Mongabay.co.id

100 Tahun Tangkoko : Kemandirian Warga Membangun Ekowisata

Cagar Alam Tangkoko memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan ekosistem yang khas. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Kelurahan Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara saat ini menjadi tempat singgah utama bagi wisatawan dari berbagai negara, yang ingin menyaksikan satwa endemik di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih.

Karena menjadi tempat singgah, banyak terdapat homestay bagi wisatawan, baik mancanegara maupun domestik di Batuputih. Saat ini terdapat 10 penginapan dengan total 117 kamar yang seluruhnya dikelola masyarakat lokal Batuputih

Sedangkan jumlah pengunjung TWA Batuputih juga meningkat. Pada tahun 2017, ada sebanyak 6.352 orang wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik 5.314 orang. Kemudian, pada 2018, jumlah pengunjung TWA Batuputih dan TWA Batuangus menyentuh angka 12.000 wisatawan.

baca :  100 Tahun Tangkoko : Cerita Warga Membangun Ekowisata

 

Jalan utama di kelurahan Batuputih Bitung, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Pemandu Lokal

Tidak hanya homestay, ekowisata di TWA Batuputih juga membuka profesi baru bagi masyarakat lokal, yaitu pemandu wisata.

Petugas kehutanan yang dulunya mendominasi aktifitas kepemanduan, kini telah digeluti puluhan warga kelurahan Batuputih. Diperkirakan, jumlahnya sekitar 50 orang. Semuanya warga lokal. Bahkan, profesi ini juga digeluti oleh warga yang bekerja di sektor ekonomi lainnya.

Jefry, misalnya, pemandu yang mendampingi saya ke TWA Batuputih adalah nelayan setempat. Cuaca buruk dalam beberapa waktu menghalanginya melaut, sehingga mendampingi wisatawan menjadi alternatif supaya dompet tidak kosong.

Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih dan Cagar Alam (CA) Tangkoko, bukanlah tempat asing buat Jefry. Sejak remaja dia sudah keluar-masuk hutan. Beranjak dewasa, dia melibatkan diri dalam patroli dan sering menemukan jerat ataupun perangkap di sekitar TWA maupun CA. Dalam situasi seperti itu, ia beberapa kali menggagalkan misi para pemburu.

Seperti pemandu pada umumnya, Jefry  juga telah mengetahui lokasi dan etika berinteraksi dengan satwa liar. Sepanjang perjalanan, dia sempat menyebut sejumlah spesies burung yang tidak saya ingat namanya. Belakangan saya tahu jenis-jenis itu di antaranya, Lilac checked kingfisher, Green back kingfisher, Black dronggo dan elang sulawesi atau Sulawesi hawk eagle.

baca juga :  100 Tahun Tangkoko, Apakah Ekowisata Berorientasi Lingkungan dan Masyarakat Setempat?

 

Elang sulawesi atau sulawesi hawk eagle (Nisaetus lanceolatus) di TWA Batuputih, Bitung, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Jefry bukan pemandu yang punya pengetahuan spesifik tentang burung.  Dia hanya mengetahui spesies burung yang umum dijumpai. Tapi kata Jefry, di kelurahan Batuputih terdapat sekitar 10 pemandu yang punya pengetahuan khusus tentang burung.

Mereka biasanya mendampingi peneliti atau fotografer untuk membantu menemukan burung jenis tertentu juga habitatnya. “Tarifnya lebih tinggi, karena waktu lebih lama, kemudian perlu pengetahuan lebih tentang burung,” terang Jefry.

Seperti tertulis pada dinding Tangkoko Education Center, di hutan Tangkoko terdapat 210 spesies pohon dan 233 spesies burung. Tangkoko juga merupakan habitat beragam satwa liar endemik Sulawesi, seperti yaki (Macaca nigra), Tarsius spectrum, kuskus Beruang (Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis), serta rangkong (Rhyticeros cassidix).

