Mongabay.co.id

Panakawan Kendeng Minta Pemerintah Jateng Jalankan KLHS

Keempat punokawan yang juga petani di Kendeng, aksi dan mengirimkan surat agar Gubernur dan Kadis ESDM Jateng menjalankan KLHS seperti perintah presiden. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Jumadi, petani di Kaki Pegunungan Kendeng. Senin, (11/3/19), bersama tiga rekannya, jadi punokawan (panakawan)  dalam cerita pewayangan Jawa Tengah. Jumadi jadi Semar, ketiga rekan lain, sebagai Bagong, Petruk dan Gareng. Datang dari Pati, mereka menuju Kantor Gubernur Jawa Tengah, di Kota Semarang, dan menyerahkan surat agar Pemerintah Jateng, jalankan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) di Pegunungan Kendeng, yang sudah selesai.

Kehadiran sosok Semar, sebagai sang pamomong (pengasuh) para raja Jawa yang dihormati, karena selalu memberikan nasihat-nasihat bijaksana, agar mau mendengarkan suara dari rakyat kecil.

Baca juga: Warga Nilai Tambang Semen Itu Hama Perusak di Pegunungan Kendeng

Sosok Semar, hadir mengingatkan kepada gubernur selaku pemimpin Jateng, agar benar-benar menjalankan perintah untuk melindungi lingkungan dan tak mengeluarkan izin-izin pertambangan lagi dengan mengacu KLHS.

Keempat punokawan pakai topi, baju rompi biru dan wajah putih. Semar membawa surat beramplop coklat besar, ketiga rekan membentangkan poster putih.

“ESDM Jateng jangan keluarkan izin pertambangan di Kendeng.” “Hasil KLHS Perintah Presiden harus dijalankan.”

Begitu bunyi beberapa poster. Mereka membawa lakon “Surat Super Soko Semar atau Supersemar.”

“Surat ini meminta gubernur dan ESDM Jateng segera menjalankan KLHS Kendeng, perintah presiden. Jangan keluarkan izin tambang di Kendeng,” kata Jumadi kepada Mongabay.

 

Para akademisi dan warga Kendeng ke Goa Wareh. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dari depan pintu gerbang Kantor Gubernur Jateng, keempat punokawan berjalan pelan. Mereka diterima pegawai Tata Usaha. Petugas berjanji menyampaikan surat ke Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng.

Jumadi berpesan, minta jangan tebangi pohon, dan tak menambang gunung. Dinas ESDM Jateng, katanya, jangan mengeluarkan izin tambang terus. Jateng sudah banyak bencana. Dia meminta, pemerintah menutup pabrik semen di Rembang, dan ikut menjaga alam.

Jumadi bilang, dia dan ribuan petani lain tinggal di sekitar bentang alam karst Pegunungan Kendeng, dalam batas administratif Jateng meliputi Pati, Rembang, Grobogan, dan Blora. Berdasarkan fungsi kawasan, Pegunungan Kendeng, satu kesatuan terlepas dari batas-batas administratif.

Bila terjadi kegentingan atau ancaman nyata terhadap fungsi dan lingkungan Pegunungan Kendeng, di satu atau beberapa tempat, berdampak pada yang lain juga.

Maksud lakon Super-Semar Jumadi, katanya, beda dengan Supersemar 1966 yang hingga kini masih misterius. Supersemar Jumadi, bermakna surat pengingat kepada Pemerintah Jateng, segera mengimplementasikan rekomendasi KLHS Kendeng yang jelas-jelas instruksi Presiden Joko Widodo, pada 2 Agustus 2016.

Baca juga: Semen Kaki Jilid II, Warga Kendeng Menuntut Presiden Sikapi Kasus Rembang

Sebelumnya, kata Jumadi, butir-butir kesepakatan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng ( JM-PPK) bertemu Presiden Joko Widodo yaitu perlu segera dibuat analisa daya dukung dan daya tampung Pegunungan Kendeng, melalui KLHS.

“KLHK diperintahkan presiden berdasarkan dasar negara Indonesia, harus dipatuhi,” kata Jumadi.

Sedulur tani JM-PPK, katanya, terus berkomitmen memperjuangkan kelestarian alam. Dampak kerusakan alam, katanya, saat ini mulai terlihat di beberapa Lereng Pegunungan Kendeng. Kalau musim hujan, banjir besar dan merusak tanaman pertanian serta merendam beberapa pemukiman. Kala musim kemarau, sulit air bersih.

Ivan Wagner dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang, pendamping petani Kendeng, mengatakan, KLHS ada untuk menganalisis risiko lingkungan. Bentuk-bentuk eksploitasi seperti tambang dan industri semen, katanya, bagian dari pemicu risiko.

