Mongabay.co.id

Penyu Belimbing Masih Dikonsumsi Masyarakat Mentawai, Mengapa?

 

 

Seekor penyu belimbing [Dermochelys coriacea] yang bertelur di Pantai Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, dibantai masyarakat setempat yang dagingnya dibagi-bagikan, awal Maret 2019.

Berdasarkan penelusuran tim Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut [BPSPL] Padang, terhitung Februari hingga Maret 2019, sudah tiga individu penyu belimbing yang dieksekusi di kawasan pantai ini.

Informasi pembantaian pertama kali dilaporkan Kepala Desa Beutumonga, yang mengetahui dari Facebook, kepada Meriussoni Zai, Koordinator Konservasi Penyu Belimbing site Beutumonga, BPSPL Padang. Awalnya, tempat kejadian diperkirakan di Beutumonga, yang kawasan pantainya merupakan area konservasi berupa peneluran, pendataan, dan relokasi sarang penyu belimbing.

Berdasarkan investigasi, lokasi kejadian memang di Pantai Gobik, Desa Bosua, sekitar 20 kilometer dari Pantai Beutumonga. Berdasarkan foto dan keterangan warga, memang penyu belimbing. “Ini bisa dilihat dari kerapas bagian punggung yang lentur, bentuknya bergaris dengan ukuran besar. Tim menemukan jejak penyu belimbing yang lebih lebar,” terang Zai, Sabtu [30/3/2019].

Di lokasi ini juga ditemukan tujuh bekas sarang penyu belimbing yang telurnya sudah diambil warga. “Tim juga melakukan sosialisasi dan imbauan perlindungan penyu kepada masyarakat,” terangnya.

Baca: Begini Upaya Mereka Jaga Rumah Bertelur Penyu di Mentawai

 

Penyu Belimbing yang dibantai pada 3 Maret 2019, memiliki ukuran 1,45 meter. Ini merupakan periode kedua bertelur. Foto: BPSPL Padang/Mongabay Indonesia

 

Harfiandri Damanhuri, peneliti penyu yang juga dosen di Universitas Bung Hatta [UBH)] Padang, membenarkan tiga penyu belimbing yang telah dieksekusi. Informasi tersebut dia peroleh dari tenaga penyuluh perikanan, dibantu Syahrul Akhir, alumni FPIK UBH angkatan 1999.

Penyu pertama bertelur 1 Februari pukul 01.00 WIB di Pantai Gobik, sepanjang 1 meter. Penyu ke dua, ke pantai Gobik, pada 24 Februari, sepanjang satu meter. Penyu ke tiga, bertelur pada 3 Maret, dengan panjang 145 sentimeter.

“Miris, semuanya dibantai penduduk sekitar. Daging, hati, jantung, dan paru dipotong kecil kecil. Usus dibersihakan, sementara kepala dan kaki dibuang,” ungkapnya.

Harfiandri menyebut, penyu belimbing telah terpantau di Sumatera Barat sejak 1999. Pendataan dilakukan melalui survei lapangan dan wawancara langsung. Langkah konservasi dilakukan 2004 hingga 2014 dengan hadirnya pusat penangkaran tiga jenis yaitu penyu sisik, lekang, dan hijau.

Pembaruan informasi penyu belimbing terus dilakukan. “Upaya penyadaran sering dilakukan, ini masalah perilaku,” jelasnya.

Di perairan Sumatera Barat, katanya, ada empat dari tujuh jenis penyu di dunia– tersebar di sepanjang pantai Samudera Hindia, Sumatera, yakni penyu belimbing, sisik, hijau dan penyu lekang. Keempat jenis ini, secara internasional termasuk satwa dilindungi.

Data yang dia kumpulkan, pada 2000-an, ada sekitar 15.000 penyu di 42 lokasi. Baru-baru ini, dia menemukan hampir 124 titik pendaratan penyu di Sumbar dengan estimasi mendekati 30.000 setiap tahun.

Baca: Cerita Tradisi Berburu Penyu di Mentawai

 

Terlihat daging penyu dibagi-bagi untuk dikonsumsi masyarakat sekitar Pantai Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Foto: BPSPL Padang/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Yusuf, Kepala BPSPL Padang, menambahkan harusnya masyarakat mengerti bila penyu merupakan satwa laut dilindungi dan tidak boleh dikonsumsi. “Kami akan cari cara agar tidak ada pembantaian lagi. Kemungkinan, area perlindungan penyu belimbing tidak hanya di Beutumonga.”

Terkait hukum adat di Pulau Sipora, tidak berlaku lagi karena tidak ada Sikerei [tetua adat/dukun] sementara di Pulau Siberut masih ada dan kami sudah melakukan sosialisasi.