Saroyo Sumarto, primatolog Universitas Sam Ratulangi mengatakan, ekowisata TWA Batuputih memiliki beberapa keunggulan, yaitu kemudahan mengakses spesies flagship seperti yaki dan tarsius. Kemudian, peran aktif masyarakat dalam program kepemanduan, serta tumbuhnya penginapan di sana.

“Dari dulu konsepnya adalah masyarakat bisa berkolaborasi dalam pariwisata di sana. Di mana-mana saya yakin konsepnya juga begitu,” terangnya kepada Mongabay.

menarik dibaca :  100 Tahun Tangkoko: Menelisik Perjalanan Panjang Konservasinya

 

Yaki atau monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra), primata endemik Sulawesi di TWA Batuputih, Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Saroyo berharap, pariwisata di TWA Batuputih tetap mempertimbangkan daya dukung lingkungan, dengan membatasi jumlah wisatawan. Dia khawatir, tanpa kontrol, pariwisata akan berdampak pada habitat maupun satwa liar di sana.

“Di TWA Batuputih sudah ada camping ground, bagaimana mungkin tidak akan ada mass tourism? Memang, di mana-mana, ekoturisme selalu menuju ke turisme masal. Tapi perlu diatur zona-zonanya. Kemudian, diarahkan pada sarana pendidikan konservasi. Tapi itu sulit, karena kebanyakan (mass tourism) tidak mampu dikontrol” kata Saroyo.

 

Etika Pariwisata

Dalam pariwisata di TWA Batuputih, wisatawan mancanegara maupun domestik, tidak diperkenankan membawa pemandu dari luar tanpa pendampingan pemandu lokal. Sebab pertama, kecil kemungkinan mereka bisa menemukan spesies tertentu tanpa panduan warga Batuputih. Persoalan lain, ada etika-etika yang perlu dipatuhi wisatawan yang berkunjung ke TWA Batuputih.

“Ya, karena mereka tidak tahu lokasi dan etika interaksi dengan satwa. Kan, bahaya kalau mereka beri makan yaki. Kemudian, ada semacam kearifan lokal di sini, harus pakai guidelokal,” ujar Alfrets Masala, pemandu wisata Batuputih.

Alfrets adalah putra dari Yunus Masala, pemilik “Tangkoko Ranger”. Sejak kecil ia sudah ikut ayahnya keluar-masuk hutan untuk mengantar wisatawan. Kebiasaan itu kemudian memberinya pengetahuan mengenai satwa liar dan etika di dalam hutan. Selain itu, pengalaman pribadi dan pelatihan dari sejumlah lembaga konservasi nampak berkontribusi mempertajam spesifikasi pengetahuan.

perlu dibaca :  100 Tahun Tangkoko : Kisah Wallace di Tangkoko

 

Paruh enggang, salah satu satwa di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulut. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Pemandu TWA Batuputih juga telah mengalami perkembangan dalam manajemen pariwisata. Misalnya, selain menunggu di depan pos penjagaan, atau menunggu tamu yang menginap di homestay, mereka juga membuat promosi mandiri.

“Biasa promo masing-masing. Lewat Facebookatau situs-situs tertentu. Nanti tamu langsung kontak ke masing-masing homestayatau pemandu. Tapi paling cepat dari mulut ke mulut. Tamu datang, kemudian dia rekomendasi guideatau homestay,” terang Alfrets.

Ketika high season, mereka membagi wisatawan dalam beberapa kelompok. Bahkan, jika pengunjung terlampau membludak, mereka akan menambah jumlah pemandu, serta mengatur rute perjalanan untuk menghindari kepadatan di satu titik.

Biasa dibagi. Wisatawan dibagi beberapa kelompok. Kemudian, jumlah guide di satu kelompok ditambah. Biasanya satu kelompok akan didampingi 2 guide. Kemudian, rute tiap kelompok juga diatur. Tidak boleh banyak orang menumpuk di lokasi yang sama,” terang Alfrets.

