Mongabay.co.id

Tidak Hanya Mengancam Kelestarian Leuser, Peneliti: PLTA Tampur Berada di Wilayah Rawan Gempa

Kawasan Ekosistem LEuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah

 

 

Pemerintah Aceh telah memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] Tampur di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] yang dikeluarkan Gubernur Aceh dengan Nomor: 552.51/DPMPTSP/1499/IPKKH/2017 itu, seluas 4.407 hektar. Lokasinya di hutan lindung yang masuk KEL, dikerjakan oleh perusahaan modal asing PT. Kamirzu. Diperkirakan, bendungan yang dibuat setinggi 193,5 meter tersebut akan menghasilkan listrik berkapasitas 443 mega watt.

Namun, kehadiran proyek ini justru dikhawatirkan mengancam kehidupan masyarakat setempat beserta merusak kekayaan hayati yang ada di KEL. Terlebih, lokasi bendungan berada di wilayah rawan gempa.

Baca: Masyarakat Aceh Desak Gubernur dan Menteri LHK Batalkan Proyek PLTA Tampur

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana [Tsunami and Disaster Mitigation Research Center/TDMRC] Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Dr. Muksin Umar, dalam diskusi Menelaah Kawasan Rentan Bencana di Aceh, Studi Kasus Rencana Pembangunan PLTA di Kawasan Ekosistem Leuser menyebutkan, berdasarkan hasil penelitian timnya, PLTA Tampur berada dekat sesar aktif gempa.

“Kami telah memetakan, ada sesar baru di Aceh Tenggara yang dinamakan Sesar Nisam. Lokasi PLTA Tampur sangat dekat dengan sesar ini, risiko gempa besar harus menjadi perhitungan pembangunannya,” jelas Ketua Himpunan Ahli Geofisika Indonesia [HAGI] Provinsi Aceh.

Muksin menilai, pembangunan PLTA perlu menghitung tingkat kebutuhan energi dan kerawanan bencana. Selain itu, harus ada kajian dan penelitian mendalam, sumber energi paling cocok, tidak berisiko akibat gempa bumi.

“Penelitian harus mendalam, mengingat hutan Leuser merupakan lanskap yang membentang dari Aceh hingga Sumatera Utara. Hamparan hutan hujan tropis utuh penting yang harus dijaga dari berbagai kerusakan,” ujarnya baru-baru ini. “Secara histori, diketahui lokasi pembangunan PLTA Tampur pernah terjadi beberapa kali gempa dengan kekuatan 6,0 Skala Richter.”

Baca: Amdal PLTA Tampur Dipaksakan, Relokasi Masyarakat dan Mitigasi Konflik Satwa Diabaikan

 

Desa Lesten, Kecamatan Pining, Gayo Lues, tempat pembangunan PLTA Tampur direncanakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Analis Perlindungan Bentang Alam Yayasan Ekosistem Lestari [YEL], Rizwan Zein berpendapat, pembangunan PLTA Tampur tidak hanya berdampak pada bencana gempa, tapi juga akan menambah kerusakan KEL. Proyek ini membuka akses ke kawasan hutan primer.

“Pastinya akan terjadi pembukaan hutan untuk kebun, perburuan, dan juga pembalakan, yang tentunya merusak fungsi lindung Kawasan Strategis Nasional itu,” ujarnya.

Sungai Lesten yang bersambung dengan Sungai Tamiang akan ditutup bendungan raksasa. Waduk tersebut akan digenangi air seluas 4.000 hektar yang memangkas jalur lintasan dan habitat gajah yang tentunya meningkatkan konflik masyarakat dengan mamalia besar ini.

“Koridor atau habitat gajah di Lesten, Kabupaten Gayo Lues, akan terputus karena topografi yang sangat terjal. Ketika hal ini terjadi, gajah akan mendekati kepunahan karena habitatnya hancur,” urai Riswan.

 

Air bersih merupakan potensi alam yang melimpah di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Forum Konservasi Leuser [FKL] Rudi Putra, dalam beberapa pertemuan mengungkapkan hal yang sama. Dia mengatakan, struktur tanah di KEL sangat labil, sering longsor. “Keberadaan PLTA Tampur mengancam kehidupan masyarakat, terlebih jika bendungan hancur.”

Belum lagi, tambah Rudi, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari sungai akan kehilangan mata pencaharian. Ini akan menimbulkan masalah baru.

“Ketika sungai kering, masyarakat tidak bisa mencari ikan dan mengairi lahan pertanian mereka. Harus dipikirkan,” tuturnya.

Baca juga: Pembangunan PLTA Tampur, Apakah Kelestarian Hutan Leuser Diperhatikan?

 

Gajah sumatera yang habitatnya terancam bila pembangunan PLTA Tampur dilakukan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Walhi Gugat Gubernur Aceh

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh menggugat Gubernur Aceh terkait IPPKH PLTA Tampur. Walhi menilai, pemberian izin semasa Zaini Abdullah menyalahi aturan perundang-undangan.

Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir menyebutkan, Walhi telah melakukan upaya administratif, namun Gubernur Aceh tidak menanggapi dan/atau memberikan jawaban.

“Kami melakukan banding administratif kepada pemerintah pusat, belum ada tanggapan. Akhirnya pada 11 Maret 2019, bersama sembilan pengacara, kami menggugat Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Banda Aceh dengan Nomor: 7/G/LH/2019/PTUN.BNA.”

Nasir menyebutkan, sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, kewenangan pemberian IPPKH diberikan Menteri.

“Menteri LHK berdasarkan kewenangannya dapat melimpahkan sebahagian kewenangannya kepada Gubernur, namun sifatnya terbatas untuk pembangunan fasilitas umum non-komersial dan luasan kewenangan Gubernur dibatasi maksimal lima hektar,” terangnya.

 

Gempa dan Sesar Aktif yang direkam di Aceh pada 2014-2015. Wilayah pembangunan PLTA Tampur berada di lokasi rawan gempa. Sumber: presentasi Muksin Umar/Peneliti Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

 

Nasir menambahkan, dalam diktum ke lima IPPKH, dalam jangka waktu satu tahun setelah terbit izin, PT. Kamirzu wajib menyelesaikan tata batas disupervisi Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVIII Banda Aceh, serta menyelesaikan relokasi Desa Lesten. “Fakta lapangan, semua kewajiban itu belum dilaksanakan perusahaan ini.”

Keanehan lain, sambung Nasir, dalam IPPKH disebutkan izin tersebut berlaku juga sebagai izin pemanfaatan kayu, serta izin pemasukan dan penggunaan peralatan. Seharusnya, ada pemisahan dan diatur secara khusus.

IPPKH PLTA Tampur juga tidak mendapat rekomendasi Bupati Aceh Timur dan juga dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Nomor 522.12/2700-IV tanggal 9 Juni 2017, perihal Rekomendasi Permohonan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-I.

“IPPKH yang diterbitkan Gubernur Aceh juga pada tanggal yang sama yaitu 9 Juni 2017. Menjadi aneh, bagaimana Gubernur Aceh saat itu menerbitkan IPPKH, kapan memeriksa berkas-berkas persyaratan administratif dan lapangan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version