Kapal Berukuran Kecil Lakukan Praktik Perikanan Ilegal?

 

 

Armada penangkapan ikan di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh kapal berukuran kecil berukuran di bawah 10 gros ton (GT). Fakta tersebut dinilai bisa menjadi celah bagi pelaku illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) untuk melancarkan aksinya di perairan laut Indonesia. Untuk itu, Pemerintah harus segera membenahi tata kelola dan manjemen perikanan dalam negeri.

Potensi melakukan IUUF tersebut, menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan, bisa terjadi karena kapal berukuran maksimal 10 GT tidak memiliki kewajiban untuk melakukan registrasi dan perizinan. Kondisi tersebut, secara tidak langsung akan memberi kesempatan kepada pemilik kapal berukuran tersebut untuk melakukan IUUF.

“Tanpa pengaturan, hal ini berpotensi merusak upaya mewujudkan praktik perikanan berkelanjutan yang dikampanyekan sendiri oleh pemerintah Indonesia,” ungkap dia di Jakarta, pekan lalu.

Abdi Suhufan mengatakan, walau mendominasi dalam armada penangkapan ikan di Indonesia, berdasarkan data profil armada tangkap, dalam periode 2013 hingga 2014 telah terjadi penurunan jumlah armada ukuran di bawah 10 GT dari 198.297 unit menjadi 194.867 unit. Fakta tersebut bisa menjadi catatan sendiri untuk tata kelola armada penangkapan ikan di Indonesia.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, Abdi Suhufan menjelaskan, kapal berukuran kecil di bawah 10 GT dikategorikan sebagai kapal nelayan kecil. Dengan status tersebut, pemilik kapal berukuran tersebut kemudian mendapatkan beragam kemudahan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“KKP juga membebaskan pengurusan izin dalam melakukan penangkapan ikan,” tutur dia.

Menurut Abdi Suhufan, agar tidak terjadi praktik IUUF yang sedang gencar dikampanyekan sekarang, Pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan langkah antisipasi dengan kemudahan yang didapat kapal berukuran kecil di bawah 10 GT. Antisipasi harus ada, karena selain potensi IUUF, dia menilai ada potensi negatif lainnya yang bisa dilakukan pemilik kapal kecil tersebut.

“Ketiadaan izin bagi kapal kecil akan berkonsekuensi pada sulitnya melakukan traceabilty hasil dan lokasi tangkapan serta berpotensi berkontribusi pada terjadinya overfishing,” tambah dia.

 

Nelayan bersiap dalam kapal yang sedang merapat di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Nelayan merupakan profesi yang riskan akan kecelakaan dan kematian, sehingga pemerintah berupaya memberikan asuransi nelayan. Foto : Jay Fajar

 

Bias Angka

Tak hanya potensi IUUF, Abdi Suhufan juga menyoroti dampak lain dari pembebasan kapal berukuran kecil dari berbagai kewajiban yang ditetapkan Pemerintah. Menurut dia, jika tidak dilakukan pengawasan dan langkah antisipasi, maka ada potensi pembiasan data Maximum Sustainable Yield (MSY) yang sekarang rutin dilakukan setiap tahun oleh KKP.

“Jika ini terjadi, maka dapat dipastikan, ikan yang ditangkap oleh nelayan kecil masuk kategori unreported,” tegas dia.

Peneliti DFW-Indonesia Nilmawati menambahkan, agar tidak terjadi bias data MSY, sebaiknya KKP menyiapkan instrumen pengelolaan perikanan untuk memperbaiki pelaksanaan sistem kuota tangkap sesuai rencaca strategis KKP. Menurut dia, di semua lokasi pendaratan ikan, KKP harus menempatkan operator dan sistem pendataan yang handal untuk bisa melacak kegiatan penangkapan skala kecil sampai pada lokasi tangkapan.

“Ini untuk menjawab pertanyaan dan keraguan publik, apakah KKP akan menempatkan nelayan skala kecil didalam sistem kuota yang diberlakukan atau tidak?” ucap dia.

Nilmawati mengatakan, meski berukuran kecil, namun Pemerintah Indonesia tidak boleh meremehkan kapal-kapal tersebut dan harus mencari cara untuk mengelola kapal-kapal kecil. Menurut dia, kapal-kapal tersebut tetap memiliki kemampuan daya jelajah yang baik dan ditambah teknologi penangkapan ikan saat ini sudah semakin maju.

“Kemampuan menangkap ikan nelayan kecil sudah sangat jauh, tidak saja pada zona tradisional tapi juga bisa menembus perairan perbatasan seperti Australia dan Malaysia. Tanpa sistem pemantauan dan pengawasan, keberadaan nelayan kecil yang melintas batas akan mencoreng wajah Indonesia yang kini sedang memimpin perang terhadap IUUF,” pungkas dia.