Etika pariwisata sudah menjadi pembahasan sejak lama di kelurahan Batuputih. Pada Juli hingga Desember 1993, Margaret Kinnaird dan Timothy O’Brien menyebar 200 kuesioner pada wisatawan yang menginap di beberapa homestay di Batuputih. Mereka meminta pendapat tentang pengamatan satwa, lama tinggal, angka dan durasi perjalanan di dalam hutan, hingga kualitas pemandu.

Dalam riset itu, mereka menyatakan, wisatawan harus dibatasi ke jalur tertentu dan melakukan perjalanan dalam kelompok kecil, maksimum 5 orang (termasuk pemandu) untuk meminimalisir dampaknya. Selain itu, perlu juga pelatihan komunikasi tentang ekosistem hutan, serta lisensi bagi pemandu wisata. Pelatihan dan lisensi itu diyakini akan memberikan pemasukan yang lebih tinggi, sekaligus mengurangi dampak negatif pada satwa liar.

“Berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan, jelas bahwa ekowisata bukanlah obat mujarab untuk menjaga keanekaragaman hayati. Tidak ada pariwisata yang netral secara ekologis, akan selalu ada dampak. Sekarang kami telah membuka ‘kotak pandora’, untuk meminimalkan dampak ini, dengan mengembangkan dan menerapkan rencana manajemen wisata yang bijak,” tulis mereka dalam “Ecotourism in the Tangkoko DuaSudara Nature Reserve: Opening Pandora Box?”

baca juga :Kampanye Tangkoko dalam Karya Fotografer Lokal

 

Kuskus (Ailurops ursinus) yang senang hidup di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

 

Pemberdayaan Masyarakat

Belakangan, beberapa lembaga coba mengembangkan konsep ekowisata di TWA Batuputih. Yayasan Selamatkan Yaki, misalnya, membuat program pemberdayaan masyarakat lewat pelatihan Bahasa Inggris, menerbitkan buku panduan, hingga menjalankan mempromosikan fotografer lokal.

Harry Hilser, Direktur Program Yayasan Selamatkan Yaki mengatakan, ekowisata menjadi bagian penting untuk mendukung perekonomian warga Batuputih, serta menjaga kelestarian ekosistem hutan. Karena itu, semua pihak harus mengambil peran dalam mempromosikan Tangkoko sebagai obyek pariwisata, juga membantu pelestarian kawasan.

“Sekarang sudah ada perkembangan bagus, positif. Pemkot Bitung juga mempromosikan Tangkoko sebagai tempat wisata. Sudah lebih banyak homestay, infrastruktur sudah lebih bagus, portal sudah tutup jadi kendaraan tidak bisa masuk. Tangkoko sudah berkembang, walau masih perlu beberapa dukungan,” kata Harry.

Yayasan Selamatkan Yaki coba memperkuat dukungan tersebut melalui beberapa pendekatan,yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Untuk mencapai tujuan ekowisata, mereka membuat program peningkatan kapasitas pemandu.

 “Tujuannya, semua pemandu terdaftar sebagai anggota komunitas, berkolaborasi dengan BKSDA Sulut, mengikuti kebijakan, pelatihan bahasa Inggris, kemudian membuat SOP (Standar Operasional Prosedur) untuk pemandu wisata,” terang Harry.

menarik dibaca :  Jejak Alfred Russel Wallace Itu Sungguh Mengagumkan

 

Seekor tarsius di Taman Nasional Tangkoko, Sulawesi Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, Yayasan Selamatkan Yaki juga sempat membuat penelitian pada pengunjung di homestay-homestay di Batuputih. Hasilnya, sebagian besar pengunjung mengaku tidak mendapat informasi tentang kode etik, serta tidak menerima informasi tentang spesies dan status konservasinya.

Karena penilain itu, mereka coba membuat standar pemanduan. Lewat bantuan Epass (Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation), mereka menyusun SOP untuk pemandu wisata TWA Batuputih. SOP diharap dapat membuat pariwisata di TWA Batuputih lebih terstruktur dan sistematis.

