Presiden Joko Widodo telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) terkait moratorium dan evaluasi kebun sawit pada September 2018 lalu. Bertujuan memperbaiki tata kelola perkebunan sawit. Inpres itu memerintahkan kepada instansi pemerintah pusat dan daerah mengevaluasi kembali izin pelepasan kawasan serta menunda pembukaan kebun sawit.
Perjuangan lahirnya Inpres ini tak mudah. Kalangan CSO berharap pemerintah daerah, baik itu di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota bisa bersinergi dalam menjalankan amanah Inpres ini. Beberapa daerah telah menyatakan komitmen, termasuk pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion oleh Sawit Watch dengan pihak Pemerintah Sulsel di ruang rapat Bappeda Sulsel, Makassar, Kamis (6/12/2018).
Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, pada kesempatan ini menjelaskan latar belakang lahirnya Inpres dan tujuan yang ingin dicapai dengan Inpres tersebut.
“Sawit Watch sudah dua dekade perjalanannya dan terus berupaya mendorong bagaimana perkebunan sawit yang sudah ada kita perbaiki tata kelolanya, karena sampai saat ini terdapat 22 juta hektar lebih lahan sawit yang telah kami kumpulkan, tapi belum ada data yang pasti berapa sudah existing,” jelas Indah.
baca : Akhirnya, Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Terbit
Menurut indah, dengan adanya Inpres moratorium di nasional dan provinsi/kabupaten, maka selanjutnya akan dilakukan review perizinan dan evaluasi izin-izin sawit yang ada di daerah. Hanya saja, belum semua daerah mengetahui keberadaan Inpres ini.
“Inpres ini hanya tiga tahun tapi belum ada langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah bahkan beberapa daerah belum tahu ada inpres ini,” katanya.
Dikatakan Indah bahwa Inpres itu untuk melakukan evaluasi perizinan dan kemudian dalam proses evaluasi ini kepala daerah dan bupati harus melakukan moratorium memberikan izin untuk perkebunan sawit.
“Inpres ini sebenarnya untuk melakukan evaluasi izin-izin sawit yang sudah ada dan juga memperbaiki tata kelola perkebunan sawit. Sawit-sawit dalam kawasan hutan harus ditertibkan, begitu juga dengan sawit-sawit yang tak berizin dan tidak memiliki HGU.”
Menurut Indah, Inpres ini bisa bersinergi dengan Perpres Reforma Agraria. Di lapangan sendiri Indah mengakui melihat banyak ketimpangan, misalnya 22 juta hektar lahan yang belum dioptimalkan. Kemudian ada persoalan-persoalan struktur ketimpangan lahan, di mana korporasi menguasai lebih dari 50 persen, sementara rakyat hanya 30 persen dan perusahaan negara melalui PTPN sebanyak 20 persen.
“Kita lihat terdapat 50 persen penguasaan lahan sawit korporasi dikuasai lima grup besar, sementara petani-petani status penggarap tidak punya lahan sekitar. Mandat konstitusi kita untuk kesejahteraan bangsa itu belum berjalan ketika masih terjadi ketimpangan kepemilikan lahan,” katanya.
baca juga : Pemerintah Benahi Tata Kelola 20 Juta Hektar Kebun Sawit
Masalah lainnya adalah dampak lingkungan dari perkebunan sawit, buruh, dan persoalan sosial lainnya, termasuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di perkebunan.
“Ada tantangan secara global karena Indonesia memenuhi permintaan global 65-70 persen produk CPO, 30 persen untuk komsumsi domestik. Sekarang tantangan baru lagi, yaitu persoalan-persoalan lingkungan, yang menjadi ancaman sawit Indonesia. Sawit yang diekspor juga ada sawit rakyat sehingga kita perlu perbaikan tata kelola,” tambahnya
Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, menyitir pernyataan Gubernur Sulsel yang tidak menjadikan sawit sebagai produk unggulan.
“Sebelum Inpres ini keluar, gubernur sudah tahu akan ada Inpres moratorium ini. Sehingga bisa saja itulah yang menegaskan beliau bahwa Sulsel peruntukannya bukan untuk sawit,” katanya.
Menurut Amin, dari aspek luasan lahan, perkebunan di Sulsel sebenarnya masih tergolong kecil dibandingkan provinsi-provinsi lainnya, seperti Sumatra dan Kalimantan. Konflik juga tidak terlalu banyak meski tetap ada, yaitu konflik antara masyarakat dengan perusahaan negara.
