Mongabay.co.id

Koalisi Tolak Jalan Angkut Batubara Lewati Hutan Harapan (Bagian 2)

Jalan angkut batubara yang sudah ada. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan dan Jambi, beranggotakan 36 lembaga menolak dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) jalan angkut batubara membelah Hutan Harapan, usulan dari PT Marga Bara Jaya (MBJ). Penolakan ini disampaikan pada kegiatan rapat Komisi Penilai Amdal Pusat, soal lanjutan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup rencana pembangunan jalan khusus angkut batubara, hasil kebun dan hasil hutan di Kabupaten Musi Rawas Utara, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Kabupaten Batanghari, Jambi oleh MBJ, di Palembang, akhir Maret lalu.

Yulqori, KKI Warsi mengatakan, ada empat hasil keputusan koalisi terhadap pembahasan amdal lanjutan yang sebelumnya dibahas di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Februari lalu. Mereka sepakat penolakan jalan tambang yang membelah di Hutan Harapan yang dikelola dan sudah pemerintah berikan izin restorasi ekosistem kepada PT Restorasi Ekosistem (Reki).

“Kami koalisi menolak rencana pembangunan jalan khusus angkut batubara usulan MBJ melalui kawasan hutan PT Reki, termasuk menolak dokumen amdal,” katanya. Koalisi antara lain, KKI Warsi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Jambi dan Sumsel, Hutan Kita Institut, Zoological Society of London, Forum Harimau Kita, Forum Konservasi Gajah Indonesia, dan LBH Palembang dan lain-lain.

Koalisi juga merekomendasikan, MBJ membangun jalan PT Conoco Philip dan PT Bumi Persada Permai. Koalisi juga merekomendasikan agar KLHK memfasilitasi kerjasama operasional penggunaan jalan eksisting di areal PT Sentosa Bahagia Bersama (SBB)– yang selama ini tak pernah dilibatkan sebagai pemangku kepentingan utama dari rencana pembangunan jalan khusus angkutan batubara oleh MBJ itu.

Baca juga:   Menembus Jantung Hutan Harapan yang Terancam Jalan Tambang Batubara (Bagian 1)

Dalam berita acara pertemuan dengan Komisi Penilai Amdal, pada poin dua, memutuskan, agar MBJ mengubah jalur jalan ke luar Hutan Harapan atau memanfaatkan jalur eksisting. ”Ada poin 2a, dari hasil berita acara menyebutkan itu karena banyak penolakan terhadap rencana itu, maka didaptkan hasil rapat itu,” katanya.

Hasil berita acara itu ditandatangani langsung A. Haryono, Direktur MBJ dan Ari Sudijanto, selaku Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan KLHK– Sekretaris Komisi Penilai Amdal Pusat.

Koalisi masyarakat sipil juga membuat petisi di Change.org, berjudul “Tolak jalan tambang di hutan dataran rendah, yang tersisa di Sumatera Selatan dan Jambi.”

Sarmita, Deputi Manajer Perlindungan Hutan PT Reki mengatakan, rencana pembangunan jalan angkut tambang batubara, akan menambah ancaman pada Hutan Harapan.

Kalau jalan itu terealisasi, katanya, bagian selatan Hutan Harapan, akan jadi pintu masuk bagi perambah maupun pembalak. “Ini kan jarak dekat sekali dengan jalan yang akan dibangun.”

 

Lokasi perburuan berada di bagian selatan Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Adam Aziz, Direktur Operasional PT Reki, tegas menolak rencana jalan angkut tambang batubara di Hutan Harapan. “Kami meminta Komisi Penilai Amdal tak mengeluarkan rekomendasi kelayakan lingkungan terhadap usulan pembangunan jalan khusus angkutan batubara dalam Hutan Harapan dan mendukung KLHK tak menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada PT Marga Bara Jaya,” katanya.

Alasan penolakan PT Reki, katanya, berdasarkan analisis, jalan angkut batubara mengancam pemulihan hutan PT Reki, yang sudah berjalan selama 10 tahun terakhir. Ancaman itu, katanya, antara lain, terjadi fragmentasi hutan dan deforestasi, dapat mengganggu habitat hidupan satwa liar, serta keragamanhayati hutan dataran rendah Sumatera. Selain itu, pembukaan jalan yang membelah Hutan Harapan, dia yakini memberi akses baru bagi perambah hutan hingga mempertinggi tekanan terhadap kawasan.

