Mongabay.co.id

Catatan Penting Kolaborasi Pengelolaan Ruang untuk Pencegahan Bencana

Banjir bandang di Sentani, Jayapura memunculkan dua permasalahan yang diduga menjadi sebab terjadinya banjir bandang, yaitu perambahan hutan dan kuatnya cuaca ekstrem. Runutan banjir bandang ini pun tak hanya terjadi di Papua, dimana sebelumnya telah terjadi di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat hingga Papua Barat.

Dalam laman BNPB disebutkan antara 2010 hingga 2018 bencana alam terbanyak adalah banjir yang kemudian diikuti oleh tanah longsor. Kedua peristiwa itu, diiringi dengan tingginya jumlah korban meninggal dan rusaknya fasilitas publik maupun hunian warga.

Baca juga: Memaknai Bencana Alam dengan Perspektif Baru

Menurut penulis, terdapat hubungan yang erat antara rangkaian bencana yang terjadi dengan aktivitas manusia. Permasalahan sosial yang terjadi menjadi kunci penting untuk dilihat, secara khusus melihat interaksi manusia dalam ruang hidup yang dapat menghadirkan kerentanan pengelolaan lahan.

Hal ini dapat berdampak pada pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan. Akibatnya, terjadi potensi kehilangan mata pencarian dalam jangka panjang yang disebabkan oleh degradasi sumberdaya alam yang terus terjadi.

Permasalahan sosial tentu tidak cukup sebagai konsideran kunci tunggal terkait kerusakan lingkungan hidup, diperlukan telaah lain permasalahan kebijakan tata kelola maupun permasalahan politik dan hal-hal lainnya.

Tulisan singkat ini tentu belum memuat semua konteks substansial secara menyeluruh. Namun, garis-garis besar permasalahan sosial dapat menjadi salah satu hal untuk merumuskan pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan.

 

Aktivitas Tim SAR melakukan evakuasi korban longsor di sebuah kejadian bencana tanah longsor di Banjarnegara Jawa Tengah. Foto: Dok BASARNAS

 

Konsep Ruang Hidup

Dalam kajian sosiologis, permasalahan sosial terjadi apabila terjadi adanya konstelasi “perebutan ruang hidup” untuk mata pencarian, ruang hidup yang pada akhirnya menyebabkan kerentanan yang dihadapi oleh kelompok masyarakat.

Ruang hidup tidak sekedar hidup untuk bernafas, makan dan minum, tetapi juga ruang dimana kelompok masyarakat ini memiliki ingatan kolektif atas sejarah, identitas, dan pola kehidupan sosialnya.

Dalam konteks pengelolaan hutan, hal ini umumnya terjadi dengan melibatkan kelompok masyarakat asli di kawasan (yang telah bermukim secara turun temurun) dengan kelompok pendatang.

Masyarakat asli umumnya mewarisi mata pencaharian pengelolaan lahan yang telah diwariskan secara turun temurun. Apabila dalam mekanisme pengelolaan lahan melibatkan organisasi, maka pengelolaan itu dilakukan secara tradisional, diatur oleh kepala suku lewat aturan (baik tertulis maupun tidak tertulis), namun ditaati oleh kelompok masyarakatnya.

Tanpa perlu menggunakan ‘teori canggih’ mengenai konservasi, masyarakat adat ini memiliki kesadaran pengelolaan lahan yang berdimensi lintas generasi. Namun, seiring terjadinya perubahan lingkungan dan sosial, bisa saja terjadi “pembaruan pola” dalam pengelolaan lahan tersebut.

Di sisi lain, terdapat masyarakat pendatang yang kadang disematkan lewat istilah ‘perambah’. Kelompok ini tidak memiliki ikatan sosio-kultural yang kuat dengan lingkungan setempat. Mereka datang karena adanya dorongan faktor-faktor intrinsik seperti ekonomi. Umumnya mereka tidak memiliki kaitan historis denga pola pengelolaan ruang yang ada.

Terkait perambahan, mata pencarian yang bertumpu pada jasa ekosistem ini tentu bakal menghadapi resiko dari pelbagai faktor, seperti cuaca ekstrem, pengelolaan lahan beresiko tinggi yang mendatangkan bencana, hingga potensi konflik perebutan sumberdaya akibat terbatasnya pilihan mata pencarian.

Pilihan mata pencarian yang terbatas tentu akan menimbulkan permasalahan kompetisi di antara masyarakat asli dan pendatang. Pada akhirnya akan bermuara pada permasalahan alokasi ruang hidup, yang akan menimbulkan kerentanan.

Saat terjadi kerentanan, relokasi diperlukan sebagai opsi, namun hal ini pun tidaklah mudah. Mengapa?

Pertama, diperlukan kepastian jaminan kehidupan atau mata pencaharian yang dapat menjamin kehidupan sehari-hari di tempat tinggal baru.

Kedua, terkait ingatan sejarah dan identitas, dapat menimbulkan keterasingan bagi kelompok masyarakat tersebut apabila harus bermukim di kawasan baru atau beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal mereka yang baru.

Ketiga, terkait proses. Bagaimana agar upaya ini melalui proses monolog atau dialog. Dialog tentu lebih tepat walaupun membutuhkan banyak energi dan waktu, namun positifnya dapat membangun kesepahaman yang pro sosial dan pro ekosistem yang bersifat jangka panjang.

 

Desa Teluk, Banten, pasca tsunami yang terjadi bulan Februari 2019. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Kolaborasi Pencegahan Bencana

Di sisi lain pengelolaan bersama menjadi opsi alternatif yang bisa dijalankan. Untuk mencegah terjadinya bencana, permasalahan lintas bidang dibuat dalam bentuk pemetaan. Pemecahan permasalahan lalu melibatkan semua pihak.

Kolaborasi berarti melibatkan pemerintah, termasuk pusat, pemda, legislator; masyarakat (masyarakat adat, kelompok masyarakat umum), akademisi, dan kelompok masyarakat sipil.

Baca juga: Pilkada dan Menyoal Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Alam

Inisiatif kolaborasi pun menegaskan keberpihakan terhadap terjaminnya mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada jasa baik dan pengelolaan ekosistem. Baik pengelolaan yang dilakukan swadaya oleh masyarakat, maupun tata kelola oleh negara.

Pengelolaan swadaya oleh masyarakat merupakan hal penting karena menjadi bentuk penghargaan bahwa masyarakat mampu mengelola, memberikan tanggung jawab mengelola, mendorong kreatifitas masyarakat, dan mendorong semangat kolaborasi.

Sebagai contoh, sudah banyak keberhasilan pengelolaan swadaya masyarakat dan masyarakat sipil dalam pengelolaan ekosistem yang perlu ditiru.

Tata kelola negara perlu bersifat egaliter dengan bentuk menghargai kelompok masyarakat, kebijakan berdasarkan dialog dan penerapan standar AMDAL yang ketat, serta mendorong pembelajaran bersama dengan masyarakat.

Untuk mencegah kejadian bencana man made disaster terulang, interaksi semua pihak untuk mendorong pengelolaan secara berkelanjutan menjadi penting. Pengelolaan ekosistem yang berkeadilan bagi masyarakat adat maupun masyarakat pendatang dalam sebuah bentang pengelolaan lahan pun perlu diatur dengan baik.

 

* Ica Wulansari, penulis adalah pengamat dan peneliti kajian sosial ekologi maupun politik lingkungan hidup. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version