Mongabay.co.id

KKP dan Kemhub Sinergikan Layanan Perizinan Nelayan Kecil, Bagaimana Implementasinya?

***

Sejak Pemerintah Indonesia melarang kapal ikan asing (KIA) beroperasi untuk menangkap ikan di wilayah perairan nasional, armada penangkapan ikan langsung mengalami perubahan signifikan. Jika dulu kapal penangkap ikan didominasi kapal-kapal berbobot besar, namun sejak larangan mulai berlaku pada akhir 2014, kapal-kapal penangkap ikan didominasi berukuran di bawah 10 gros ton (GT).

Dominasi kapal-kapal berukuran kecil tersebut diakui Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar. Menurut dia, saat ini kapal berukuran kecil mendominasi dengan 89% dari total semua armada penangkapan ikan nasional yang jumlahnya mencapai sekitar 600.000 unit dan menyebar di seluruh Indonesia.

Sebagai kapal kecil, Zulfiar menyebut bahwa operasional mereka akan banyak bergantung pada wilayah perairan pesisir dan dengan modal yang tidak besar. Fakta tersebut, membuat kapal-kapal kecil tersebut tidak akan banyak bergerak dan itu berbeda dengan kapal besar yang memiliki modal cukup dan daya jelajah yang lebih jauh.

baca :  Sistem Perizinan Perikanan Tangkap Dibuat Lebih Simpel, Seperti Apa?

 

Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Dengan fakta seperti itu, Zulficar tidak menampik jika nelayan skala kecil yang mengoperaikan kapal ikan di bawah 10 GT memiliki sejumlah kendala teknik di lapangan. Termasuk, berkaitan dengan urusan perizinan kapal yang harus dilakukan di tingkat Provinsi di masing-masing daerah. Sebagai nelayan kecil, fakta itu menyulitkan mereka untuk melakukan proses pengurusan dokumen kapal perikanan dan kepelautan.

“Banyak nelayan kecil mengatakan, kendala yang paling besar yaitu sulitnya akses dan minimnya pengetahuan,” ucapnya di Jakarta, pekan lalu.

Agar permasalahan seperti itu bisa diatasi, Zulficar mengatakan, KKP berinisiatif untuk menjalin kerja sama dengan Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Perjanjian kerja sama (PKS) yang sudah ditanda tangani itu, akan fokus pada pelayanan status hukum kapal penangkap ikan dan kepelautan di seluruh Nusantara.

Zulficar menuturkan, PKS dengan Kemenhub menjadi langkah terobosan untuk membantu memecahkan persoalan yang sering dihadapi nelayan skala kecil, yaitu status hukum kapal seperti Pas Kecil: Surat Ukur, Gross Akta, Izin yang mencakup Buku Kapal Perikanan, dan Bukti Pencatatan Kapal Perikanan (BPKP), Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), dan Surat izin Penangkapan Ikan (SIPI) kapal yang dimiliki.

“Selain itu juga memberikan sertifikasi kepelautan dalam bentuk buku pelaut atau seaman book,” jelasnya.

baca juga :  Saat Presiden Perintahkan Susi Persingkat Perizinan Perikanan Demi Nelayan 

 

Sejumlah kapal dengan alat tangkap ikan berupa cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Jemput Bola

Dengan memberikan bantuan kepada nelayan skala kecil, Zulficar memastikan tim akan menjemput bola langsung ke sentra-sentra nelayan di seluruh Indonesia. Dengan demikian, status hukum yang dibutuhkan oleh nelayan diharapkan bisa diproses dan diselesaikan. Jika itu bisa terjadi, maka keselamatan nelayan juga akan terjamin saat sedang bekerja.

“Itu akan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan juga jika status hukumnya jelas,” tambahnya.

Pentingnya memiliki status hukum yang jelas, menurut Zulficar, karena dokumen kepelautan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keselamatan nelayan. Dengan memiliki dokumen jelas, itu juga bisa memastikan bahwa nelayan memiliki keterampilan dalam menjalankan kegiatan di atas laut. Pada akhirnya, status hukum akan mengurangi resiko kecelakaan kerja saat berada di atas laut melaksanakan aktivitas penangkapan ikan.

Selain dokumen kepelautan, Zulficar menjelaskan bahwa status hukum kapal juga mencakup dokumen kapal perikanan yang berfungsi sebagai alat pendaftaran dan pendataan kapal. Di luar itu, dokumen kapal juga menjadi instrumen keselamatan dan ketertelusuran (traceability) ikan hasil tangkapan. Instrumen tersebut saat ini menjadi syarat utama dari negara-negara tujuan ekspor di seluruh dunia, termasuk negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang.

“Jadi itu menjelaskan kalau hasil tangkapan bukan hasil dari kegiatan IUUF (illegal, unreported, unregulated fishing) dan dibuktikan dengan kapal dokumen dan izin yang jelas,” paparnya.

menarik dibaca :  Tumpang Tindih Perizinan Sulitkan Nelayan Kecil Melaut, Apa Solusinya?

