Mongabay.co.id

Sophie Chao Bicara Bagaimana Pebisnis Memanipulasi Adat buat Rampas Tanah Papua

Seorang anak sedang memandang seraya mengingat hutan mereka di Desa Zanegi, Merauke, Papua, yang kini hilang…..Foto: Nanang Sujana

 

 

 

 

Sophie Chao, adalah seorang doktor sekaligus peneliti pasca-doktoral (postdoctoral research associate) di University of Sydney, Australia. Salah satu fokus dari penelitian dia soal dampak agrobisnis terhadap masyarakat dan lingkungan di kawasan Asia-Pasifik dan Melanesia. Dia menghabiskan waktu selama satu tahun meraih gelar doktoral dengan mempelajari sekaligus tinggal bersama masyarakat adat Marind-Anim di Kabupaten Merauke, Papua.

Kabupaten itu menarik perhatian Sophie, karena menjadi target perluasan perkebunan berskala besar. Sebelumnya, Sophie, pernah bekerja untuk Forest Peoples Programme, organisasi nirlaba di Inggris yang mendorong perusahaan dan pemerintah berikan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sesuai prinsip-prinsip internasional, dalam sektor pembangunan perkebunan.

Hubungan antara masyarakat adat, pemerintah, dan perusahaan perkebunan di Papua, khususnya, Merauke, diwarnai dengan berbagai konflik. Pemerintah telah menargetkan kabupaten itu untuk pengembangan perkebunan gula, kayu, dan sawit. Padahal, kehidupan masyarakat adat di Papua, sangat bergantung hutan yang sedang dihancurkan dan jadi lahan-lahan perkebunan.

Baca juga: Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua, Berikut Foto dan Videonya              

Maka, “pembangunan” pun punya makna berbeda. Ketika kata itu kerap kali dielu-elukan sebagai suatu upaya terhadap perbaikan kesejahteraan maupun kualitas manusia. Sisi lain, kata itu justru jadi dalih bagi banyak perusahaan perkebunan yang sebetulnya tengah menggusur lahan-lahan pangan lokal dan mata air. Penghancuran terhadap hutan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat pun ikut memberikan dampak negatif bagi masyarakat adat di tempat lain.

Penelitian Sophie menyelidiki, sebab-sebab mendasar dari konflik itu sekaligus memaparkan perubahan-perubahan drastis masyarakat adat di Papua.

Pada Januari, The Gecko Project dan Mongabay mempublikasikan Kesepakatan rahasia hancurkan surga Papua, sebuah artikel investigasi yang mengungkap kisah suram di balik proyek raksasa pembangunan perkebunan sawit di Boven Digoel. Boven Digoel, sendiri kabupaten yang bertetangga langsung— tepatnya, di bagian utara–Merauke, Papua.

 

Seorang perempuan Malind Anim sedang memproses sagu di Desa Zanegi, Merauke pada 2012. Foto: Nanang Sujana

 

Kini, masyarakat adat yang tanahnya dirampas proyek itu mulai merasakan dampak buruk. Kami berbincang dengan Sophie untuk memahami lebih dalam tentang kompleksitas persoalan antara kehidupan masyarakat adat di Papua, bagian selatan dan industri agrikultur yang sedang menekan mereka. Berikut petikan perbincangan dengan Sophie Chao: 

 

Budaya masyarakat adat di Papua, terkait erat dengan alam. Menurut Anda, apakah itu jadi ciri sangat kuat di Papua dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia?

Banyak komunitas adat di Indonesia percaya, bahwa binatang dan tumbuhan memiliki jiwa, niatan, dan pikiran. Hutan bagi masyarakat adat Marind, dan banyak komunitas adat lain di Indonesia, termasuk orang Dayak di Kalimantan, adalah suatu ekologi yang hidup (a sentient ecology) atau ‘ekologi diri’ (an ecology of selves). Sebagian memang mencakup manusia, namun tidak semua selalu manusia. Tetapi, seluruhnya berpartisipasi dalam membentuk ruang yang dinamis itu, yaitu hutan-melampaui batas-batas manusia.

Marind memiliki kepercayaan pada roh-roh leluhur yang dapat mewujudkan diri pada berbagai bentuk tanaman dan hewan. Mereka adalah bagian dari wilayah adat (bentang alam dan budaya) masyarakat adat Marind. Hingga, hutan menjadi semacam buku sejarah yang hidup (a living history book). Itu pula dihidupkan oleh para roh, termasuk roh-roh yang termanifestasikan ke dalam bentuk tanaman maupun hewan di sekitar mereka.

