Mongabay.co.id

Kembalikan Kejayaan Kelapa Dalam, Kabupaten Gorontalo Siap Moratorium Sawit

 

 

Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, sepakat menjalankan Inpres [Instruksi Presiden] Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan, Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit, serta Peningkatan Produktivitas. Peraturan ini dikenal dengan inpres moratorium sawit.

Keputusan ini terungkap dalam diskusi terfokus yang diinisiasi Sawit Watch, bekerja sama dengan Kantor Staf Presiden [KSP] dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari [LTKL], di Gorontalo, Kamis [21/3/2019].

“Kami mengapresiasi Pemerintahan Kabupaten Gorontalo karena sudah menjadi kabupaten perintis, pelaksanaan moratorium sawit. Apalagi Gorontalo populer dengan produktivitas jagung dan kelapa,” ujar Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama KSP.

Usep mengatakan, Presiden memberikan arah kebijakan berupa ekonomi keadilan berbasis pemerataan. Khususnya terkait tanah dan reforma agraria sebagai prioritas nasional 2017-2019, yaitu dengan keluarnya inpres moratorium sawit. Visinya, membatasi perluasan areal kebun sawit, menyelesaikan konflik tanah dan meningkatkan produktivitas.

Baca: Inpres Moratorium Sawit untuk Perbaikan Tata Kelola Sawit

 

Kelapa, potensi luar biasa yang harus mendapat perhatian penuh di Gorontalo. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Inpres ini terkait Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di dalam Kawasan Hutan [PPTKH], yang bermula dari Nota Kesepakatan Bersama [NKB] 13 Menteri di depan KPK.

Inpres juga diharapkan bisa diintegrasikan dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Dalam inpres disebutkan ada 11 kementerian dan lembaga terkait, termasuk para gubernur, bupati, atau walikota dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Tugas Bupati yang diinstruksikan adalah menunda penerbitan rekomendasi atau izin usaha perkebunan sawit dan izin pembukaan lahan baru yang berada pada kawasan hutan. Juga, melakukan pengumpulan data, peta, verifikasi izin lokasi dan izin usaha perkebunan [IUP] atau surat tanda daftar usaha perkebunan [STDUP] yang mencakup: nama dan nomor, lokasi, luas, tanggal penerbitan, peruntukan, luas tanam dan tahun tanam.

“Serta mengumpulkan data dan peta perkebunan rakyat pada kawasan hutan dan di areal penggunaan lain. Data tersebut disampaikan ke Gubernur dengan tembusan Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN,” jelas Usep.

Baca: Tak Perlu Sewot Kebijakan Uni Eropa, Serius Saja Benahi Tata Kelola dan Hilirisasi Sawit

 

Kakao yang menjadi andalan masyarakat Desa Makarti Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, juga harus diperhatikan. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Penghasil sawit

Indonesia merupakan penghasil sawit terbesar dan pemilik perkebunan sawit terluas sawit di dunia sekitar 14,2 juta hektar. Namun menurut Indah Fatinaware, Direktur Sawit Watch, data luas perkebunan sawit yang mereka dapat angkanya sekitar 22 juta hektar. Termasuk perkebunan ilegal.

Kondisi ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan struktur agraria. Korporasi atau perusahaan swasta [sekitar 30 kelompok bisnis], menguasai 12 juta hektar. Bahkan satu perusahaan ada yang menguasai setengah juta hektar lahan. Sawit Watch mencatat, pada 2018 konflik yang lahir sudah 742 kasus.

Menurut dia, moratorium harus dijalankan sebagai paket kebijakan ekonomi berkeadilan berbasis pemerataan. Harus dimaknai upaya bersama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha untuk menata ulang pembangunan perkebunan sawit yang produktif dan berkeadilan.

“Perbaikan tata kelola diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, buruh perkebunan dan juga pendapatan bagi pemerintah. Pastinya, sejalan dengan reforma agraria,” ungkap Indah.

 

Warga di Desa Molanihu, Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, enggan menanam sawit dan mempertahankan lahan mereka dengan model kebun campur, seperti jagung, kelapa dalam, kacang tanah, hingga kedelai. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

“Perkebunan sawit di Gorontalo, yang sudah mendapatkan izin ataupun dalam proses perlu dievaluasi, verifikasi, dan dipantau menyeluruh. Pertimbangan lain adalah, sawit tidak sesuai dengan budaya masyarakat dan tidak cocok dengan iklim di Gorontalo,” terang Rustamrin Akuba, Staf Ahli Bupati Kabupaten Gorontalo bidang pertanian.

Pertemuan tersebut juga mengungkap, pembangunan perkebunan sawit selama ini tidak memperhatikan kaidah lingkungan hidup. Proses Amdal hanya formalitas administrasi. Salah satu dampaknya adalah sulitnya memperoleh air di daerah yang sudah tumbuh sawit. Selain itu ada ketidakadilan penguasaan tanah antara perusahaan dengan petani.

Rumusan pertemuan itu juga menyepakati menjalankan Inpres Nomor 8 tahun 2018 di Kabupaten Gorontalo sebulan ke depan, melalui: Surat Edaran Bupati tentang pelaksanaan Inpres moratorium di Kabupaten Gorontalo. Juga, Surat Keputusan Bupati tentang Gugus Tugas Reforma Agraria [GTRA] di Kabupaten Gorontalo.