Baca juga: Greenpeace Minta Menhut Tak Izinkan Jalan Tambang di Hutan Harapan

PT Reki, tak menolak jalan angkut batubara asalkan tak melalui Hutan Harapan Harapan. Perusahaan, katanya, bisa memanfaatkan jalan yang dipakai saat ini (warga menyebut Jalan Conoco Philips), atau alternatif lain, yakni memanfaatkan jalan eksisting PT Bumi Persada Permai dan PT Sentosa Bahagia Bersama.

“Sejak awal, PT Reki di perbatasan Jambi-Sumatera, untuk memulihkan ekosistem hutan tropis dataran rendah Sumatera. Izin diberikan pemerintah merupakan representasi dari 20% hutan dataran rendah tersisa, yang masih memiliki keragaman hayati luar biasa,” kata Adam.

Mongabay berusaha menghubungi Direktur Operasional PT Marga Bara Jaya, Rojak, namun tak mendapatkan balasan baik dari pesan Whatsapp maupun sambungan telepon.

 

Foto udara tutupan hutan di kawasan yang diusulkan oleh perusahaan tambang batubara untuk jadi jalan tambang. Padahal, beberapa jalan lain sudah ada. Foto: dokumen Hutan Harapan

 

Perambahan dan pembalakan liar

Selama ini, Hutan Harapan, sudah cukup tertekan dengan perambahan dan pembakalan liar. Kondisi jadi makin sulit kalau ada jalan tambang batubara membelah Hutan Harapan.

Hari itu, perahu mesin 16pk membawa kami menuju Sungai Batanghari Leko dari tepi Sungai Meranti. Sepanjang perjalanan sekitar tiga jam kami disuguhi kayu-kayu balok utuh terikat mengapung di pinggir sungai. Diduga kayu-kayu itu berasal dari Hutan Harapan. Kayu-kayu balok terjejer rapi. Pada ujung pertemuan Jembatan Sungai Bintialo, saya melihat empat orang sedang berbincang serius di atas tumpukan kayu.

Salah seorang, melihat sinis perahu yang kami tumpangi. Saya perkirakan kayu-kayu yang kami temui mencapai ratusan meter kubik.

Pikal, Masyarakat Batin Sembilan, bilang, pembalakan liar sudah sejak dulu ada. Bahkan para pemodal (toke) dari Desa Bintialo, Kecamatan Batanghari Leko, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sempat menggunakan jasa mereka untuk membalak di kawasan hutan.

Tahun 2015, dia mengaku sempat mendapatkan dana dari toke untuk menebang hutan. Mereka mendapatkan dana awal dengan utang ke toke. Pikal bilang, hasil yang mereka dapatkan tak sebanding dengan tenaga dan biaya operasional. “Tiap bereken tekor, tiap bereken tekor, kayu-kayu kami jual murah ke toke. Kayu acuk, pulai, Cuma Rp200.000 per kubik. Kami dulu cuma pakai kapak, sehari cuma dapat 3-4 kubik ada lima anggota. Dak balik modal, rugi,” katanya.

Pikal pun merasakan hanya diperalat toke, hingga memutuskan berjuang kembali mengamankan kawasan hutan tempat tinggal mereka. “Toke tulah yang nambah kayo, kami ni dak dapat apo-apo. Hewan buruan, damar, rotan, jernang kami, sulit temui karena mereka.”

Kini, Pikal besama 25 masyarakat Batin Sembilan, berada di garis terdepan menjaga Hutan Harapan. Pikal menjadi pasukan patroli yang mengamankan hutan.

Sarmita kewalahan dengan dua masalah yang mereka hadapi antara lain persoalan perambahan dan pembalakan. “Ada dua kendala besar saat ini kami hadapi, yaitu, perambahan dan pembalakan. Kalau masalah perambahan, kita terkendala dengan ada lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang membekingi. Untuk illegal logging ini lebih anarkis. Bahkan, tim pengamanan kami sempat diancam dan dua perahu kami sempat dirusak karena penyisiran,”katanya. (Habis)

 

Keterangan foto utama:    Jalan angkut batubara yang sudah ada. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version