 

Bagaimana suatu ikatan batin (keterhubungan) dengan alam itu, kemudian turut mempengaruhi persepsi mereka terhadap perusahaan perkebunan yang merambah dan mencaplok tanah-tanah mereka?

Saya bertemu banyak komunitas adat yang telah menyerahkan tanah-tanah mereka kepada perusahaan sawit. Sebagian bahkan ikut menandatangani kontrak penjualan tanah-tanah suku lain tanpa persetujuan. Kondisi begitu karut marut. Ketergantungan mereka terhadap hutan pun makin berkurang karena laju deforestasi dan ekspansi perkebunan monokultur.

Idiom lain yang dipahami masyarakat adat dari dampak negatif ekspansi sawit terhadap lingkungan, seperti pencemaran air, kabut asap, dan limbah pabrik, adalah itu bentuk pembalasan dari roh-roh hewan dan tumbuhan atas kegagalan melindungi mereka dari kekuatan luar yang merusak, yaitu sawit. Orang-orang memakai istilah, bahwa wilayah adat mereka jadi ‘kering.’ Air yang memberikan kehidupan sudah habis, termasuk sungai, air tanah, maupun darah dari binatang atau getah pada tumbuhan. Layaknya sungai, tubuh orang-orang pun ikut kering. Buaya dan ikan mabuk akibat racun dari pabrik-pestisida dan pupuk. Ketika saya bertanya kepada orang-orang Marind, apa dampak terburuk dari ekspansi sawit, mereka mengatakan sawit membunuh hutan.

Atau, secara khusus, sawit membunuh sagu. Tumbuhan itu merupakan pusat kosmologi bagi masyarakat adat Marind karena sagu tak lain makanan pokok mereka. Maka, penghancuran kebun sagu dan hutan berimplikasi pada sumber penghidupan dan subsistensi masyarakat adat Marind.

 

Menurut Anda, mengapa proses amburadul kala perusahaan datang ke wilayah adat? Apakah karena ketiadaan proses dalam penentuan hak siapa dan apakah masyarakat sendiri dapat memutuskan menerima perusahaan atau tidak?

Kurangnya informasi adalah satu persoalan besar. Masyarakat menandatangani kontrak tanpa tahu implikasi hukum pada mereka. Mereka tak diberi tahu konsekuensi negatif yang bakal muncul. Beberapa dari warga percaya, tanah itu akan kembali kepada mereka ketika perizinan lahan (konsesi) berakhir. Mereka tak tahu, bahwa, tanah itu otomatis jadi tanah negara—ketika izin konsesi perkebunan berakhir. Sebagian besar dari mereka, tidak menyadari itu. Tidak ada informasi yang disampaikan.

Hal lain yang tampaknya membuat masyarakat adat Marind, sulit menolak transaksi tanah adalah, perusahaan-perusahaan perkebunan sangat sadar akan pentingnya suatu hubungan timbal balik dan pertukaran di dalam komunitas adat. Itu benar-benar terjadi di wilayah Pasifik dan Melanesia. Idenya, seandainya seseorang memberi hadiah, Anda tak boleh menolak dan harus membalas budi. Jadi, perusahaan-perusahaan perkebunan akan mengatur ritual pengorbanan babi, mereka akan memberikan mobil, mereka akan menyelenggarakan pesta, dan lain-lain. Itu membuat masyarakat seperti punya utang dan kewajiban untuk melunasi. Lantas, mereka akan merasa sungkan kalau menolak menyerahkan tanah sebagai pertukaran yang dianggap selayaknya imbal jasa kepada perusahaan.

Sekali lagi, pemahaman yang kritis terhadap nilai dari pertukaran dalam masyarakat Melanesia, memberikan saya petunjuk bahwa sebetulnya perusahaan-perusahaan itu tahu apa yang sedang mereka lakukan. Ada orang-orang di pihak perusahaan yang memahami serangkaian nilai, norma, dan adat istiadat itu. Itu jelas-jelas menciptakan persoalan.

Itulah alasan-alasan terbesar mengapa ada fragmentasi sosial. Tentu saja, ada skenario umum dalam memanipulasi masyarakat adat dengan minuman keras dan membawa mereka ke kota, tempat pelacuran, dan lain-lain.