Baca: Kakao Berkelanjutan Makarti Jaya: Jenis Burung Bertambah, Produktivitas Meningkat

 

Petani perempuan di Desa Molanihu, Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, saat panen jagung. Mereka menolak perkebunan sawit. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Kelapa Dalam di Gorontalo

Terpisah, Bupati Kabupaten Gorontalo, Nelson Pomalingo, yang ditemui di rumah dinasnya mendukung hasil pertemuan tersebut. Nelson merupakan Ketua Umum Koalisi Kabupaten Penghasil Produk Kelapa Dalam [Kopek] di Indonesia.

Dia mengaku sudah ada beberapa perusahaan sawit yang datang menawarkan dan meminta lahan, namun ditolak. Akan ada komoditi lain yang didorong, seperti kelapa dalam dan peternakan yang terintegrasi jenis tanaman lain.

Nelson juga berencana membentuk kelompok kerja untuk mengawal moratorium sawit di Kabupaten Gorontalo, membuat surat edaran ke organisasi perangkat daerah, dan membentuk gugus tugas reforma agaria.

Dalam tulisan Mongabay Indonesia sebelumnya, ada tiga perusahaan sawit masuk ke Kabupaten Gorontalo, di bawah bendera Palma Group. Namun dua perusahaan tidak serius, PT. Heksa Jaya Abadi tancap gas turun mencari lahan masyarakat. Perusahaan ini mengincar empat kecamatan di Kabupaten Gorontalo, yaitu Bongomeme, Pulubala, Tabongo, dan Tibawa.

Berdasarkan laporan Kecamatan Bongomeme Dalam Angka [2012], penduduk yang bekerja pada sektor tanaman bahan makanan 7.816 orang. Komoditas unggulan di Kecamatan Bongomeme adalah beras, jagung, kacang tanah, cabai, kacang hijau, dan kelapa. Kehadiran sawit di wilayah mereka akan berdampak negatif terhadap ketersediaan pangan.

“Ada yang menjual tanahnya ke perusahaan. Tapi kami tidak tergiur menanam sawit. Sejak turun temurun kami biasa menanam kelapa, jagung, dan kacang tanah di lahan yang sama. Kalau sawit, tidak bisa ditanam campur,” ungkap Yanti Luawo, petani perempuan di Desa Molanihu, Kecamatan Bongomeme, ketika ditemui sedang panen jagung, Sabtu [23/3/2019].

Baca juga: Bujuk Rayu Sawit di Perkampungan Gorontalo

 

Sejak turun temurun masyarakat Molanihu, Kecamatan Bongomeme, biasa menanam kelapa, jagung, dan kacang tanah di lahan yang sama. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Rustamrin Akuba, yang juga mantan Kepala Badan Investasi Daerah Provinsi Gorontalo, menambahkan ada 12 perusahaan sawit yang berencana menanamkan modalnya di Gorontalo. Dari beberapa laporan yang ia temukan, perkebunan sawit bermasalah dengan masyarakat di sekitar lokasi.

Untuk Kabupaten Gorontalo, katanya, komoditi yang akan dikembangkan adalah kelapa dalam, produk unggulan Kabupaten Gorontalo. Berdasarkan daftar anggota Kopek, luas perkebunan kelapa dalam di Kabupaten Gorontalo sekitar 20.859 hektar.

Berdasarkan Statistik Perkebunan Indonesia: Kelapa 2014-2016, Direktorat Jenderal Perkebunan [2015], angka estimasi luas areal dan produksi serta status pengusahaan 2016, disebutkan luas perkebunan kelapa dalam milik rakyat di Gorontalo sekitar 70.474 hektar dengan produksi 66.581 ton. Sementara perkebunan kelapa dalam milik swasta luasnya 3.195 hektar dengan produksi 2.724 ton.

 

 

Buletin Palma Nomor 38 [Juni 2010], menjelaskan ada 4 kabupaten di Gorontalo yang mempunyai produktivitas serta kualitas kelapa tinggi, yakni Bone Bolango, Gorontalo, Boalemo, dan Pohuwato.

Populasi kelapa unggulan di kabupaten tersebut telah ditetapkan sebagai Blok Penghasil Tinggi [BPT]. Khusus Kabupaten Gorontalo dan Boalemo, masing-masing terpilih 2 populasi unggulan sebagai BPT, total 7 BPT terpilih di seluruh kabupaten tersebut.

Jurnal yang ditulis Bambang Heliyanto dan Elsje T. Tenda, itu mengambil kesimpulan, kelapa dalam di Desa Molowahu, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo dan di Desa Kramat Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo, merupakan varietas unggul spesifik Gorontalo. Potensi produktivitas antara 2.4 -3.4 ton kopra per hektar per tahun, dengan kadar minyak 61-67 persen.

Benih unggul kelapa dalam di Molowahu dan Kramat dapat digunakan untuk memenuhi program peremajaan di Gorontalo.

 

 

Exit mobile version