Bila KLHS Kendeng, tak segera ditindaklanjuti secara konkrit, katanya, sama saja membebankan risiko kepada lingkungan, termasuk ribuan masyarakat di sekitar Kendeng.

 

Punakawan Kendeng diterima petugas tata usaha gubernur Jateng ketika memberikan surat agar jalankan KLHS. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Rekomendasi KLHS I dan II

KLHS Pegunungan Kendeng telah selesai. Tahap I, pada April 2017, dan tahap II Desember 2017. Hasilnya, dari KLHS, memberikan rekomendasi penyempurnaan kebijakan rencana program (KRP).

Ivan menjabarkan, hasil KLHS tahap pertama dan kedua. Dalam dokumen KLHS tahap pertama, katanya, memutuskan cekungan air tanah (CAT) Watuputih Rembang, memenuhi kriteria sebagai kawasan bentang alam karst (KBAK) sebagai kawasan lindung geologi.

Selain itu, penambangan batu gamping di CAT Watuputih, akan menimbulkan biaya atau kerugian ekonomi tinggi sekitar Rp3,2 triliun per tahun dari jasa lingkungan.

Rekomendasi KLHS tahap kedua, katanya, ada penyempurnaan kebijakan rencana program. Hasil kajian menunjukkan, ekosistem Pegunungan Kendeng, berada pada titik kritis. Hasil kajian juga memperlihatkan, kebijakan, dan langkah-langkah pemerintah pusat maupun provinsi dan kabupaten, ternyata tak cukup efektif mengendalikan atau mengatasi daya dukung lingkungan yang terus merosot.

“Dipandang penting segera diambil langkah-langkah darurat, konkrit, terencana dengan baik, dan sistematis untuk mencegah lebih jauh kemerosotan ekosistem Pegunungan Kendeng,” kata Ivan.

Adapun rekomendasi umum KLHS Kendeng, tertulis, harus mengubah kebijakan dalam rencana tata ruang nasional yang semula menetapkan Juwana, Jepara, Kudus, Pati, Rembang dan Blora di Jateng, sebagai kawasan andalan wanarakuti dengan sektor unggulan, antara lain pertambangan, jadi kawasan andalan wanarakuti dengan orientasi sektor unggulan budidaya dan konservasi.

Juga mengubah orientasi kebijakan Pegunungan Kendeng Utara di Grobogan, Blora, Rembang, Pati dan Kudus, semula sebagai peruntukan pertambangan (sebagaimana dimuat dalam RTRW Jawa Tengah Pasal 80), ini tidak sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan Kendeng.

“Ada pertambangan tak jadikan ekonomi berkelanjutan, akan lebih berekonomis Kendeng sebagai sektor pertanian lestari dan pariwisata agar tetap berkelanjutan sampai anak cucu.”

Satuan kerja perangkat daerah (SKPD), katanya, tak lagi dapat memutuskan kebijakan dan program serta kegiatan sendiri-sendiri, walaupun sudah seusai tugas pokok dan fungsi. Mereka, katanya, perlu memperhatikan dampak bagi capaian SKPD lain.

Bappenas dan kementerian/lembaga lain, tengah menyusun peraturan presiden sebagai acuan mekanisme integrasi ketiga target pembangunan, yakni pertumbuhan ekonomi, pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan, maupun pencegahan peningkatan penduduk miskin.

Juga mengontrol dan moratorium pemberian izin, penegakan hukum untuk usaha ekstraksi sumber daya alam yang bersifat ilegal seperti penambangan batu gamping, pengambilan air tanah dalam, atau eksploitasi sumber mata air.

Ada juga rekomendasi soal perlu ada tim khusus yang memantau dan mengawasi pengendalian ruang, juga mengatasi bisnis ilegal bidang pertambangan dan kehutanan. Tim khusus ini, menindak hukum litigasi dan non-litigasi, dengan pendekatan banyak pintu. Direkomendasikan adanya sistem dapat mengelola informasi perizinan, termasuk membuka sistem ini bagi masyarakat luas sesuai dengan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

“Segera mengintegrasikan KLHS Pegunungan Kendeng tahap I dan II ke KRP RTRW.”

 

Keterangan foto utama:     Keempat punokawan yang juga petani di Kendeng, aksi dan mengirimkan surat agar Gubernur dan Kadis ESDM Jateng menjalankan KLHS seperti perintah presiden. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Warga panen raya di Lereng Pegunungan Karst Kendeng. Ia sekaligus bukti betapa lahan pertanian ini subur. Foto: JMPPK
Para pemuda Pati tergabung dalam KPPL Pati protes tambang batu gamping buat semen yang bakal rusak Pegunungan Kendeng. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version