Ada beberapa kasus di mana laki-laki di desa tempat saya pernah bekerja, dikecohkan dengan mabuk alkohol dan tidur dengan pelacur. Itu semua difilmkan (didokumentasikan), kemudian rekaman itu jadi alat untuk memeras. Ada juga berbagai strategi lebih terang-terangan.

Pada kasus yang kami temui di Boven Digoel, ketika perusahaan datang ke desa-desa, orang-orang perusahaan menyuruh masyarakat menyiapkan babi yang akan disembelih untuk upacara. Kemudian, saat orang-orang perusahaan kembali, mereka membagi-bagikan uang dalam jumlah besar. Mereka menyodorkan amplop-amplop berisi uang kepada setiap suku. Sangat blak-blakan. Mereka menggunakan istilah tali asih untuk menggantikan pembayaran. Masyarakat desa bingung karena tak tahu untuk apa uang itu. Sepertinya, yang terjadi adalah, orang-orang perusahaan memaksakan pertukaran hadiah upacara kepada masyarakat, suatu transaksi timbal balik yang dipaksakan. Itu momen kunci dalam kisah proyek itu. Apakah Anda memahami apa itu arti tali asih bagi mereka?

Teman bicara saya sangat bingung dengan konsep tali asih. Istilah itu kerap kali digunakan bergantian dengan istilah ganti rugi, uang ketuk pintu, kompensasi, pembayaran, sewa harga, kontrak sewa… Ada banyak sebutan untuk itu. Tidak jelas apa sebenarnya perbedaannya. Apakah itu menunjukkan niat baik? Apakah itu hadiah yang datang saat mereka membuka pintu? Apakah itu sekadar hadiah saja? Apakah ada ekspektasi untuk balasan hadiah? Uang ketuk pintu, secara harfiah berarti uang yang dibawa ketika Anda mengetuk pintu. Jadi, itu seperti perkenalan awal untuk membangun suatu hubungan sosial.

Namun, sebagian besar masyarakat di sana merasa, pemberian uang itu perlu dibalas. Satu-satunya cara yang mereka tahu dan memang satu-satunya hal yang tampaknya diinginkan perusahaan, adalah tanah-tanah masyarakat. Jadi, sangat tidak jelas apa makna dari istilah-istilah yang digunakan itu.

Saat ini, saya sedang menulis tentang ‘ritual-ritual yang gagal’. Para antropolog gemar menulis tentang ritual-ritual di luar masyarakat Barat, terutama masyarakat adat. Namun, sedikit sekali antropolog yang menulis tentang ritual-ritual gagal atau ritual-ritual yang justru menimbulkan masalah ketika ritual-ritual itu terlaksana. Bagaimana perusahaan mengkooptasi adat melalui pengorbanan babi dan hal-hal yang serupa. Lalu, masyarakat seolah-olah dipaksa untuk berpartisipasi pada praktik yang sebetulnya mereka jalankan sendiri, namun diadaptasi oleh aktor-aktor eksternal atau sebut saja ‘dukun korporasi.’

Persoalannya, meskipun orang-orang perusahaan itu bukan bagian dari masyarakat adat Marind, bukan juga ahli ritual dan tak punya ikatan apapun dengan masyarakat adat, tetapi bisa melakukan ritual itu. Masalahnya, ritual itu berhasil. Orang yang sakit jadi sembuh. Itu masalah sangat serius. ‘Mereka menggunakan berbagai nilai dan norma kami (masyarakat adat), sementara mereka bukan orang-orang Marind. Dan itu sukses… Lantas, apakah mereka juga dukun? Apakah mereka memiliki kekuatan atau kekuatan yang menurut kami adalah hak prerogatif kami? Jika demikian, bagaimana kami menghadapinya?’ Sangat menarik bagaimana penemuan kembali (reinvention) terhadap tradisi itu, dapat terjadi, dimanipulasi, dan dieksploitasi untuk melayani kepentingan yang sangat berbeda. Secara efektif memaksa masyarakat berpartisipasi dalam penemuan kembali tradisi yang ditumbangkan itu.

 

Potret anak lelaki dari Desa Zanegi, Merauke, papua. Foto: Nanang Sujana

 

 

Itu seperti granat tangan yang tiba-tiba bisa meledak di tengah-tengah komunitas mereka sendiri di Boven Digoel. Ada banyak kecurigaan tentang siapa yang mendapatkan apa dan untuk apa. Padahal, sebelumnya mereka hidup damai. Setelahnya, muncul konflik bahkan dalam beberapa kasus mereka saling berkelahi. Bisakah Anda menjelaskan sedikit tentang dampak hal itu terhadap tatanan sosial?

