Lokasi negara Indonesia yang berada di wilayah ring of fire dan lokasi tumbukan tiga lempeng benua, menjadikan wilayah kepulauan ini rentan terhadap gempa bumi. Sepanjang tahun 2018 saja, Indonesia mengalami rentetan berbagai bencana alam yang menimbulkan korban jiwa, kerugian material hingga kerusakan jaringan infrastruktur.
Dengan menyadari keberadaan kita, -sebagai bangsa yang tinggal dan bermukim di lingkungan lokasi beresiko tinggi, sudah selayaknya berbagai gejala alam yang mendorong bencana alam ini harus dipahami sebagai certain factor. Sebuah keniscayaan, hal yang sudah pasti, dimana suka maupun tidak suka kita harus terus bersiap saat suatu saat terjadi bencana alam.
Persoalannya apakah pemahaman dan pengetahuan komunal masyarakat Indonesia sudah mencukupi saat bencana alam terjadi? Atau sebaliknya masyarakat masih “berlindung” dalam alam pikiran mistis bahwa bencana adalah “ajang penghakiman” dan “turunnya azab” Yang Maha Kuasa, Tuhan Penguasa Semesta Alam, akibat dosa dan kesalahan manusia yang terjadi di dunia?
Pola alam pemikiran transendental yang selalu menarik garis bahwa bencana adalah “Kehendak Tuhan”, -meski sah saja memiliki pemikiran seperti ini, akan membuat pemahaman akan persoalan kebencanaan tidak pernah utuh dan terselesaikan secara tuntas dalam aras pemikiran masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Seharusnya, -dalam konstruksi sosial konteks kebencanaalaman, maka perspektif penting yang selayaknya perlu dihadirkan adalah praksis kesadaran; yang mendukung model-model antisipasi dan membangun daya ketangguhan masyarakat saat menghadapi bencana dan kejadian pasca bencana.

Transformasi Kesadaran atas Kebencanaan
Alam dapat melakukan proses evolusi dan dapat kembali ke titik awal, berbeda halnya dengan kehidupan manusia dalam konteks sosial. Kehidupan manusia terdiri dari sistem sosial dan ekosistem dalam mengolah energi dan materi dari alam semesta yang kemudian disikapi manusia dengan cara melakukan adaptasi.
Sehingga, terdapat dua isu yang berbeda di sini, yaitu: perihal keseimbangan alam dan bagaimana manusia bertahan dan beradaptasi menghadapi keseimbangan alam.
Tindakan adaptasi menghadapi bencana perlu terstruktur yang dapat diawali dengan membangun perspektif mengenai bencana. Perspektif itu harus bersifat transformatif yaitu pemahaman bahwa bencana merupakan fakta yang dialami masyarakat sehingga mewajibkan masyarakat untuk memiliki kemampuan menghadapinya.
Maka, menjadi layak jika perspektif transformatif tersebut serentak dibakukan secara struktur baik dalam ranah ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, mimbar agama hingga ranah pengelola negara.
Apabila masyarakat tidak disiapkan menghadapi bencana, maka kita akan terus menerus menyaksikan narasi bencana alam yang cenderung sama, tidak berubah, tidak mau belajar, dan tidak membawa kemajuan dalam pengelolaan bencana.
Lalu yang terjadi kemudian, kita seolah terus berpangku tangan dengan pasrah dan menempatkan para pihak yang menangani bencana hingga sukarelawannya menjadi pihak paling ‘sibuk’ untuk menangani bencana tanpa disertai dengan peran aktif ‘komunitas korban’.
Transformasi alam kesadaran juga berarti memiliki pemahaman akan dimensi waktu.
Sebagai contoh keberadaan lahan yang subur untuk kebutuhan manusia bercocok tanam dan penyediaan pangan saat ini adalah bagian dari hasil erupsi gunung berapi di masa yang lalu. Ketika alam tengah menyeimbangkan diri, maka manusia perlu memiliki pengetahuan memadai, tindakan antisipasi saat menghadapi ‘upaya alam menyeimbangkan diri’.
Secara logis hal ini seharusnya akan menurunkan pengetahuan dan alur sikap, baik secara individu dan interaksi sosial, yang dapat dipahami dan dapat dipraktekkan guna menghindari berulangnya dampak terjadinya bencana alam.

Tindak Antisipasi Bencana
Sikap yang dimunculkan untuk meminimalisir dampak bencana adalah sikap antisipasi, yang disertai dengan pengetahuan akan apa yang harus dilakukan jika suatu saat bencana terjadi.
Indonesia memiliki ragam pengetahuan lokal. Memang, apabila pengetahuan lokal dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah, maka timbul banyak kesenjangan. Bahkan mungkin beberapa pengetahuan lokal tidak dapat lagi menjadi acuan kebenaran. Namun, perlu diakui bahwa pengetahuan lokal pun tidak sepenuhnya salah.
Masih banyak pengetahuan lokal adaptif saat ini yang dapat dikolaborasikan dengan pengetahuan dan teknologi modern agar lebih sistematis dan dipraktekkan sebagai tindakan antisipatif kebencanaan. Pertanyaan selanjutnya bagaimana mengaitkannya dengan masyarakat setempat?
Menjadi penting untuk terus melakukan penggalian dan pendokumentasian pengetahuan lokal mengenai antisipasi bencana alam. Pengakuan terhadap lokalitas atau masyarakat setempat lalu menjadi penting mengingat kondisi geografis, sosial budaya dan nilai masyarakat yang dianut di tiap-tiap wilayah ditengah perbedaan.
Selanjutnya, komunitas masyarakat setempat perlu dipersiapkan dengan pengetahuan dan kebutuhan cukup. Hal ini mengingat ancaman bencana alam saat ini terjadi bukan saja akibat kondisi geologis-fisik alam, namun bisa diakibatkan perubahan iklim hingga bencana akibat industrialisasi.
Referensi nasional dan internasional tentang ketangguhan menghadapi bencana, teknologi mitigasi, penyebaran paparan informasi pun penting digunakan untuk menurunkan resiko yang bakal terjadi.
Refleksi atas Kebencanaan
Kuasa Tuhan membuat bencana alam menjadi sumber bagi manusia untuk belajar dan mengambil hikmah. Hikmah yang dipetik adalah Indonesia adalah perlu banyak berbenah dan melakukan refleksi menghadapi bencana alam sebaik-baiknya.
Setiap individu memiliki tanggung jawab sosial baik menyebarkan informasi yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan terkait bencana, menjaga properti yang digunakan untuk memprediksi bencana hingga mendorong upaya penanggulangan bencana secara kolektif.
Aparatur negara pun ditutunt untuk berperan dalam penanganan bencana dan menentukan hingga memberikan peringatan jika terjadi bencana alam.
Dalam relasi antar manusia, bencana alam pun selayaknya mengasah empati kita terhadap penderitaan korban. Juga mengingatkan diri untuk terus sadar dan tanggap akan bencana alam dan menuntut diri memiliki tanggung jawab sosial.
Hal terakhir adalah sudah waktunya bencana alam dijadikan sebagai sarana kolaboratif pemerintah, masyarakat (tanpa memandang status sosial ekonomi, kepercayaan dan preferensi politik) untuk terus bergandeng tangan menyiagakan diri terhadap bencana dan membantu penanggulangan pasca bencana alam.
* Ica Wulansari, penulis adalah blogger dan peneliti lepas isu sosial, lingkungan hidup dan sosial ekologi