 

Investor Asing

Potensi IUUF tidak hanya ada di kapal berukuran kecil saja, namun juga kapal berukuran besar yang dibangun di galangan daerah. Contoh nyata adalah galangan kapal yang ada di Merauke, Provinsi Papua, Sulawesi Utara, dan Batang, Jawa Tengah yang diduga kuat menjadi tempat pembangunan kapal tak berizin dan ditengarai akan digunakan untuk praktik IUUF.

Praktik curang tersebut tercium oleh KKP beberapa waktu lalu. Salah satu galangan yang ada di Merauke, menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja, diduga kuat didanai oleh pengusaha luar negeri. Kapal-kapal yang dibangun di sana, diproyeksikan akan beroperasi di perairan laut Arafura yang berlokasi di antara Provinsi Maluku dan Papua Barat.

“Dari ketiga provinsi tersebut, kapal-kapal yang dibuat di galangan, memiliki modus operandi yang sama, yakni jumlah kapal yang banyak namun dengan menggunakan izin operasi yang lama,” ujar dia.

“Negara mana yang (diduga) ada afiliasi, saya tidak bisa sampaikan. Namun, perairan yang diincar, sepertinya adalah Arafura,” tambah dia.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berbincang dengan awak yang sedang mengubah struktur kapal. Susi bersama Satgas 115 melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pelabuhan Benoa, Bali, pada Selasa (03/08/2016), dan menemukan 56 kapal eks asing telah memanipulasi struktur badan kapal dari fiber ke kayu. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Sjarief mengungkapkan, dalam pembangunan kapal di galangan yang dibangun ilegal, pihaknya menemukan modus yang sama, yaitu menggunakan satu izin seperti Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) untuk kapal-kapal yang dibangun.

Kemudian, Sjarief menambahkan, ada juga yang menggunakan modus operandi menurunkan ukuran kapal menjadi jauh lebih kecil dari ukuran sebenarnya. Modus tersebut digunakan, agar proses perizinan yang dilaksanakan di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi maupun KKP, menjadi lebih mudah dan cepat.

Untuk modus yang disebutkan terakhir, Sjarief menyatakan, itu ditemukan di daerah seperti Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Kemudian, modus lain yang juga ditemukan, adalah adanya kapal-kapal yang dibangun tanpa memiliki izin lebih dulu.

“Untuk kapal-kapal yang ditemukan di Merauke, ukurannya berkisar antara 60 hingga 80 GT (gros ton). Di sana, kapal-kapal dibangun dengan menggunakan peralatan sederhana. Satu yang menarik, kapal-kapal tersebut dibangun dengan ukuran, model, dan warna yang sama,” jelas dia.

Total kapal yang ditemukan dibangun di galangan ilegal, kata Sjarief, jumlahnya mencapai 35 unit. Kapal-kapal tersebut diduga kepemilikannya atas nama satu orang ataupun perusahaan. Namun, hingga sekarang belum diketahui pasti, siapa yang membangun kapal-kapal tersebut.

“Yang juga kita temukan, kapal-kapal yang sudah dibangun tersebut, sudah tercetak nama kapal, dan nomor SIPI, padahal itu kan baru dibikin kapalnya. Artinya, (nama dan SIKPI) itu menggunakan izin yang lama,” tutur dia.

Tak hanya di Merauke, Sjarief menambahkan, modus yang sama juga ditemukan di Batang. Di kawasan Pantai Utara Jawa itu, ditemukan 5 unit kapal yang baru dibangun dengan bentuk dan warna yang seragam antara satu dengan yang lain. Namun, berbeda dengan Merauke, kapal-kapal tersebut diketahui dimilki seseorang berkewarganegaraan Taiwan.

“Ukuran kapal-kapal tersebut di atas 100 GT. Seperti di Merauke, di Batang juga menggunakan izin lama, SIPI lama. Kapal-kapal tersebut berwarna biru dan bergaris kuning. Dari lima kapal, tiga kapal sudah selesai dibangun, dan dua lagi masih setengah jadi,” papar dia.

Sjarief menjelaskan, selain menggunakan satu izin, lima kapal yang dibangun di Batang tersebut, diketahui menggunakan izin yang sudah lama habis. Dengan kata lain, kata dia, satu kapal untuk satu izin, diganti dengan lima kapal baru. Sayangnya, itu adalah ilegal, dan juga izin sudah habis.

Setali tiga uang, KKP juga menemukan modus yang sama di Sulut. Di sana, kapal-kapal yang sudah lama, kini muncul kembali dan kemudian dioperasikan kembali sebagai kapal penangkap ikan. Namun sayangnya, kata dia, kapal-kapal buatan Indonesia tersebut diketahui melakukan pemalsuan ukuran dengan menurunkan ukuran lebih kecil dari ukuran sebenarnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,