Mongabay.co.id

Soal Ribut Sawit ke Uni Eropa, Ini Masukan Pegiat Lingkungan dan Ekonom

Taman Nasional Gunung Leuser yang telah berubah jadi kebun sawit di Kabupaten Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Kebijakan Uni Eropa mengadopsi Delegated Act  yang mengeluarkan minyak sawit (crude palm oil/CPO) dari sumber energi terbarukan karena dinilai berisiko tinggi mendorong deforestasi bikin negara produsen sawit terbesar dunia, Indonesia dan Malaysia, berang. Mereka berkirim surat ke Komisi Eropa,  sekaligus menyambangi  lembaga Uni Eropa di Brussels, Belgia, 8-9 April lalu. Di dalam negeri, pemerintah Indonesia, juga bereaksi dengan mengeluarkan berbagai ancaman dari mau lapor ke WTO sampai keluar dari Perjanjian Paris. Kalangan organisasi lingkungan sampai ekonom memberikan pandangan dan masukan kepada pemerintah.

”Aura dari diskursus sawit, berbicara sawit itu bikin sewot dalam lini apapun,” kata Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, kepada Mongabay.

Bagi pecintasawit, komoditas ini menjadi pilihan ekonomi seakan tak bisa bernegosiasi. Sedang, bagi kelompok pejuang lingkungan yang bersentuhan langsung dengan para korban,  lebih menekankan sawit berikan dampak buruk, seperti deforestasi sampai pelanggaran HAM di lapangan.

Teguh mengatakan, pemerintah perlu mengkaji ulang manfaat sawit bagi kepentingan nasional. ”Kepentingan nasional terhadap komoditas sawit bagi Indonesia itu seperti apa, secara ekonomi, sosial budaya dan lingkungan?” katanya.

Pemerintah punperlu merumuskan terkait seberapa luas keperluan lahan untuk sawit, dan seberapa ekonomis tanaman itu. ”Kan, tidak bijak juga jika semua lahan ditanami sawit. Ekonomi jika hanya bergantung pada satu pilar akan rapuh,” katanya.

Berdasarkan dataDirektorat Jenderal Pakak (2015), realisasi penerimaan pajak dari perkebunan sawit hanya Rp22,2 triliun alias hanya 2,1%. Rendahnya realisasi penerimaan pajak karena tingkat kepatuhan wajib pajak rendah.

Bahkan dari 70.918 wajib pajak baik badan dan perorangan hanya 9,6% yang melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Sekitar 87,8% melaporkan SPT pajak nihil. Selainitu, ditemukan 127 perusahaan tak memiliki NPWP, banyak di Riau.

”Perlu dilihat, paling penting pemegang saham terbesar sawit itu tak ada di Indonesia. Kita hanya masuk dalam pemberi pinjaman terbesar,” katanya.

Dia menegaskan,  pemerintah perlu mengetahui siapakah yang mendapatkan keuntungan terbesar dari industri ini.

Kalau berkaca dari pernyataan Kementerian Perekonomian, industri sawit juga menyerap 19,5 juta tenaga kerja, termasuk empat juta petani sawit di dalamnya. ”Apakah kita cukup bangga menjadi buruh dalam industri sawit hingga yang kaya hanya para taipan?  Seharusnya memperkaya 19,5 juta orang bukan memperkerjakan. Kita ini pemilik, kita penguasa.”

Warga Kumpeh, Jambi, protes kepada perusahaan sawit, PT Bukit Bintang Sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Jangan main ancam

Fithra FaisalHastiadi, Ekonom dari Universitas Indonesia mengatakan, pemerintah tak perlu main ancam dalam penyelesaian sawit ini, seperti mau bawa kasus ke WTO atau memboiko tbarang Eropa, keluar dari Perjanjian Paris,  dan lain-lain.

”Lebih baik menyelesaikan melalui jalur informal, businessto business, maupun negosiasi dalam penyelesaian sengketa sawit,” katanya,seraya bilang, industri sawit dalam negeri, juga perlu evaluasi.