“Ini bisa menjadi percontohan bagaimana perkebunan rakyat bisa meningkatkan ekonomi masyarakat dan bagaimana peran Pemprov meningkatkan produktivitas perkebunan sawit rakyat dan bagaimana Bappeda atau daerah merancang program karena dalam RPJMD. Gubernur mengatakan produktivitas lahan di Sulsel akan digenjot agar nilainya menjadi tinggi dengan tetap memperhatikan aspek keadilan lingkungannya,” katanya.
baca juga : Kajian UGM: 2,8 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan, 65% Milik Pengusaha, Solusinya?
Dikatakan Amin, terkait dengan perkebunan swasta dengan adanya moratorium ini, maka Pemprov Sulsel bisa melakukan review baik itu terkait perizinan ataupun kondisi di lapangan terkait keberadaan konflik.
“Di periode pemerintahan baru ini, pemerintah daerah harus lebih tegas, jangan mau diatur atau diperintah oleh perusahaan swasta,” tegasnya.
Yusran Yusuf, Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) Sulsel menyambut baik keberadaan Inpres moratorium ini sebagai sebuah upaya memperbaiki tata kelola perkebunan sawit di Sulsel.
“Intinya mengumpulkan data, me-review izin, provinsi akan di tengah-tengah posisinya. Kabupaten-kabupaten yang ada lokasi perkebunan sawitnya terlebih dahulu mengajukan, provinsi yang verifikasi. Saya lebih kepada bagaimana teknisnya, karena ini sebenarnya bagus seperti Tora (tanah obyek reforma agraria) yang berupaya untuk menyelesaikan konflik,” jelasnya.
Yusran juga menyambut baik usulan pembentukan tim kerja sebagai pihak yang akan mengawal proses implementasi Inpres ini.
“Kita sepakat membentuk tim kerja yang melibatkan instansi terkait, swasta, dan CSO seperti Walhi dan Aman. Tentu ini menjadi kesimpulan yang akan kami laporkan ke tingkat pimpinan untuk ditindaklanjuti, apakah mau dalam bentuk SK gubernur atau dalam bentuk apa pun nantinya.”
Yusran berharap implementasi Inpres ini nantinya harus melibatkan pemerintah kabupaten sebagai pemilik lokasi perkebunan sawit.
menarik dibaca : Petani Sawit Kecil Masih Terlilit Banyak Masalah
Terkait pembentukan tim kerja ini, Syamsu Alam, anggota TP2D Sulsel, berharap ada pelibatan swasta agar memudahkan dalam pengumpulan data.
“Revisi RTRW juga harus dipercepat. Apakah tidak ada HGU yang lain berubah fungsi jadi perkebunan sawit? Misal HGU peternakan. Itu juga perlu kita evaluasi. Kehutanan juga perlu dilibatkan.”
Menurutnya, selama ini perusahaan swasta sulit berkembang dalam pengelolaan lahan di Sulsel karena banyaknya klaim-klaim penguasaan lahan, termasuk yang berada di kawasan hutan.
“Kalau mau cepat berikan masyarakat,” katanya.
Surono, dari Dinas Lingkungan Hidup memaparkan perizinan sawit di Sulsel. Menurutnya, Izin lingkungan sawit yang sudah keluar berada di Kabupaten Enrekang dan Wajo, baik yang dikelola swasta ataupun PTPN.
“Yang sudah memiliki izin lingkungan itu kita bisa pastikan tidak berada di kawasan hutan. Yang tidak clear itu di lapangan yang dikuasai masyarakat apa masuk kawasan hutan atau tidak. Kami sebatas pada izin lingkungan atau Amdal saja, sementara yang tahu tapal batas kawasan hutan itu unit kerja KLHK di provinsi. Beberapa bulan yang lalu kami ikut di Tim Tora, memang ada yang bersentuhan langsung dengan kawasan hutan khususnya di Luwu Utara.”
Keberadaan Inpres ini sendiri bermula pada 14 April 2016, pada Hari Hutan Internasional di Pulau Karya, Kepulauan Seribu, di mana Presiden Joko Widodo menyampaikan akan mengeluarkan kebijakan moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit.
Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan Inpres Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit pada 19 September 2018.
Inpres ini ditujukan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian KLHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, BKPMD, gubernur dan bupati/walikota.