Mongabay.co.id

Kala Pemilu Laris Jualan Politik Identitas, Persoalan Lingkungan Terpinggirkan

Limbah yang meracuni Sungai Citarum membuat sungai ini tercemar berat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Saya jauh-jauh datang ke sini ingin menyampaikan kondisi Papua hari ini. Bahwa tanah Papua dan Papua Barat, kaya dengan hasil bumi dan hutan. Kami warga Papua, menyadari, tanah adalah mama bagi kami. Hari ini investor datang, perusahaan-perusahaan datang, mereka babat habis kami punya tanah! Menghabiskan gunung, hutan, ambil hasil bumi kami. Kami miskin di atas tanah kami sendiri,” kata Christin Gasper, dari Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Papua Barat, di depan panggung Basket Gelora Bung Karno Jakarta, Sabtu (23/3/19).

Suara perempuan itu lantang. Tepuk gemuruh dari ribuan orang dalam gedung membahana. Puluhan spanduk berisi pesan-pesan penyelamatan lingkungan dari berbagai daerah terbentang.

Christin lalu menyebut berbagai kasus lingkungan hidup yang merugikan warga Papua. Kasus Freeport Indonesia, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), tambang emas di Wasior, pembalakan hutan dan berbagai kasus lain.

“Pemerintah harus bertanggungjawab! Setop perampasan di tanah kami. Hentikan perusahaan yang merampas hak ulayat. Kami mau hidup tenang, damai di tanah kami!”

Tepuk tangan kembali membahani. Satu per satu warga perwakilan dari berbagai daerah maju ke panggung menyuarakan aspirasi, menceritakan situasi dan harapan bagi Indonesia ke depan.

Gelaran bertajuk “Rapat Akbar Konsolidasi Politik Lingkungan Hidup” ini diselenggarakan Walhi. Organisasi lingkungan hidup itu mengumpulkan ribuan orang dari berbagai daerah untuk menjaring aspirasi terkait persoalan lingkungan menjelang perhelatan pesta demokrasi.

Jeje, pria setengah baya asal Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta, juga bercerita. Dia bilang, kondisi pelik dialami dia dan rekan-rekannya.

 

Anak di Desa Marombo Pantai mengandalkan air sungai untuk mencuci. Air ini diduga tercemar limbah ore nikel. Di atas gunung jadi lokasi tambang. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Sejak 1949, katanya, mereka mengelola wilayah di pesisir pantai di sebelah timur Pantai Baron. Tahun 2011, ada investor datang dan mengklaim tanah itu sudah jadi milik mereka dan bakal jadi resor.

“Kami sebagai orang yang tak tahu, dengan pendidikan kurang, tak bisa berbuat apa-apa.”

Pemerintah Gunung Kidul, katanya, sedang giat mempromosikan pariwisata kaena pemandangan Pantai Gunung Kidul, indah. Tak heran kalau wisatawan banyak berdatangan. Namun, katanya, pariwisata, seharusnya tak korbankan warga. Masyarakat lokal, terancam hanya jadi penonton.

Rindra dari Komunitas Ring of Fire mengatakan, isu keadilan ekologis di tahun politik ini seolah terkesampingkan. Kedua pasangan calon, tak menempatkan isu lingkungan hidup jadi bahasan utama dalam janji-janji politik mereka.

“Masyarakat awam dan akar rumput, terutama pemilih yang baru pertama kali memilih, harusnya juga tahu, pelestarian alam itu penting buat masa depan. Masyarakat harus memilih pemimpin yang membuat Indonesia swasembada pangan, hutan lestari, masyarakat makmur,” katanya.

Berbagai orasi, penyampaian pandangan, pemikiran digelar terbuka. Harapannya, suara-suara warga yang termarginalkan dalam pengelolaan sumber daya alam itu bisa terdengar oleh para kontestan pemilu 17 April. Mereka menuntut, pemerintah mendatang serius mengatasi berbagai persoalan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam berlebihan, menyelesaikan konflik agraria dan berbagai masalah lain.

Nur Hidayati, DIrektur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, rapat akbar itu salah satu upaya dan ikhtiar untuk bersetia pada agenda perubahan, mewujudkan kedaulatan rakyat atas sumber-sumber penghidupan. Juga, memastikan negara melindungi, menghormati, hak-hak warga negara atas lingkungan yang baik dan sehat.

“Di tengah kontestasi politik yang berlangsung kini, Walhi merasakan keprihatinan mendalam terhadap perhatian minim dan perdebatan substansial, membincangkan nasib rakyat yang masih termarjinalkan, kriminalisasi.” Walhi, katanya, prihatin, kontestasi politik menjebak rakyat Indonesia pada politik identitas yang merusak persatuan. Masa pemilu, malah jadi ajang meributkan suku, agama, dan seputar itu.

 

Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

Yaya, sapaan akrabnya, bilang, rapat akbar ini juga ingin mengajak semua pihak kembali membincangkan hal-hal substansial.

“Jika para aktor politik ingin mendapatkan suara, mulailah menoleh ke sekeliling anda. Anda bisa melihat ada ribuan warga yang tengah berjuang mempertahankan sumber-sumber penghidupan. Mulailah mendekat dan mendengarkan aspirasi mereka.”

Senada dikatakan Khalisah Khalid, Koodinator Desk Politik Walhi Nasional. Dia bilang, di tengah perhelatan pesta demokrasi, isu keadilan ekologis seolah luput dari perhatian para politisi. Yang banyak dibahas, katanya, justru hal-hal tak substansial.

“Kita disuguhkan dengan menguatnya politik identitas justru memecah belah. Wacana publik baik di media maupun medsos jauh dari persoalan rakyat. Agenda keadilan ekologis terpinggirkan,” katanya.

Masyarakat, katanya, justru bertarung dengan kampanye yang jauh dari persoalan dasar, terutama lingkungan hidup, konflik agraria, kriminalisasi pejuang lingkungan, kerusakan hutan, pencemaran.

“Kami ingin isu lingkungan tak jadi pinggiran. Bukan hanya saat pemilu saja, juga pemerintah ke depan. Harus memperhatikan hak-hak masyarakat dengan kelolanya.”

Negara, katanya, harus mengambil lagi peran memberikan keselamatan kepada rakyat. Juga menjalankan konstitusi sebagai benteng penjaga HAM, serius menuntaskan konflik agraria dan kasus-kasus lingkungan.

“Kita juga mendorong negara dan pemerintah ke depan memberikan pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat.”

 

Keterangan foto utama:  Limbah yang meracuni Sungai Citarum membuat sungai ini tercemar berat. Persoalan lingkungan macam ini yang terjadi di berbagai daerah, tak jadi isu bahasan dalam pemilu, warga sebagai pemilih malah sibuk dengan politik identitas.  Foto: Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kebakaran hutan dan lahan di Sulawesi Tenggara. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia
Laut, tempat hidup orang Bajo sudah tercemar limbah nikel. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version