Saat ini,  Indonesia, sebagai negara berkembang mendapat fasilitas generalized system of preferences(GSP) dari Uni Eropa. Keuntungannya, produk Indonesia yang masuk Uni Eropa mendapat tarif lebih rendah.

Sikap konfrontasi Indonesia ini, katanya, khawatir berdampak lebih luas. Fasilitas GSP akan berakhir tahun 2019 ini, Eropa bisa saja menghentikan bahkan tak memperpanjang fasilitas itu hingga Indonesia yang rugi.

Tak hanya itu, Indonesiadan Uni Eropa, juga sedang perundingan perdagangan komprehensif Indonesa-European Union Comprehensive Economic Patrnership Agreement (I-EUCEPA). “Salah-salah bersikap akan terlantar.”

Berdasarkan kajianLembaga Penelitian Ekonomi Manajemen Universitas Indonesia, Uni Eropa merupakan salah satu Kawasan yang bisa menjadi alternatif pasar baru, lantaran potensi pasar belum tergarap maksimal.

Minyak sawit mentah, katanya, memang unggulan Indonesia, tetapi kalau ancaman malah kembali mengancam, justru kontraproduktif bagi Indonesia.

Toh jika (sawit) kita compatible dengan peraturan EU malahbisa menjadi showcase ke negara lain.Uni Eropa saja sudah mengakui, ini malah bisa menaikkan kualitas produksi CPO (crude palm oilred) kita ke depan,” kata Fithra.

Ke depan, kata Fitra, Indonesia akan lebih mendapat keuntungan kalau memiliki standar yang sesuai aturan Uni Eropa. ”Saya rasa CPO sangat tidak sustainable, sangat rakus lahan, menciptakan potensi kebakaran hutan dan lahan.”

Dia bilang, kalau berbicara minyak sawit, seharusnya tak bisa memisahkan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan.  Kalau menghitung sisi ekonomi, akan terlihat hanya untuk jangka pendek. ”Kalau berbicara berkelanjutan,mau tak mau harus mempertimbangkan faktor lingkungan juga,” katanya.

Dia juga mengingatkan, pemerintah agar berhati-hati tak fokus ke sawit malah kehilangan kesempatan komoditas unggulan lain. “Kita tidak bisa selamanya mengandalkan pada CPO. Kita harus ada produk komoditas unggulan lain.”

Spanduk menentut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Perkuat sawitberkelanjutan

Laporan 2018International Union for Conservation of Nature (IUCN) menerbitkan,  hasil studi tentang dampak sawit terhadap keragamanhayati. Studi itu menyebutkan, melarang minyak sawit berpotensi lebih meningkatkan penggunaan lahan untuk tanaman lain guna memenuhi permintaan minyak. Yang diperlukan, sebut laporan itu, memastikan agar produksi minyak sawit lebih berkelanjutan dengan mendorong semua pihak, baik pemerintah,produsen dan pemasok kuat terhadap komitmen berkelanjutan.

Darmin Nasution,Menteri Koordinator Perekonomian mengatakan, satu ton minyak nabati perlu 0,26 hektar sawit. Untuk minyak nabati lain, perlu lahan lebih luas dengan produksi sama, bunga matahari (1,43 hektar) dan kedelai (2 hektar).

”(Minyak nabatilain) perlu lahan sampai 8-9 kali lipat luas lahan untuk menghasilkan satu ton minyak nabati,” katanya.

Hasil penelitian yang dihasilkan Satgas Kelapa Sawit IUCN menyebutkan,  penggunaan tanaman alternatif untuk memproduksi minyak nabati, diyakini menambah luas lahan lebih besar. ”Ini bukan solusi yang bisa dipikul dunia.”

Terlebih, katanya, kebutuhan minyak nabati dunia terus meningkat 10-30 tahun ke depan. Dia perkirakan pada 2050, kebutuhan minyak nabati dunia mencapai 310 juta ton.

Erik Meijaard, Kepala Satgas Kelapa Sawit IUCN mengatakan, kalau sawit dilarang atau diboikot,akan lebih banyak lahan digunakan untuk tanaman penghasil minyak nabati lain.

