Mongabay.co.id

Seperti Apa Kebijakan Kelautan Indonesia untuk Kedaulatan Maritim?

 

Pemerintah Indonesia terus bekerja keras untuk bisa menegakkan kedaulatan maritim di wilayahnya sendiri, salah satunya dengan cara mengontrol wilayah laut Indonesia dengan seksama. Bentuk lain yang juga dilakukan Pemerintah, adalah dengan membuat buku putih tentang kebijakan kelautan Indonesia (KKL), yang di dalamnya diatur tentang diplomasi maritim yang juga sudah dibakukan dalam Peraturan Presiden No.16/2017.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, KKL yang dibukukan adalah bukti bahwa Indonesia serius untuk menjadi poros maritim di dunia. Tidak hanya itu, buku putih tersebut diketahui menjadi dokumen resmi pertama pertama bagi Indonesia berkaitan dengan isu kemaritiman.

“Walaupun, sejak dua tahun lalu, Indonesia sudah memiliki aturan diplomasi maritim yang tertuang dalam Perpres,” ungkapnya di Jakarta, pekan lalu.

baca juga :  Apakah Pembangunan Poros Maritim Sudah Sukses?

 

Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Dengan kehadiran buku putih KKL, Luhut mengharapkan para pembuat kebijakan, diplomat Indonesia dan negara-negara sahabat, akademisi, dan media bisa memanfaatkannya untuk kepentingan Indonesia. Terlebih, karena di dalam buku putih tersebut, tertuang aturan diplomasi kemaritiman yang menjadi ruh dalam kedaulatan maritim nasional.

Luhut menjelaskan, ada empat sasaran dalam buku putih yang sudah diselesaikan penulisan naskahnya itu, yaitu untuk perlindungan kedaulatan wilayah nasional, kesejahteraan dan keterhubungan, stabilitas kawasan dan global, serta kapasitas nasional. Keempat poin tersebut bisa menjadi acuan diplomasi maritim bagi semua pihak terkait.

Melalui buku putih KKL, Luhut semakin yakin bahwa kedaulatan maritim bisa terus ditegakkan di bumi Nusantara. Tetapi, dia menyebut ada beberapa hal yang menjadi fokus dalam upaya Pemerintah dalam menegakkan kedaulatan maritim. Salah satunya, adalah upaya lobi atau diplomasi dalam penyelesaian batas-batas wilayah Republik Indonesia.

 

Diplomasi Maritim

Pentingnya poin pertama dijadikan fokus, menurut Luhut, karena Indonesia belajar banyak dari masa lalu saat kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang lepas dari wilayah Indonesia karena kalah diplomasi dari Malaysia di persidangan hukum internasional. Kasus tersebut, menjadi pelajaran penting yang harus terus diingat dijadikan peringatan untuk terus waspada bagi bangsa Indonesia.

“Kita tidak ingin lagi kalah seperti kasus Sipadan dan Ligitan dahulu. Saya sudah bicara dengan Prof Hasjim Djalal bagaimana kita melakukan lobi, penanganan pulau-pulau yang mungkin belum terselesaikan,” tuturnya.

Poin kedua yang juga harus menjadi fokus, menurut Luhut, adalah penguatan militer melalui penambahan alat utama sistem persenjataan (Alutsista). Agar biaya untuk penambahan sistem persenjataan nasional bisa berbiaya efisien, maka pembuatannya harus dilakukan di dalam negeri dan tidak harus dilakukan melalui impor.

“Alutsista kita juga tidak ingin lagi beli yang bekas, kita ingin semua brand new, tapi dibuat dalam negeri,” kata dia.

baca juga :  Begini Kampanye Kebijakan Kelautan Indonesia untuk Wujudkan Indonesia Negara Maritim

 

Seorang nelayan dari Suku Bajo sedang mencari ikan di perairan Pulau Bungin, Sumbawa Besar, NTB. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Akan tetapi, Luhut menyebutkan, kedaulatan maritim juga harus tetap dikawal dengan bantuan militer dari TNI Angkatan Udara dan Laut. Untuk udara, kehadiran pesawat masih tetap dibutuhkan dan itu harus diperbarui Alutsista melalui pembuatan pesawat terbang di dalam negeri dengan menggunakan teknologi hasil kerja sama dengan negara lain.

Khusus untuk pertahanan di air, Luhut menyebutkan bahwa Pemerintah saat ini fokus mengontrol lalu lintas kapal-kapal asing, baik kapal dagang ataupun perikanan yang melintas di perairan Indonesia. Pemantauan itu dilakukan melalui sistem alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang salah satunya dikendalikan oleh Kementerian Perhubungan.

Pentingnya memantau alur laut, menurut Luhut, karena di sana ada lalu lintas beragam dari berbagai negara yang tidak hanya berhubungan dengan perikanan saja. Dengan kata lain, jika tidak dipantau, maka bisa saja ada kapal selam nuklir ataupun kapal asing yang lewat di wilayah perairan nasional. Untuk itu, dalam upaya menegakkan kedaulatan kemaritiman, maka pemantauan menjadi fokus utama saat ini dan masa mendatang.