 

Nelayan berangkat melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Secara keseluruhan, Zulficar menjelaskan bahwa ruang lingkup PKS dengan Kemenhub meliputi penyelenggaraan kelaiklautan, laik tangkap dan laik simpan kapal penangkap ikan; pelayanan penerbitan persetujuan pengadaan dan modifikasi kapal penangkap ikan; sinkronisasi dan pertukaran data base kapal penangkap ikan dan pengawakan.

Kemudian, memfasilitasi perizinan atau administrasi satu atap; pelatihan dan sertifikasi kepelautan bagi nelayan; penerbitan Dokumen Pelaut Kapal Penangkap Ikan; dan sosialisasi status hukum kapal penangkap ikan dan kepelautan kepada unit pelaksana teknis (UPT) Ditjen Perhubungan Laut, Dinas Kelautan dan Perikanan seluruh Indonesia, UPT Pelabuhan Perikanan dan Syahbandar di Pelabuhan Perikanan.

Sebelum menjalin PKS, Zulficar menerangkan bahwa KKP juga sudah menjalin kerja sama pada 2016 dan 2017. Kedua kerja sama tersebut menjadi tindak lanjut dari kesepakatan bersama antara KKP dengan Kemenhub pada 2016 yang bertujuan untuk berkoordinasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. Pada 2017, kerja sama juga dilakukan untuk melakukan percepatan pelayanan pengukuran ulang kapal penangkap ikan dan penerbitan SIUP dan SIPI secara terpadu.

“Tujuannya untuk melaksanakan percepatan penerbitan dokumen kapal dan dokumen perizinan penangkapan ikan hasil pengukuran ulang yang telah berakhir pada tanggal 30 April 2018 lalu,” tandasnya.

perlu dibaca :  Kapal Berukuran Kecil Lakukan Praktik Perikanan Ilegal?

 

Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

 

Tata Kelola Kapal

Jalinan kerja sama yang sudah dijalin dalam empat tahun terakhir, menurut Zulficar, itu membantu pembenahan tata kelola kapal perikanan secara nasional. Mencakup kegiatan analisis dan evaluasi kapal eks asing yang perakitannya dilakukan di luar negeri, dan pengukuran ulang kapal melalui gerai perizinan bersama.

“Kemudian, pendataan kapal dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, serta pengukuran dan pendaftaran kapal bantuan,” pungkasnya.

Sebelumnya, pada akhir Januari 2019, Presiden Joko Widodo menerima keluhan dari nelayan skala kecil dan besar di Istana Negara, Jakarta. Dari keluhan tersebut, Presiden mendapatkan informasi kalau proses perizinan masih sangat sulit, baik untuk skala kecil maupun besar. Saat itu, Presiden langsung menegur Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk memperbaiki sistem perizinan di bawah KKP.

Di hadapan Susi dan pada nelayan, Joko Widodo kemudian mengatakan kalau proses perizinan di lingkup KKP saat itu dinilainya masih lama dan memakan waktu hingga berbulan-bulan. Proses yang lambat tersebut, sudah tidak layak lagi untuk diterapkan di masa sekarang, di mana teknologi sudah berkembang dengan sangat pesat.

Ditempat terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati juga memberikan penilaian buruk untuk tata kelola perizinan kapal perikanan. Menurut dia, hingga menjelang berakhirnya periode kepemimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri KP, proses perizinan dinilai belum membaik dan masih menyusahkan nelayan kecil.

“Kita menemukan bahwa nelayan di Kabupaten Kendal, Jepara dan Demak yang memiliki kapal dengan ukuran di bawah 5 GT belum melakukan perpanjangan perizinan kapal,” ungkapnya belum lama ini.

baca juga :  Ini Cara Agar Ada Efek Jera untuk Pemilik Kapal Tanpa Surat Izin Melaut

 

Ikan asin hasil kelola perempuan nelayan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Susan menerangkan, di dalam Peraturan Menteri KP No.30/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan Permen KP No.11/2016 tentang Standar Pelayanan Minimum Gerai Perizinan Kapal Penangkap Ikan Hasil Pengukuran Ulang, jumlah hari yang dibutuhkan untuk mengurus kelengkapan dokumen kapal perikanan ditetapkan selama 37 hari atau 1 bulan 1 pekan.

Adapun, mengacu kepada Permen di atas, dokumen kapal perikanan terdiri dari surat izin usaha perikanan (SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI), dan Buku Kapal Perikanan (BKP). Jika mengacu pada standar operasi prosedur (SOP) Izin SIUP yang dapat diakses dalam website KKP, estimasi waktu yang dibutuhkan pada penerbitan perizinan SIUP ialah kurang dari 18 hari.

“Sedangkan SIPI kurang dari 16 hari. Tetapi dari fakta yang ditemukan untuk melakukan pembuatan atau perpanjangan izin kapal perikanan memakan waktu lebih dari 3 bulan,” ungkapnya.

 

Exit mobile version