Ada persoalan antar-generasi yang begitu serius di banyak desa tempat saya bekerja. Tingkat hubungan sosial sedang terputus. Ia bekerja di dua arah. Suatu situasi, para tetua adat (generasi tua) bersikukuh, hutan harus dilestarikan, sementara generasi muda ingin maju, modern, kaya secara materi, dan pergi ke kota-akses ke dunia modern. Ada ketegangan antar-generasi. Pada arah berbeda, ada juga pemuda-pemuda adat Marind yang berpendidikan, misal, sebagai guru dan perawat, yang sangat kritis terhadap para tetua adat yang justru menyerahkan tanah mereka tanpa memahami ketentuan kontrak maupun implikasi hukum. Siapa yang mengendalikan kerangka timbal balik itu? (Kaum muda akan mengatakan,) ‘Hal itu terlihat baik-baik saja bagi masyarakat adat Marind, tetapi Anda tidak berurusan dengan Marind di sini.

Anda perlu berubah, budaya kami juga perlu berubah dan beradaptasi. Kami berhadapan dengan audiens yang sangat berbeda-yang tidak membalas dan tak memahami timbal balik (utang budi) dengan cara yang sama.’ Jadi sebagian anak-anak muda ini mendorong semacam transformasi budaya Marind sebagai cara untuk bertahan dari suatu jenis kekuatan dan aktor baru yang mereka hadapi sehari-hari.

 

Kami melihat peta yang dibuat perusahaan dengan cakupan tanah-tanah suku yang masuk ke dalam wilayah konsesi. Peta itu menunjukkan, bagian kecil bidang tanah yang diduga diserahkan oleh Suku Auyu di Boven Digoel ke perusahaan. Tentu saja, pemetaan tanah-tanah itu berupa batas-batas yang ditandai dengan garis persegi rapi. Anda sebelumnya pernah menulis tentang kompleksitas pemetaan wilayah adat Marind, di mana mereka memiliki konsep alam dan ruang yang jauh lebih kompleks. Bisakah Anda menjelaskan seperti apa gambaran peta wilayah adat yang akurat?

Itu tergantung musim. Juga tergantung pada suku mana yang memetakan. Bisa saja seharusnya berupa peta tiga dimensi (3D). Peta yang dilengkapi dengan iringan suara. Itu harus jadi peta terbuka untuk revisi. Itu adalah hal yang bertentangan dengan standar gagasan terkait GPS (global positioning system), sudut pandang udara, objektivitas, pandangan atas-bawah dari benda dan tempat yang relatif statis. Sekali lagi, peta itu harus terbuka untuk revisi. Ketika ada perubahan hubungan terhadap suatu suku, mereka ingin titik GPS itu dipindahkan lebih dekat atau lebih jauh. Ketika terjadi peristiwa yang menguntungkan atau kejadian-kejadian di hutan yang melibatkan perpindahan hewan-hewan tertentu dari suku lain, batas-batas mesti berubah. Jadi, teknologi kartografi (ilmu atau seni pembuatan peta) seharusnya punya fleksibilitas dalam mengakomodasi panca-indera kita dalam memahami dunia, termasuk suara.

Peta yang bisa mewakili suatu pergerakan. Saya tidak tahu apakah dengan overlay (pelapisan) terhadap peta-peta yang berbeda akan membantu. Salah satu tantangan terbesar, adalah masyarakat mengikuti pergerakan hewan-hewan karena membantu mereka melacak atau mengidentifikasi batas-batas mereka sendiri. Karena banyak dari mereka mengikuti pola migrasi atau pengembalaan maupun perkawinan hewan-hewan di manapula disinggung dalam dongeng-dongeng mereka. Jadi, kita bisa bilang, ada peta berbeda yang mewakili pergerakan hewan-hewan tertentu di seluruh wilayah adat. Itulah mengapa seharusnya peta bersifat terbuka untuk perubahan dan perlu memasukkan suara.

 

Jadi, bisa dibilang, peta seperti itulah yang mampu menjelaskan hubungan yang jauh lebih kompleks dengan alam dibandingkan peta yang kita miliki sekarang?

