Mongabay.co.id

Kementerian Lingkungan Akui Kualitas Udara Jakarta Buruk

Pegiat lingkungan yang aksi dengan bersepeda dan pakai masker di Bundaran HI Jakarta. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, lebih 50% hari  di Jakarta, pada 2018,  dalam kondisi kualitas udara buruk, dengan parameter PM2,5. Kendaraan bermotor jadi penyumbang terbesar polusi udara di Ibukota Indonesia ini.

”Dari data pantauan kami pada 2018, kami akui, udara tak sehat ada 196 dari 365 hari, udara baik 34 hari. Sisanya, sedang 122 hari, 13 hari tak ada data,” kata MR. Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta, Selasa (12/2/19).

Meskipun begitu, dia tak terima, Jakarta, dibilang terburuk se Asia Tenggara, walaupun Karliansyah tak memberikan data tandingan guna membantah dari laporan  kualitas udara dunia 2018 AirVisual IQAir

Karliansyah mempertanyakan instrumen dan metode Greenpeace dalam mengeluarkan laporan itu.

Berdasarkan data rata-rata tahunan PM2,5 dari pantauan KLHK, Jakarta mencapai 34,57 µg/m3. Artinya, dalam data itu konsentrasi PM2,5 di Jakarta mencapai tiga kali lipat dari batas aman tahunan standar WHO. Juga melebihi batas aman tahunan, menurut standar nasional sesuai PP Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, sebesar 15 µg/m3. Berdasarkan laporan World Air Quality Report 2018 menyebutkan, sampai 45,3 µg/m3.

Dia bilang, sumber utama polusi udara di Jakarta, dari kendaraan bermotor dengan pembakaran kurang baik.

Dia juga singgung, soal sebutan Jakarta, terkepung polusi udara dari PLTU batubara, juga tak benar. Dia katakan, sumber polusi PLTU tak ada dari Muara Karang maupun Muara Tawar, karena sudah pakai gas.

”Kedua PLTU itu berbahan bakar gas. Jadi murni kebanyakan kendaraan bermotor, industri ada di Pulogadung, tapi kecil,” katanya.

Selain kendaraan bermotor, katanya, sumber polusi udara lain dari membuat batu bata, makanan, industri, kegiatan manusia seperti membakar sampah, dan debu.

”Debu juga pengaruh. Kalau lihat data 2018, saat siap-siap ASEAN Games, pembangunan infrastruktur. Itu juga sumber polusi.”

KLHK sendiri, katanya, memiliki pemantau udara real time, Air Quality Monitoring System (AQMS). AQMS ini pun menghitung parameter kualitas udara, PM10, CO, O3, NO2, PM2.5, HC, SO2. Sejak 2015, alat ini diklaim sudah mengukur PM2.5 pada 14 kota dan hingga radius 10 kilometer. Keempatbelas daerah itu, Banda Aceh, Pekanbaru, Batam, Padang, Jambi, Palembang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Kalimantan Utara, Jakarta Pusat, Makassar, Manado, dan Mataram.

Baca juga: Laporan Ungkap Polusi Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara

Berdasarkan data indeks PM2,5 KLHK pada 2018, provinsi dengan kualitas udara tak sehat, Jakarta, menduduki nomor pertama, Jambi (31 hari) dan Pekanbaru (26 hari). Meski, data itu tak terkumpul sama, karena tak setiap provinsi memiliki data.

Untuk kondisi Jakarta 2019, pada Januari dan Februari, 11 hari menunjukkan udara tak sehat, 38 hari sedang dan 10 hari sehat. Jumlah hari dengan udara tak sehat inipun lebih banyak dibandingkan kota lain.

Mengacu pada website AQICN.org yang berbasis di Beijing, Tiongkok, kata Karliansyah, kondisi Jakarta pada jam 10.00 (12/2/19) level 57 µg/m3. Angka ini jauh di bawah negara ASEAN lain, seperti Filipina dan Thailand pada waktu sama.

Menurut dia, data harian Jakarta secara standar nasional masih baik, di bawah 65 µg/m3. Sedangkan, standar WHO data harian di angka 25 µg/m3.

Berbicara infrastruktur pemantauan kualitas udara, KLHK menargetkan tahun ini akan ada 13 kota terpasang. Harapan, pada 2020, ada 45 kota terpasang.

