- Indonesia melakukan perjanjian kerjasama Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) dengan 4 negara yang tergabung dalam EFTA (European Free Trade Association)pada Senin (17/12/2018) di Jakarta. Salah satu negara EFTA adalah Norwegia.
- Dengan kerja sama itu, Norwegia bisa mengekspor produk kelautan dan perikanan mulai 2019 hingga mencapai lebih dari 80 persen. Saat ini, sekitar 60 persen dari total impor salmon ke Indonesia berasal dari Norwegia.
- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai kerjasama itu merugikan perikanan Indonesia terutama bagi 2,7 juta jiwa nelayan Indonesia karena tidak bisa bersaing dengan impor ikan dari Norwegia.
- Indonesia masih dirugikan dengan kebijakkan Uni Eropa yang menetapkan non tariff measures (NTM) yang mengakibatkan produk-produk ekspor Indonesia sulit masuk ke Uni Eropa. Tercatat pada 2017 Indonesia mengekspor produk perikan senilai USD1,3 miliar ke negara-negara EFTA dan produk perikanan dari EFTA senilai USD1,1 miliar.
***
Nelayan yang ada di seluruh Indonesia dikhawatirkan akan semakin terpuruk tidak bisa mendapatkan pendapatan yang maksimal untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Kekhawatiran itu muncul, karena pada 2019 Indonesia sudah menjalin kerja sama dengan Norwegia untuk bidang perdagangan pada sektor kelautan dan perikanan.
Kerja sama yang ditandatangani resmi oleh kedua negara pada Minggu (16/12/2018) itu, menurut Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Marthin Hadiwinata, merupakan ancaman nyata bagi nelayan di Indonesia. Melalui kerja sama tersebut, Norwegia bisa mengekspor produk kelautan dan perikanan mulai 2019 hingga mencapai lebih dari 80 persen.
“Dengan perjanjian yang ditandatangani di Jakarta itu, Norwegia bebas mengekspor produknya dengan tanpa dikenakan biaya bea masuk,” ujarnya di Jakarta, pekan lalu.
Marthin menjelaskan, dengan memberikan kebebasan biaya bea masuk, itu sama saja dengan membiarkan nelayan akan terpuruk karena produknya tidak bisa bersaing dengan produk dari Norwegia. Kondisi itu, tidak boleh dibiarkan, karena akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
baca : Ternyata Norwegia Ekspor Seafood Ke Indonesia. Kok Bisa?
Tentang perjanjian tersebut, Marthin menerangkan bahwa itu bisa terjadi berkat forum European Free Trade Association (EFTA) yang di dalamnya terdapat Norwegia sebagai salah satu anggota. Lewat forum tersebut, negosiasi untuk membebaskan biaya bea masuk ke Indonesia, telah diperjuangkan oleh Norwegia sejak delapan tahun lalu.
“Negosiasi di antara kedua negara tersebut dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi dari masyarakat sipil, ataupun organisasi nelayan di Indonesia,” ucapnya.
Secara khusus, perjanjian yang terjalin antara EFTA dengan Indonesia, menjadi sarana untuk menjaga keberlangsungan perdagangan bebas di sektor perdagangan, khususnya untuk perikanan. Perjanjian tersebut, menguntungkan bagi Norwegia, tapi di sisi lain justru itu memberi kerugian bagi Indonesia. Kondisi itu, akan semakin terasa jika perjanjian dagang untuk 2019 sudah berjalan.
baca juga : Empat Tahun Kepemimpinan Joko Widodo, Bagaimana Capaian Sektor Kelautan dan Perikanan?
Posisi Ekonomi
Mengenai keuntungan yang diraih Norwegia melalui perjanjian dagang tersebut, menurut Marthin, tidak lain karena negara tersebut bisa mengamankan kepentingan posisi ekonomi mereka dalam perdagangan internasional. Kondisi itu, secara langsung akan menguntungkan perusahaan-perusahaan perikanan laut yang selama ini biasa mengekspor ke Indonesia ataupun negara lain.