Tentu saja. Saya ingat, pernah bertanya pada salah seorang informan saya (masyarakat adat). Saya bertanya, apa sih peta itu menurut kamu? Dia menjawab, ‘Lagu dan cerita.’ Saya pergi ke sana dengan pola pikir aktivis yang mengajak untuk membuat peta wilayah adat sebagai bukti sangat penting. Kemudian, saya malah berkeliling memetakan suara burung. Saya mendengar cerita luar biasa indah tentang hewan-hewan itu. Dari mana mereka berasal dan apa hubungan masyarakat dengan burung-burung. Maka, itu selayaknya lagu dan cerita terkait manusia dan burung. Itulah yang kemudian membangun semua narasi – peristiwa, dongeng, dan lain-lain. Itu adalah suatu proses yang sangat menyentuh, baik itu dalam hal terkait gerakan pemetaan wilayah adat maupun bagi orang yang lakukan pemetaan. Sebab, apa yang dipetakan seperti orang yang melakukan pemetaan.

Individu yang melakukan kartografi ini terlibat dalam proses. Dia akan menghasilkan peta yang secara inheren dibentuk oleh hubungannya dengan apa yang sedang dipetakan. Jadi, bagi mereka, merangkul subjektivitas pemetaan. Hingga, perspektif top-down (atas ke bawah) dalam pemetaan sangat tidak masuk akal.

 

Apakah menurut Anda masyarakat punya cara untuk menolak atau menentang perusahaan pemegang konsesi? Apakah itu sepenuhnya tergantung perusahaan atau pemerintah yang akan memberikan mereka pilihan?

Sebetulnya, sangat sulit mempertimbangkan soal persetujuan dalam konteks itu. Militer ada di sana dan terlibat dalam sosialisasi. Orang-orang tak punya banyak pilihan karena tekanan sangat besar. Ada penindasan terhadap orang-orang yang terlibat pada urusan advokasi hak atas tanah. Situasi di sana diliputi dengan tindak kekerasan fisik maupun psikologis, penyitaan KTP (kartu tanda penduduk), penahanan ekstra yudisial (tindakan aparat di luar hukum), hingga interogasi secara sporadis.

 

Kondisi di pondok sementara, di dalam hutan kala mereka berburu dan memotong sagu.
Foto oleh Nanang Sujana

 

 

Menurut Anda, apa dampak jangka panjangnya?

Sepengetahuan saya, tanah itu dapat kembali ke pemilik tanah semula (masyarakat adat) begitu HGU (hak guna usaha–izin konsesi lahan perkebunan selama 35 tahun) berakhir. Itupun selama masyarakat adat masih mempraktikkan kehidupan tradisional dalam hal pemberlakuan hukum adat dan kepemilikan tanah secara adat (kolektif). Sementara itu, tak mungkin masyarakat dapat mempraktikkan penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah adat jika tanah-tanah mereka telah dikonversi menjadi perkebunan monokultur berskala besar.

Begitu HGU berakhir, peluang tanah-tanah itu kembali ke masyarakat sangat kecil. Ada suatu paradoks melekat kuat di mana masyarakat adat dituntut mempertahankan cara-cara hidup tradisional di tengah-tengah bentangan wilayah adat yang dibuat produktif secara ekonomi melalui penggunaan teknologi industri intensif. Jadi, tanah yang sudah terampas sangat tak mungkin bisa kembali ke mereka.

Bentuk atau dimensi hutan adat itu unik. Yang sebetulnya berfungsi sebagai tapal batas wilayah adat suku tertentu, adalah penanda alam, seperti pohon-pohon tertentu maupun pohon sagu. Kalau hutan hilang, berarti mereka kehilangan titik atau lokasi yang jadi rujukan atau acuan mereka dalam menentukan batas-batas wilayah adat. Itu cukup rumit untuk kemudian (setelah ada konsesi) mereka bisa mengidentifikasi kembali batas-batas kepemilikan tanah. Ketika tanda-tanda alam itu hilang, bagaimana mereka akan membuat batas-batas lagi dan membagi-bagi bentangan wilayah adat yang telah dihancurkan. Itu tantangan serius.

 

Sepuluh tahun ke depan, kira-kira apa yang akan terjadi dengan perkampungan adat di mana kebun sagu hilang bersamaan dengan sebagian besar hutan adat mereka? Lantas, ke mana masyarakat adat akan pergi kalau mereka tak bisa mendapatkan makanan cukup? Apa yang terjadi dengan budaya mereka?

