Mongabay.co.id

Kampanye Tangkoko dalam Karya Fotografer Lokal

Seekor tarsius di Taman Nasional Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Keterlibatan warga lokal merupakan salah satu bagian penting dalam agenda konservasi. Karena itu, Yayasan Selamatkan Yaki menggelar pameran foto bertema “Marijo ka Tangkoko”. Selain ajang promosi keragaman hayati di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Bitung, kegiatan itu juga bertujuan meningkatkan kesadaran dan kapasitas warga di sekitar kawasan konservasi.

Dalam pameran itu, Yayasan Selamatkan Yaki menampilkan karya-karya komunitas bernama Torang Fotografer Orang Batuputih (T-FOB). Terlibat juga individu, komunitas fotografi serta sejumlah organisasi konservasi di Sulawesi Utara.

Reyni Tresia Palohoen, sekretaris Yayasan Selamatkan Yaki mengatakan, kegiatan tersebut menjadi momentum untuk mempromosikan karya-karya warga Batuputih. Sebab, selama ini, foto keragaman hayati terkait hidupan liar di hutan Tangkoko banyak diketahui dari publikasi fotografer luar.

“Selama ini foto Selamatkan Yaki banyak dari fotografer luar. Tapi, (belakangan waktu) sebelum pameran hampir semua material selamatkan yaki, atau unggahan di media sosial, menggunakan karya-karya pemandu wisata dan fotografer lokal,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Jumat (22/3/2019).

baca :  100 Tahun Tangkoko: Menelisik Perjalanan Panjang Konservasinya

 

Pengunjung mendatangi lokasi pameran foto di Manado Town Square. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Reyni percaya, foto merupakan salah satu saluran penting untuk menyuarakan perlindungan satwa liar maupun hutan. Lewat foto, banyak orang bisa mempelajari profil spesies-spesies tertentu dan melibatkan diri dalam konservasi. Karenanya, penyelenggara kegiatan memberi sejumlah kriteria, agar masyarakat yang berkunjung dapat mengetahui etika pemotretan hidupan liar.

“Misalnya, kalau foto potraitpakai lensa tele, karena itu akan menjadi indikator jarak pengambilan foto, jarak minimal 5 meter dengan satwa, pembatasan penggunaan flashuntuk satwa nokturnal, kemudian dilarang memasukkan foto hewan nokturnal di siang hari,” kata Reyni.

Alfrets Masala, anggota T-FOB mengaku gembira dengan pelibatan warga Batuputih dalam pameran tersebut. Ia juga terkejut dengan antusiasme warga yang berkunjung ke lokasi pameran. Banyak di antara mereka menanyakan teknis pengambilan gambar, hingga nama-nama spesies dalam foto.

T-FOB adalah komunitas foto bentukan warga Batuputih, Bitung. Sebagian besar anggotanya berprofesi sebagai pemandu wisata. Mereka banyak belajar dari fotografer profesional maupun peneliti yang mengunjungi hutan Tangkoko.

Alfrets berharap, karya-karya yang ditampilkan dapat mempromosikan keanekaragaman hayati di hutan Tangkoko dan mengajak masyarakat luas untuk terlibat dalam agenda-agenda konservasi. “Kami berharap, masyarakat bisa mendapat pengetahuan bahwa di Tangkoko ada binatang-binatang ini. Tidak hanya yaki dan tarsius,” terang Alfrets.

Ekshibisi foto “Marijo ka Tangkoko” berlangsung pada 22 dan 23 Maret 2019, di Manado Town Square. Kegiatan ini diselenggarakan untuk memperingati 100 tahun Tangkoko, hari hutan dan hari air sedunia. Selain memamerkan puluhan foto hidupan liar, Yayasan Selamatkan Yaki juga mengajak fotografer berpengalam untuk membagi pengetahuan.

baca juga :  100 Tahun Tangkoko, Apakah Ekowisata Berorientasi Lingkungan dan Masyarakat Setempat?

 

Yayasan Selamatkan Yaki menggelar Ekshibisi foto untuk mempromosikan karya fotografer lokal. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Peningkatan Kualitas dan Kuantitas

Sejumlah pihak menilai, secara kuantitas maupun kualitas, karya pehobi foto Batuputih telah mengalami kemajuan signifikan. Hal itu dipercaya, akan memberi dampak positif pada upaya perlindungan kawasan konservasi.

Stenly Pontolawokang dari Masyarakat Fotografi Sangihe, yang juga hadir dalam pameran itu menceritakan, 10 tahun silam warga Batuputih hanya mendampingi fotografer profesional dari dalam dan luar negeri. Kini mereka telah mengambil peran.

Kedepannya, pehobi foto Batuputih diminta terus mengedepankan nilai edukatif, mempertahankan etika, serta mempertajam teknik fotografi. Sebab, dia percaya, tiga hal itu merupakan bagian penting untuk mengkampanyekan isu konservasi.