“Ada yang bagus, tapi ada yang perlu bantuan,” terang Harry. “Pemandu punya peran besar untuk mempromosikan lokasi wisata, tapi juga menyampaikan konservasi. Mereka perlu lebih informatif, juga memastikan keamanan dan kenyamanan.”

Harry menambahkan, kedepannya, pengelolaan pariwisata TWA Batuputih perlu mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Terutama, mengkontrol jumlah wisatawan yang masuk ke dalam hutan, untuk menghindari dampak negatif pada ekosistem.

Mass tourism bagus untuk ekonomi tapi berdampak negatif pada ekosistem. Harus belajar dari kasus-kasus di tempat lain. Kalau itu terjadi, harus dikontrol, perlu mendistribusikan wisatawan ke lokasi lain (selain TWA Batuputih). Pariwisata tetap harus mengurangi risiko interaksi dengan satwa liar, mengurangi dampak pada ekosistem,” kata Harry.

baca :  Wallacea, Surga Keragaman Hayati yang Minim Penelitian

 

Lilac checked kingfisher di Taman Wisata Alam Batuputih, Bitung, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Paul Salainti, Community Enhancement Specialist Epass Tangkoko menilai, perlunya membangun sistem untuk pengelolaan kawasan konservasi. Sehingga, pengelola maupun masyarakat lokal perlu mendapat pemberdayaan.

Salah satu bentuk pemberdayaan dilakukan lewat program revitalisasi Koperasi Maleo, yang sebetulnya telah didirikan BKSDA Sulut pada 2016. Namun, dalam perkembangannya, koperasi tidak berjalan maksimal. Kini, anggota koperasi berjumlah 50 orang. Epass coba merancang sistem, serta membangun kapasitas pengurus.

Pada 2016, Epass juga memfasilitasi Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) untuk membangun sistem yang memberi kesempatan pada masyarakat terlibat dalam pengelolaan kawasan. Lewat KKM, masyarakat menyepakati rambu-rambu dan fungsi dalam kawasan.

“Masyarakat harus tahu di kawasan ada fungsi-fungsi, TWA bisa dimanfaatkan, (blok) perlindungan tidak bisa diakses,” kata Paul.

Pasal-pasal KKM mengamanatkan masyarakat untuk membentuk wadah, yaitu Lembaga Konservasi Masyarakat. Lembaga ini terdapat di tingkat kecamatan dan kelurahan. Hingga berita ini dibuat, telah terbentuk 7 lembaga konservasi tingkat kelurahan.

baca juga :  Menelusuri Jejak Wallace di Maros

 

Green back kingfisher di dalam TWA Batuputih, Bitung, Sulut. Foto Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Paul menyebut, Lembaga Konservasi Kelurahan (LKK) jadi semacam perantara BKSDA Sulut dengan masyarakat. Ia juga punya 3 fokus kerja yaitu perlindungan, penyadartahuan dan sosialisasi, serta pemberdayaan masyarakat.

“Program LKK ini langsung dari masyarakat. Mereka yang usul, mereka yang kelola sendiri. Kami hanya butuh LKK ini berkelanjutan, jadi kami beri penguatan pada mereka,” ujarnya.

Epass juga berencana mengalokasikan anggaran untuk sertifikasi pemandu lokal. Mereka akan melibatkan Himpunan Pramuwisata Indonesia. Sertifikasi dianggap penting karena baru 20 persen pemandu TWA Batuputih yang tersertifikasi.

“Mereka harus tersertifikasi, supaya teratur. Kalau masyarakat kelola, guide-nya tidak tersertifikasi, ya justru akan membuat citra jelek. Tapi kita harus menghormati mereka, karena mereka bagian dari menjaga (kawasan konservasi). Kami hanya melakukan penertiban, supaya masyarakat ada izin, aturan mainnya diikuti. Istilahnya, kami ingin mengembalikan pengelolaan pada BKSDA,” pungkas Paul.

 

Black dronggo di TWA Batuputih. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

***

Keterangan foto utama : Cagar Alam Tangkoko memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan ekosistem yang khas. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version