“Menurut pengakuan tetua adat di Siberut, mereka tidak lagi menggunakan penyu untuk ritual. Sekarang ini, ada masyarakat yang memburu sebagai pengganti lauk saat pesta atau makan sehari-hari,” ungkapnya.

Baca juga: Seekor Penyu Belimbing Ditemukan di Pantai Minanga Minahasa. Bagaimana Nasibnya?

 

Cangkang penyu belimbing yang disisakan begitu saja di Pantai Gobik, usai diambil dagingnya oleh masyarakat sekitar. Foto: BPSPL Padang/Mongabay Indonesia

 

Adat dan kebiasaan

Masyarakat pesisir Mentawai memiliki tradisi berburu penyu sebagai hidangan punen atau pesta adat. Sebut saja membuat perahu baru, pesta perkawinan, pengobatan, ladang baru, atau mendirikan rumah tradisional. Tradisi itu erat dengan kepercayaan Arat Sabulungan di Mentawai.

Dalam setiap punen, akan ditangkap puluhan penyu dari sekitar pulau-pulau kecil. Di rumah warga juga banyak bergantungan cangkang penyu sebagai bagian dari budaya.

Juniator Tulius, pakar kebudayaan jebolan Leiden University, Belanda, mengatakan dalam tradisi Mentawai, penyu sederajat dengan hewan buruan laut lain seperti paus dan dugong. Juga setara hewan darat seperti primata, rusa, dan babi liar.

Sebelum berburu, orang Mentawai melakukan ritual agar berhasil dan berkah. “Kebiasaan mengkonsumsi daging hewan baik dirituali atau tidak, bagi saya tidak mengalami pergeseran. Ketika mereka medapat hewan yang kebetulan “pingsan” di hutan atau terdampar di pantai, itu dianggap rezeki,” sebut antropolog asal Mentawai ini.

 

Tukik penyu belimbing di Mentawai, Sumbar. Foto: BPSPL Padang / Mongabay Indonesia

 

Namun, sebelum mereka mengkonsumsi hewan, mereka menyelidiki dulu apakah baik atau tidak. “Kalau penyu ke darat untuk bertelur dan kedapatan menuju laut, itu pertanda normal atau rezeki,” imbuhnya.

Selama berabad, tidak ada kisah orang Mentawai meninggal karena makan daging penyu. Tragedi terjadi awal 2000-an. Orang Mentawai masih dalam pemikiran, penyu sumber protein. Menurut Juniator, konsumsi penyu selagi masih dalam tahap wajar tidak akan berdampak buruk pada populasi penyu dan keseimbangan ekosistem laut.

“Kalau orang Mentawai mengkonsumsi penyu belimbing karena dapat, bukan memburu, saya kira boleh. Kecuali ada indikasi jual beli, harus ada sanksi. Ini mesti ada regulasi.”

Orang mentawai menjaga hutan berabad-abad, kemudian pada 1970-an, perusahaan besar menebangi kayu-kayu untuk diperjualbelikan. Sekarang orang Mentawai cari bahan rumah saja sudah susah. “Jadi, melihat sebuah masalah jangan pada skala kecil tetapi harus persoalan besar yang menjadi penyebab kehilangan, kelangkaan, dan kehancuran lingkungan ini,” ujarnya.

 

Penyu belimbing bertelur di Pantai Beutumonga, Sipora Utara, Kepulauan Mentawai, akhir Desember 2018. Foto: BPSPL Padang/Mongabay Indonesia

 

Upaya perlindungan

Untuk menekan perburuan penyu, BPSPL Padang bekerjasama dengan Ranger Turtle Foundation [RTF] membuat perlindungan pantai peneluran, pendataan dan relokasi sarang di Site Beutumonga. Panjang pantai peneluran primer empat kilometer dan sekunder lima kilometer.

Pantai peneluran ini, kata Suwardi, Kasi Pendayagunaan dan Pelestarian BPSPL Padang, sangat penting sebagai habitat penyu.

 

 

Berdasarkan data 2018 dan sekarang 2019, yang dikumpulkan BPSPL Padang, jumlah sarang yang sudah direlokasi sebanyak 48 buah: 44 sarang penyu belimbing, 2 sarang penyu hijau, dan 2 sarang penyu lekang. Jumlah telur sebanyak 4.406 buah. 25 sarang telah menetas dan sebanyak 1.743 tukik telah dilepasliarkan.

“Sebanyak 8 ekor penyu belimbing telah diberi tanda beserta serta satu ekor penyu lekang serat dan satu penyu hijau pipih,” Jelas Suwardi.

Suwandi melanjutkan, penyu belimbing di Mentawai, masuk kategori dari Samudera Hindia. Kalau dari Samudera Pasifik sudah banyak data dan informasi. “Untuk itu harus ada pendataan, karena baru ada di Andaman,” katanya.

 

 

Exit mobile version