 

Aksi Greenpeace di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merespon laporan World Air Quality Report 2018 itu menyebut, udara Jakarta, terburuk di Asia Tenggara. Foto: Lusia Arumingtyas/ Jakarta Indonesia

 

 

Perbaikan

Menurut Karliansyah, KLHK terus berupaya meningkatkan kualitas udara, misal, dengan pemberlakukan bahan bakar setara EURO4, uji emisi kendaraan bermotor regular dan pengawasan ketaatan emisi industri.

Selain itu, penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, penghijauan/ taman kota atau hutan kota, pengembangan transportasi massal, seperti, MRT, LRT, Trans Jakarta dan Trans Jabodetabek baik di Jakarta, maupun kota-kota lain, serta gunakan bahan bakar gas.

Karliansyah mengatakan, upaya pun perlu disinergikan dengan pemantauan kualitas udara regular dan penerapan eco driving.

”Kita pun mengeluarkan aturan untuk pengembangan taman atau hutan kota. Bahkan jenis kayu yang ditanam pun kita buat Perdirjen (peraturan direktorat jenderal-red), misal, trembesi.”

Penerapan car free day (CRD) atau hari tanpa kendaraan bermotor, juga mendukung kualitas udara bersih.

  

Tantang riset tandingan

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mendesak, KLHK data yang dipaparkan itu melebihi baku mutu dan sudah mengkhawatirkan.

”Jika masih diakui ‘aman’ ya, bagaimana untuk berbicara konkritnya,” katanya.

KLHK bilang, sudah punya alat. Kata Bondan, bagaimana alat jadi informasi dan terpublikasin kepada masayrakat dan data buat keperluan apa. Kaau melihat 196 hari udara tak sehat itu, katanya, jadi tanda kritis dan perlu ada peringatan tegas dari pemerintah.

Greenpeace mengatakan, PLTU Jakarta, memang sudah tidak pakai PLTU batubara, namun pembangkit tetangga masih pakai, misal, di Babelan, Bekasi.

Seharusnya, kata Bondan, Gurbernur Jakarta, Anies Baswedan, mengitung beban pencemaran dari masing-masing pencemar yang menyebabkan PM 2,5 melampaui baku mutu udara ambient. “Selain 70% dari transportasi, apalagi lainnya. Itu perlu dibuka.”

Kondisi ini, katanya, bisa disebut dengan nama transboundary air pollution. Dengan penghitungan itu, diharapkan ada kajian regular terkait beban pencemar yang jadi dasar pengambilan kebijakan.

Bondan mengarapkan, riset yang dirilis Greenpeace pun dijawab KLHK dengan riset tandingan pula. Tujuannya, agar apa yang dibandingkan memiliki nilai dan waktu yang sama. ”Data yang sekarang saja, yang jelas-jelas melebihi baku mutu masih dianggap baik-baik saja.”

Ahmad Syafrudin, Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengatakan, sudah sejak 1980, Jakarta, jadi kota kualitas udara buruk. Awal 1990, puncaknya.

”Kami sudah sampaikan berulang kali (kualitas udara Jakarta sudah sangat buruk-red) justru KLHK membantah.”

Kalau dibandingkan Bangkok dan Kuala Lumpur, misal, Puput, sapaan akrabnya, juga memiliki kualitas udara buruk namun lebih maju dalam pengendalian emisi.

Sebenarnya, Indonesia, pun sudah memiliki aturan dalam pengendalian emisi, mulai dari Undang-undang Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lalu, PP Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Bahkan di Jakarta, ada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2/2005 tentng Pengendalian Pencemaran Udara.

”Nyaris, semua aturan itu tidak jalan baik.”

Upaya pemerintah melalui CFD setiap Minggu dan aturan ganjil genap, katanya, tak cukup mengatasi kualitas udara buruk Jakarta.

”Kita perlu pakai energi bersih pada suatu kawasan, baik itu kendaraan bermotor, industri, domestik dan aktivitas manusia lain.”

Pemerintah pun, katanya, perlu menetapkan standar penggunaan teknologi rendah emisi.

Kemudian, perlu ada land use industrial zone, traffic and transport management untuk menata ruang industri dan meminimalkan kemacetan. Harapannya, bisa memperkecil potensi pencemaran udara.