Satu hal yang mungkin terjadi, adalah masyarakat masih bisa tinggal di perkampungan, tetapi sepenuhnya bergantung pada pemberian pemerintah dan perusahaan. Banyak desa adat di tempat saya bekerja, mereka mendapatkan paket kompensasi. Sebab, masyarakat sudah tidak bisa lagi berburu atau mencari makan. Mereka menyantap mi instan dan raskin (beras bersubsidi) sebagai program pemerintah untuk masyarakat miskin maupun perwujudan program tanggung jawab sosial perusahaan. Sumber pangan maupun cara konsumsi masyarakat adat sedang diubah secara radikal. Itu berdampak pada kesehatan. Bayi-bayi menderita malnutrisi, meningkat terus menerus. Makanan-makanan itu tak bergizi sama sekali. Jadi, saya mengantisipasi bahwa, pasti akan ada dampak kesehatan bagi masyarakat yang tak dapat lagi mengakses protein dari hutan dan kini hanya bisa makan makanan instan dengan nilai gizi amat sedikit. Bisa jadi pula mereka akhirnya benar-benar bergantung secara material dan finansial pada perusahaan terkait makanan dan uang.

Di perkampungan tempat saya bekerja, sangat kritis terhadap desa-desa lain yang mereka anggap telah mencapai tingkat kemalasan. Jadi mereka ada yang hanya tinggal menunggu dana cair atau menanti uang perusahaan. Itu penyebab munculnya fragmentasi lain terkait kritik internal. Sebagian orang yang tak lagi berjuang kemudian hanya makan dari pemberian atau belas kasihan perusahaan dibandingkan makan dari hasil buruan sendiri. Itu terjadi nyata.

Sebagian anak muda Marind, kini lebih suka makan nasi dan mi instan. Mereka tak tertarik lagi berburu. Mereka lebih suka berada di kota, menjadi modern dan maju. Saya menduga, perubahan ini akan berpengaruh pada generasi selanjutnya. Sejauh ini, itu hal-hal yang bisa saya bayangkan terjadi sekarang, baik itu terkait ketergantungan total masyarakat adat maupun migrasi masyarakat adat ke kota-kota.

Kita berbicara tentang orang yang kini menjadi minoritas (dan ditindas) di tanah mereka sendiri. Statistik terbaru mengungkapkan, jumlah masyarakat adat Marind hanyalah 38-40% dari total populasi penduduk di Merauke. Penurunan persentase populasi masyarakat adat Marind, adalah sesuatu yang penting diperhatikan. Itu benar-benar terjadi. Maka, mungkin erosi budaya akan berjalan seiring dengan makin berkurangnya jumlah masyarakat adat.

 

Potret anak lelaki dari Desa Zanegi, Merauke, papua. Foto: Nanang Sujana

 

 

Perubahan nyata apa untuk memperbaiki situasi masyarakat adat Marind maupun masyarakat adat lain di Papua?

Saya pikir, di tingkat akar rumput, kuncinya, penguatan kapasitas masyarakat adat. Hal itu akan memperluas akses masyarakat adat pada mekanisme di level nasional dan internasional terkait pemulihan hak-hak mereka yang terabaikan.Juga meningkatkan pemahaman mereka terkait hak-hak masyarakat adat yang dijamin dan dilindungi hukum nasional dan internasional. Tetapi, inisiatif ini perlu diiringi reformasi hukum yang akan mengharmonisasikan hukum nasional dengan ketentuan hukum internasional.

Saat ini, ada kesenjangan antara kedua sistem itu. Standar keberlanjutan seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) punya suatu langkah penting untuk mendorong pendekatan berbasis hak terhadap produksi minyak sawit.

(RSPO adalah, sebuah asosiasi terdiri dari berbagai pihak terkait sektor industri sawit yang menerapkan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.)

Sekali lagi, standar-standar itu hanya akan efektif seandainya disertai reformasi hukum. Kalau tidak, bahkan perusahaan yang mencoba menerapkan free prior and informed consent (FPIC) atau padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan) secara komprehensif, justru akan terjebak di antara persyaratan RSPO dan hukum nasional. Tentu saja, reformasi hukum memerlukan waktu. Itu tak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi Marind, saat ini. Namun, dalam jangka panjang, akan memberikan perubahan bagi generasi masyarakat adat Marind ke depan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk mempertahankan hak atas tanah dan ruang hidup secara lebih efektif.

 

Keterangan foto utama:      Seorang anak sedang memandang seraya mengingat hutan mereka di Desa Zanegi, Merauke, Papua, yang kini hilang…..Foto: Nanang Sujana

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Exit mobile version