“Perjanjian perdagangan ini hanya akan meningkatkan dan membuka pasar ekspor untuk perusahaan Norwegia. Sementara perjanjian itu akan menjadikan hal sebaliknya bagi situasi perikanan Indonesia,” tandasnya.
baca juga : Kinerja Perikanan Nasional Tercoreng Kegagalan Ekspor 2017, Kenapa Bisa Terjadi?
Koordinator Riset dan Advokasi Indonesia for Global Justice Rahmat Maulana, membeberkan fakta bahwa perjanjian yang telah dijalin antara EFTA dengan Indonesia hanya akan menyebabkan Indonesia dibanjiri ikan impor dari Norwegia. Kondisi itu, pada akhirnya akan menyebabkan 2,7 juta jiwa nelayan akan terancam keberlangsungan kehidupannya karena produk yang mereka hasilkan tidak bisa lagi bersaing.
“Nelayan yang menggantungkan kehidupan pada laut, akan semakin terpuruk di tengah ketidakpastian usaha perikanan,” tuturnya.
Menurut Rahmat, ancaman yang kini sedang mengintai profesi nelayan, khususnya nelayan skala kecil itu, bertentangan dengan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Pada Pasal 12 UU tersebut, disebutkan bahwa Negara wajib melakukan pengendalian terhadap impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman.
Selain poin di atas, Rahmat menyebutkan, dalam UU No.18/2012 tentang Pangan juga ditegaskan bahwa impor pangan hanya boleh dilakukan apabila produksi pangan di dalam negeri sudah tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Penegasan dari UU tersebut, menjelaskan bahwa impor pangan tidak bisa sembarangan dilakukan.
Di sisi lain, menurut Rahmat, kalaupun impor pangan didasarkan pada alasan untuk peningkatan nutrisi gizi pada masyarakat, itu juga tidak sepenuhnya benar. Mengingat, Indonesia hingga saat ini memiliki banyak jenis ikan yang di dalamnya terkandung gizi yang sangat tinggi dan beragam, bahkan kandungan gizinya lebih dari ikan salmon ataupun cod yang banyak diproduksi di Norwegia.
Atas dasar pertimbangan itu, Rahmat menilai, perjanjian dagang yang sudah dibuat dengan Norwegia dan berjalan pada 2019 merupakan perjanjian yang tidak layak. Terlebih, pada perjanjian tersebut tidak ada dukungan untuk komitmen melaksanakan penghapusan subsidi perikanan bagi pelaku illegal, unreported, unregulated fishing(IUUF).
Pernyataan Rahmat itu bukan tanpa alasan. Dia menyebutkan, beberapa kali produk ikan asal Indonesia ditolak masuk ke wilayah Uni Eropa, meskipun sebenarnya sudah memenuhi ketentuan kawasan tersebut dan memiliki sertifikasi produks serta tidak dari hasil praktik IUUF. Sementara, di waktu yang sama, ada produk ikan seperti dari Thailand yang diterima oleh Uni Eropa, meskipun negara tersebut mengambil ikan dari perairan Indonesia.
“Jadi, pelaku IUUF diterima produk ikannya, dan Indonesia ditolak oleh Uni Eropa,” ujarnya.
baca juga : Perintah Luhut ke Susi: Hentikan Penenggelaman, Pulihkan Ekspor Perikanan
Tarif Mahal
Bagi Rahmat, fakta tersebut menjelaskan bahwa komitmen Eropa masih lemah untuk mencegah tindak IUUF dan pada akhirnya menciptakan perdagangan yang tidak adil bagi Indonesia. Dengan kata lain, perjanjian yang sudah dijalin dengan Norwegia pada akhir 2018 hanya akan menguntungkan sektor perikanan Uni Eropa dan tidak bagi Indonesia.
Fakta lain yang juga sangat bertentangan, menurut Rahmat, adalah hingga saat ini Uni Eropa masih menetapkan non tariff measures (NTM) yang tinggi untuk negara-negara berkembang, termasuk di antaranya adalah Indonesia. Tarif yang masih diberlakukan hingga sekarang, adalah di angka 6.805 NTM. Tingginya angka tersebut, ditetapkan karena Uni Eropa ingin melindungi kawasannya dari produk yang berasal dari luar.