”Standar emisi perlu diperketat, emisi udara embient atau baku mutu emisi dari pabrik. Baku emisi kan dibuat 1997, jadi sudah 22 tahun tak pernah revisi, diperketat dan dievaluasi,” katanya.

Tak kalah penting aspek penegakan hukum. Dia contohkan, pemerinah mengetahui kendaraan bermotor sangat polutan tetapi tak uji emisi dan razia emisi.

 

Ajang jalur bebas kendaraan bermotor di Sudirman-Tmarin, Jakarta. Kegiatan ini lumayan bisa mengurangi polusi udara di sekitar selama CFD, tetapi belum bisa jadi pembawa pesan efektif mengenai pengurangan penggunaan kendaraan bermotor. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Zat berbahaya

Berdasarkan hasil penghitungan KPBB, sekitar 47% penyumbang polusi udara terbesar itu dari kendaraan bermotor. ”Sekitar 90 hidrokarbon dari kendaraan bermotor, 70% karbon monoksida dan 70% sulfur dioksida dari kendaraan bermotor. Untuk industri, partikel debu 32% dan karbon monoksida sekitar 5% kontribusi dari industri.”

Selain debu, ada sulfur dioksida bersifat karsinogenik, menyebabkan iritasi mata dan kulit, dan ISPA, ada nitrogen dioksida (NO2) dari emisi kendaraan, jadi racun bagi kesehatan masyarakat.

Senyawa ini pun bisa berubah ketika bersenyawa dengan hidrokarbon yang keluar dari kendaraan bermotor. Saat NO2 bertemu Hidrokarbon dengan bantuan sinar matahari menjadi ozon (O3) yang berbahaya.

Tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) memberikan apresiasi kepada KLHK atas pengakuan tingkat pencemaran udara di Jakarta.

”Dunia makin menyadari betapa pencemaran udara penyebab kematian dini yang makin berbahaya,” kata Jalal dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability.

Studi paling mutakhir menemukan, katanya, polusi udara membunuh 9 juta orang per tahun, termasuk 800.000 orang di Eropa. Polusi udara dapat mengurangi usia harapan hidup rata-rata dua tahun. Mereka harus menjalani rawat inap di rumah sakit, harus berobat ke dokter dan rawat jalan, kehilangan hari untuk bersekolah dan bekerja.

Studi itu, katanya, merupakan puncak gunung es kalau tak ada upaya perubahan. ”Hal sama terjadi di Jakarta, ini menyebabkan kerugian kesehatan, kehilangan produktivitas ekonomi dan masalah kualitas lingkungan parah.”

Sebelumnya, Gerakan Ibukota ini menyampaikan notifikasi gugatan warga pada 5 Desember 2018. Gugatan itu kepada tujuh pejabat pemerintah atas kelalaian mengendalikan pencemaran udara. Isinya, masukan konstruktif untuk mengingatkan pemerintah agar segera mengambil tindakan terhadap pencemaran udara, yakni, dengan pengetatan pengawasan dan penegakan hukum, membuat program pengendalian pencemaran udara yang berbasiskan target penurunan beban emisi terukur. Juga bekerja sama dengan instansi di pusat maupun provinsi lain dalam mengendalikan sumber pencemar yang berada di luar yurisdiksi Jakarta.

Khalisah Khalid dari Walhi mendesak, pemerintah memperbaiki pemantauan dan penyajian data kualitas udara pada warga. ”Warga negara berhak tahu kualitas udara yang dihirup setiap hari, bukan hanya karena terkait risiko harus dirasakan oleh masyarakat, khusus terhadap kelompok rentan.”

Perlu dipahami, katanya. hak atas informasi adalah bagian pemenuhan hak lingkungan hidup bersih dan sehat. “Ini sudah kewajiban konstitusional negara,” kata Alin, biasa disapa.

Gerakan Ibukota pun menggalang dukungan upaya nyata sebagai langkah nyata dalam mewujudkan udara bersih melalui www.akudanpolusi.org .

 

Keterangan foto utama:    Pegiat lingkungan yang aksi dengan bersepeda dan pakai masker di Bundaran HI Jakarta. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Polusi dari kendaraan pribadi di Jakarta, jadi sumber polusi. Belum lagi ditambah polutan dari PLTU, yang mengungkung Jakarta, dalam radius 100 km, turut berkontribusi meningkatkan konsentrasi PM2,5. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version