“Semoga saja tahun-tahun berikut masih ada lagi. Karena kegiatan ini penting untuk mengkampanyekan isu lokal. Dengan kesempatan dan ruang, kepercayaan anak-anak Batuputih akan semakin meningkat,” demikian Stenly berharap.

menarik dibaca :  100 Tahun Tangkoko : Kisah Wallace di Tangkoko

 

Denny Taroreh dalam sesi diskusi bersama pehobi foto Batuputih dan pengunjung Manado Town Square. Foto Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, keterlibatan warga lokal sangat penting dalam upaya konservasi. Karena, mereka juga dapat menjadi aktor penyebar informasi terkait kekayaan biodiversitas kawasan hutan Tangkoko. Tindakan itu dianggap sebagai bentuk sinergitas, serta upaya mengubah pemahaman bahwa konservasi hanya menjadi kepentingan aktivis, praktisi ataupun akademisi.

“Tapi, susah bicara konservasi kalau masyarakat tidak tahu keuntungannya. Fotografi bisa jadi pintu untuk memahami kekayaan biodiversitas di kawasan Wallacea,” ujarnya.

Denny Taroreh, dari lembaga konservasi Talun Kentur menilai, ekshibisi foto karya warga Batuputih seharusnya telah dimulai pada 5 atau 7 tahun lalu. Sebab, dalam kurun waktu tersebut, dia telah melihat potensi-potensi lokal dalam bidang fotografi.

Dia menyarankan, pehobi foto Batuputih perlu lebih giat mencari obyek yang punya unsur action, bukan hanya diam. Serta, terus melakukan eksplorasi karena kawasan hutan Tangkoko dipercaya masih menyimpan banyak misteri.

“Foto bisa menjadi media kampanye tanpa kata. Kalau kita kampanye yaki, cukup tampilkan satu atau dua foto, masyarakat akan  teredukasi. Sekarang, kalau ada 60 foto, bisa jadi 60 materi kampanye.”

“Dari sisi peralatan, orang semakin dimudahkan. Persoalannya, obyeknya semakin berkurang. Kalau orang foto yaki atau tarsius, pikirnya Tangkoko, karena lokasi wildlife semakin hari semakin sediki,” tambahnya.

perlu dibaca :  Bukan Perburuan, Ancaman Kebakaran yang Menghantui Cagar Alam Tangkoko

 

Cekakak-hutan tunggir-hijau yang terlihat jelas di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Buku Foto

Setelah menyertakan diri dalam pameran, pehobi foto Batuputih diharapkan dapat membuat langkah maju, salah satunya membuat buku foto. Penilaian itu didasari pada publikasi foto hidupan liar di hutan Tangkoko yang didominasi oleh fotografer luar negeri. Padahal, warga Batuputih merupakan kelompok paling dekat dengan kawasan biodiversitas.

Ronny Buol, jurnalis senior dan penggagas komunitas foto F21 menilai, dari sisi teknis dan kualitas, karya foto warga Batuputih tidak kalah dengan fotografer profesional. Bahkan, katanya, karya yang ditampilkan dalam pameran “Marijo ka Tangkoko”, sudah layak dipublikasi dalam sebuah buku.

Foto mereka sudah sangat baik. Secara teknis tidak ada yang kurang. Hanya saja, mereka belum punya buku sendiri. Banyak buku tentang biodiversitas di Tangkoko dibuat orang luar, dan kita harus membayar dengan harga mahal. Padahal, mereka adalah kelompok yang paling dekat dengan biodiversitas,” terang Ronny Buol.

 

Julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi ini bisa ditemukan di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Khouni Lomban Rawung, istri Walikota Bitung yang ikut hadir dalam pameran itu berjanji akan memperjuangkan publikasi karya warga Batuputih dalam sebuah buku. Dia menyebut, publikasi tadi merupakan cara untuk menyampaikan keindahan dan keunikan satwa maupun ekosistem hutan Tangkoko.

“Itu harapan saya, dan akan saya perjuangkan. Saya pikir, (karya) ini milik bersama yang harus disampaikan terkait keindahannya, keunikan dan sumberdaya yang harus kita jaga,” ujarnya.

Khouni juga mengapresiasi upaya Yayasan Selamatkan Yaki dalam mempromosikan karya warga Batuputih. Kegiatan itu secara bersamaan ikut menyebarkan pesan dan pelajaran positif sebagai bahan edukasi buat masyarakat.

“Selaku duta yaki saya bangga dengan kiat-kiat atau apa yang telah dilakukan Yayasan Selamatkan Yaki.  Ekshibisi ini adalah cara yang luar biasa untuk mengapresiasi karya-karya fotografer lokal, serta upaya memperkenalkan potensi alam di hutan Tangkoko,” pungkas Khouni yang juga Kepala Sekolah Lingkungan Bitung ini.

 

Kuskus (Ailurops ursinus) yang senang hidup di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

***

Keterangan foto utama : Seekor tarsius di Taman Nasional Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version