“Makanya tidak heran banyak produk-produk ekspor Indonesia sulit masuk ke Uni Eropa, termasuk produk ikan dari Indonesia. Pengenaan NTM yang tinggi ini membenarkan bahwa slogan perdagangan bebas yang selalu diungkapkan oleh Uni Eropa hanya membebaskan produk-produk ekspor Uni Eropa ke Indonesia, namun sebenarnya tidak bebas bagi Indonesia,” terangnya.
Diketahui, pada 2017 Indonesia tercatat mengekspor produk perikan senilai USD1,3 miliar ke negara-negara EFTA. Di saat yang sama, Indonesia mengimpor produk yang sama dari negara-negara EFTA senilai USD1,1 miliar. Aktivitas ekspor impor itu berlangsung di tengah kebijakan parlemen Norwegia yang melarang penggunaan biodisel dari minyak kelapa sawit.
“Perjanjian EFTA dibahas di saat bersamaan dengan isu tersebut. Parlemen Norwegia melarang biodisel, untuk melindungi iklim dan hutan hujan,” jelasnya.
Kebijakan yang sudah dibuat oleh parlemen Norwegia itu, menurut Rahmat, mengancam keberlangsungan bisnis perdagangan negara tersebut ke Indonesia, dan begitu juga sebaliknya. Bagi Indonesia, kebijakan tersebut mengancam terhentinya ekspor minyak sawit ke Norwegia, sementara negara tersebut juga terancam tidak bisa mengekspor ikan ke Indonesia.
“Saat ini, sekitar 60 persen dari total impor salmon ke Indonesia berasal dari Norwegia. Ekspor makanan perikanan laut Norwegia ke Indonesia pada tahun 2017 mencapai USD250 juta,” pungkasnya.
baca juga : Tak Punya Salmon, Indonesia Ambisius Jadi Eksportir Olahan Salmon
Perjanjian IE-CEPA
Dikutip dari laman Kementerian Perdagangan, Perjanjian Indonesia dengan 4 negara yang tergabung dalam EFTA tersebut dinamakan Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA). 4 negara yang dimaksud yaitu Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia. Perjanjian itu ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mewakili Indonesia pada Minggu (16/12/2018) di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta.
“Indonesia percaya bahwa Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan EFTA ini akan membawa ekonomi Indonesia lebih kuat, berdaya saing dan menarik bagi investor dari negara-negara maju anggota EFTA,” kata Enggartiasto dalam rilis Kemendag.
Dengan perjanjian itu, EFTA akan memperoleh peningkatan akses pasar ke Indonesia untuk produk emas, obat-obatan, tekstil, kimia, jam, makarel, mesin, jus, tanker, dan parfum. Komitmen lain yang juga terangkum dalam IE-CEPA adalah fasilitasi perdagangan yaitu peraturan perdagangan maupun prosedur kepabeanan disederhanakan dan lebih transparan. Melalui IE-CEPA, Indonesia juga menawarkan investasi untuk sektor-sektor yang menjadi unggulan EFTA, di antaranya perikanan, pertanian, manufaktur (produk makanan, tekstil, kimia, farmasi), dan energi.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa EFTA merupakan negara tujuan ekspor non-migas ke-23 dan negara asal impor non-migas ke-25 terbesar bagi Indonesia. Pada tahun 2017, total perdagangan Indonesia-EFTA mencapai USD 2,4 miliar. Nilai ekspor Indonesia ke EFTA tercatat USD1,31 miliar sementara impor Indonesia dari EFTA sebesar USD1,09 miliar.
Sampai berita ini diturunkan, Mongabay-Indonesia telah berusaha menghubungi Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rifky Effendi Hardijanto pada Selasa (22/01/2019), akan tetapi tidak mendapatkan jawaban.
***
Keterangan foto utama : Potensi ikan yang melimpah di Indonesia, sudahkah dimanfaatkan secara benar? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia