan juta nelayan tradisional di Indonesia. Di sisi lain, perundingan itu, justru menjadi ancaman sangat serius bagi kedaulatan Negara dan juga masyarakat pesisir dan Indonesia.

 

Ancaman Investasi

Dengan melaksanakan liberalisasi jasa perikanan tangkap, Susan menyebut bahwa jalan investor untuk menancapkan bisnisnya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di sektor pariwisata bahari akan semakin mudah. Terlebih, saat ini Pemerintah Indonesia sedang giat mendorong investasi di bidang pariwisata yang dibalut dalam nama Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang tersebar di 10 lokasi.

“Dari 10 lokasi tersebut, tujuh kawasan itu berada pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka adalah Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kuta Mandalika, Labuan Bajo, Morotai, Wakatobi, dan Kepulauan Seribu,” paparnya.

Susan menambahkan, kuatnya dorongan Pemerintah Indonesia dalam menggenjot investasi pada sektor pariwisata, karena Negara sangat berharap sektor tersebut bisa menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional di masa mendatang. Untuk 2019 saja, Pemerintah menargetkan pemasukan devisa dari sektor pariwisata hingga mencapai Rp280 triliun.

baca juga :  Jepang Bisa Lemahkan Indonesia di Pasar Perikanan Global?

 

Aktivitas di perairan pelabuhan Labuan Bajo Manggarai Barat, NTT. Pelabuhan ini dekat dengan gugusan kepulauan Taman Nasional Komodo. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Upaya keras yang sedang dilakukan Pemerintah itu, bagi Susan semakin menegaskan bahwa Negara tidak memperlihatkan keberpihakan kepada masyarakat pesisir. Hal itu terbukti, karena dari KSPN, ruang hidup masyarakat pesisir sudah dirampas. Dia kemudian mencontohkan, masyarakat yang tinggal di Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, menghadapi kenyataan sedang mendapat ancaman kriminalisasi karena KSPN.

“Ada 312 kepala keluarga yang berkonflik dengan sebuah perusahaan pariwisata dan terancam dikriminalisasi,” tuturnya.

Selain di pesisir dan pulau-pulau kecil wilayah DKI Jakarta, Susan menambahkan, ancaman serupa juga kini dirasakan masyarakat yang tinggal di kawasan Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Di sana, lebih dari 300 KK terusir dari kawasan pesisir dan kehilangan wilayah tangkapan tradisional mereka saat bekerja sebagai nelayan skala kecil.

Melalui RCEP, Susan menegaskan, investasi pariwisata semakin diperkuat dan untuk kepentingan itu Pemerintah akan banyak melakukan deregulasi menyesuaikan dengan kepentingan investasi. Dengan kata lain, sampai kapanpun masyarakat pesisir tetap akan menjadi korban. Untuk itu, atas nama KIARA, dia meminta Pemerintah untuk tidak melanjutkan perundingan RCEP karena tidak akan memberikan apa-apa bagi masyarakat pesisir di Indonesia.

“Perundingan RCEP karena tak memiliki dampak baik bagi kehidupan masyarakat pesisir,” pungkasnya.

Sebelumnya, kritikan juga dikampanyekan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada Januari lalu. Saat itu, KNTI mengkritik kebijakan Pemerintah Indonesia tentang kebijakan jalinan kerja sama dengan Norwegia untuk bidang perdagangan pada sektor kelautan dan perikanan. Kerja sama yang ditandatangani resmi oleh kedua negara pada Minggu (16/12/2018) itu, menjadi ancaman serius bagi nelayan tradisional di Indonesia.

Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata menyatakan, dengan kerja sama tersebut, Norwegia bisa mengekspor produk kelautan dan perikanan mulai 2019 hingga mencapai lebih dari 80 persen. Tak hanya itu, dari kerja sama tersebut, Norwegia bebas mengekspor produknya dengan tanpa dikenakan biaya bea masuk.

baca :  Nelayan Indonesia Terancam Semakin Terpuruk karena Norwegia?

 

Kesibukan nelayan dan masyarakat yang terlihat di Lampulo, Banda Aceh, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kehidupan Nelayan

Marthin menjelaskan, dengan memberikan kebebasan biaya bea masuk, itu sama saja dengan membiarkan nelayan akan terpuruk karena produknya tidak bisa bersaing dengan produk dari Norwegia. Kondisi itu, tidak boleh dibiarkan, karena akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Tentang perjanjian tersebut, Marthin menerangkan bahwa itu bisa terjadi berkat forum European Free trade association (EFTA) yang di dalamnya terdapat Norwegia sebagai salah satu anggota. Lewat forum tersebut, negosiasi untuk membebaskan biaya bea masuk ke Indonesia, telah diperjuangkan oleh Norwegia sejak delapan tahun lalu.

“Negosiasi di antara kedua negara tersebut dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi dari masyarakat sipil, ataupun organisasi nelayan di Indonesia,” ucapnya.

Secara khusus, perjanjian yang terjalin antara EFTA dengan Indonesia, menjadi sarana untuk menjaga keberlangsungan perdagangan bebas di sektor perdagangan, khususnya untuk perikanan. Perjanjian tersebut, menguntungkan bagi Norwegia, tapi di sisi lain justru itu memberi kerugian bagi Indonesia. Kondisi itu, akan semakin terasa jika perjanjian dagang untuk 2019 sudah berjalan.

Mengenai keuntungan yang diraih Norwegia melalui perjanjian dagang tersebut, menurut Marthin, tidak lain karena negara tersebut bisa mengamankan kepentingan posisi ekonomi mereka dalam perdagangan internasional. Kondisi itu, secara langsung akan menguntungkan perusahaan-perusahaan perikanan laut yang selama ini biasa mengekspor ke Indonesia ataupun negara lain.

“Perjanjian perdagangan ini hanya akan meningkatkan dan membuka pasar ekspor untuk perusahaan Norwegia. Sementara perjanjian itu akan menjadikan hal sebaliknya bagi situasi perikanan Indonesia,” tandasnya.

 

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mancari ikan di lautan. Peralatan yang mereka gunakan juga sederhana, perahu, jaring, dan kail. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Koordinator Riset dan Advokasi Indonesia for Global Justice Rahmat Maulana, membeberkan fakta bahwa perjanjian yang telah dijalin antara EFTA dengan Indonesia hanya akan menyebabkan Indonesia dibanjiri ikan impor dari Norwegia. Kondisi itu, pada akhirnya akan menyebabkan 2,7 juta jiwa nelayan akan terancam keberlangsungan kehidupannya karena produk yang mereka hasilkan tidak bisa lagi bersaing.

“Nelayan yang menggantungkan kehidupan pada laut, akan semakin terpuruk di tengah ketidakpastian usaha perikanan,” tuturnya.

Menurut Rahmat, ancaman yang kini sedang mengintai profesi nelayan, khususnya nelayan skala kecil itu, bertentangan dengan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Pada Pasal 12 UU tersebut, disebutkan bahwa Negara wajib melakukan pengendalian terhadap impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman.

Selain poin di atas, Rahmat menyebutkan, dalam UU No.18/2012 tentang Pangan juga ditegaskan bahwa impor pangan hanya boleh dilakukan apabila produksi pangan di dalam negeri sudah tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Penegasan dari UU tersebut, menjelaskan bahwa impor pangan tidak bisa sembarangan dilakukan.

 

Exit mobile version