“Sekarang ini kita awasi karena penting. Kalau dulu tidak. sehingga kita tidak bisa kontrol. Tapi sekarang semua bisa kita pantau dengan alat yang dibuat oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi),” tuturnya.

Dalam menjaga wilayah kemaritiman yang mencakup wilayah kelautan di dalamnya, Luhut juga mengingatkan bahwa mengembangkan kawasan Natuna yang masuk dalam administrasi Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, menjadi sangat penting dan strategis. Salah satu proyek yang sudah dilaksanakan di sana, adalah pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) Natuna.

Selain proyek SKPT, Luhut menyebutkan, Pemerintah juga sekarang sedang mengembangkan sebuah proyek di perairan Laut Natuna Utara dengan menggunakan teknologi canggih seperti kamera pengintai (drone). Proyek itu dibangun untuk memudahkan nelayan pencari ikan dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah Laut Natuna Utara.

“Pemerintah juga akan membangun tanker untuk isi ulang kapal-kapal nelayan. Dengan demikian, kita bisa menikmati hasil-hasil laut kita sehingga tidak ada lagi orang mengklaim bahwa wilayah tersebut adalah traditional fishing ground lagi,” tegasnya.

menarik dibaca:  Tak Ada Pembahasan Kedaulatan Masyarakat Pesisir dalam Debat Capres Kedua

 

Penenggelaman kapal asing di perairan Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat pada April 2017. Foto : Istimewa/Mongabay Indonesia

 

Kegagalan Negara

Akan tetapi, di mata Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim utama di dunia masih hanya sebatas angan-angan saja. Penilaian tersebut, karena selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo,  Negara dinilai sudah gagal memberikan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir di seluruh Nusantara.

Bagi Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, dalam membangun poros maritim dunia, Indonesia harus menjadikan lima pilar utama sebagai pijakannya. Kelimanya, adalah membangun kembali budaya maritim Indonesia; menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama; dan memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut dalam, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.

Kemudian, pilar keempat yang menjadi pijakan, adalah penerapan diplomasi maritim melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan.

“Untuk terakhir atau kelima, yaitu membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim,” tuturnya belum lama ini.

perlu dibaca :  Perlu UU Khusus Kemaritiman Untuk Jadikan Indonesia Negara Maritim

 

Aktivitas di tempat pelelangan ikan Beba Galesong Utara, Takalar. Diperkirakan 20 ribuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang pesisir Takalar dan menjual ikannya di TPI ini. sejumlah nelayan mengeluhkan mulai adanya penurunan tangkapan ikan sejak adanya penambangan pasir di perairan mereka. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susan, pilar yang menjadi pijakan dalam melaksanakan pembangunan poros maritim dunia di Indonesia, sudah berjalan sejak Jokowi memimpin Negeri ini hampir lima tahun lalu. Tetapi, selama itu pula, Indonesia hanya dijadikan sebagai subnarasi One Belt One Road (OBOR) Tiongkok. Kinerja tersebut, menjelaskan bahwa kepemimpinan Jokowi gagal mewujudkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.

“Indonesia harus melayani kepentingan ekonomi-politik Pemerintah Tiongkok. Di sisi lain, Pemerintah juga semakin memperlihatkan keberpihakannya kepada investor,” ungkapnya.

Bukti bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi lebih banyak berpihak ke investor, kata Susan, banyak proyek yang dilaksanakan dengan dalih untuk meningkatkan daya saing Indonesia di dunia internasional. Kenyataannya, proyek-proyek tersebut hanya sebagai pembungkus saja untuk memuluskan jalan keberpihakan kepada para pemilik modal.

Adapun, proyek-proyek yang dibangun dengan dalih untuk meningkatkan daya saing Indonesia, di antaranya proyek reklamasi, proyek destinasi wisata baru, konsesi tambang di pesisir, serta berbagai proyek lainnya yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir. Di saat yang sama, kesejahteraan masyarakat pesisir justru berjalan di tempat dan itu menjadi kabar buruk bagi masyarakat pesisir.

Selain proyek reklamasi, Susan menyebutkan, masyarakat pesisir di Indonesia juga menderita oleh proyek pertambangan pesisir dan proyek pariwisata pesisir serta pulau-pulau kecil yang saat ini tengah dikembangkan oleh pemerintah melalui proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Untuk proyek tambang, sebanyak 32 ribu keluarga nelayan menjadi terdampak.

“Sementara itu, proyek pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil yang merampas ruang hidup, menjadi ancaman setidaknya bagi satu juta keluarga nelayan di Indonesia. Kesimpulannya, setelah lima tahun poros maritim, masyarakat pesisir di Indonesia tak lebih sejahtera. Sebaliknya, mereka semakin kehilangan ruang hidup akibat kebijakan pembangunan,” tandasnya.

 

Exit mobile version