”Sawit tetap dibutuhkan. Kita perlu segera mengambil langkah memastikan produksi sawit berkelanjutan. Memastikan semua pihak, pemerintah, produsen dan rantai pasok,menghargai komitmen mereka terhadap keberlanjutan,” katanya.

Menanggapi laporan ini, masyarakat sipil mendesak, masa depan sawit Indonesia akan membaik kalau tata kelola hutan diperbaiki secara mendasar dan keberlanjutan produksi sawit dapat diketahui secara transparan.

“Kami tak menyangkal, sawit  salah satu tanaman yang paling efisien dalam hal luas lahan. Yang menjadi masalah, dalam sejarahnya, minyak sawit diproduksi dengan membabat hutan, termasuk jutaan hektar hutan di lahan gambut yang sangatkaya karbon,” kata Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch.

Selain itu, katanya, permasalahan lain berupa metode produksi tak efisien dan mencemari lingkungan karena penggunaan pupuk kimia dalam jumlah besar.

Perkuat sawit rakyat agar produktivitas meningkat dan berkelanjutan. Foto: Sruyadi/ Mongabay Indonesia

Pemerintah, katanya,  perlu memperhatikan poin penting yang muncul dalam studi itu. Pertama, studi itu menyatakan,  perkebunan sawit bertanggung jawab atas perusakan besar-besaran hutan alam yang masih baik, yang merupakan rumah bagi harimau,orangutan, dan gajah Sumatera, spesies-spesies terancam yang masuk dalam Red ListIUCN. Di Kalimantan saja, 50% deforestasi antara 2005-2015 dipicu oleh sawit.

Kedua, laporan menyoroti pentingnya menghentikan deforestasi dan mencegah ekspansi perkebunan sawit ke hutan yang masih baik karena akan menghancurkan keragaman hayati.  Untuk itu, pemerintah dan produsen sawit harus menghentikan ekspansi sekarang. Dan fokus diri pada intensifikasi untuk meningkatkan produksi.

Selain itu, juga perlu sistem penelusuran dan pelacakan dalam rantai pasok minyak sawit dan mengimplementasikan sistem monitoring,pelaporan dan verifikasi hutan (deforestasi) yang kuat.

Langkah pertama, katanya, pemerintah harus membuka data konsesi guna memperkuat transparansi dan akuntabilitas.

“Tidak ada yangmenyerukan pelarangan sawit. Sawit bisa baik untuk Indonesia, namun hanya jika perbaikan menyeluruh tata kelola hutan dan produks betul-betul berkelanjutan.”

Mengingat studi IUCN di Indonesia meluncur pada minggu sama dengan pemungutan suara Uni Eropa, Darmin harus mempertimbangkan keseluruhan rekomendasi IUCN secara serius. Juga menerapkan sesegera mungkin.

“Untuk meyakinkan Uni Eropa dan pasar ekspor besar lain bahwa Indonesia betul-betul berkomitmen produksi minyak sawit berkelanjutan. Tidak semata mementingkan pendapatan negarajuga perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia.”

“Sangat pentingbagi negara kita memperbaiki tata kelola hutan dan perkebunan secara mendasardan meningkatkan produksi sawit berkelanjutan.”

Dia sarankan, Indonesia mulai memperkuat implementasi moratorium sawit, memperkuat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan memprioritaskan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk mendukung petani kecil menjalankan praktik terbaik.

“Semua ini agar betul-betul dapat diverifikasi bahwa minyak sawit Indonesia dihasilkan berkelanjutan,” kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Indonesia produsen sawit terbesar dunia. Di lapangan, kerusakan lingkungan, seperti pencemaran air dampak limbah sawit di sungai, danau dan lain-lain banyak terjadi di berbagai daerah. KPK sudah menangani satu kasus di Kalteng. Diduga, ini banyak terjadi dan berharap KPK terus menyasar kasus-kasus kerusakan lingkungan sektor sawit. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Surat keberatan Indonesia-Malaysia

Pemerintah Indonesia dan Malaysia, menandatangi surat keberatan kepadaUni Eropa terkait penghentian penggunaan minyak sawit sawit untuk biofuel pada 2030.

”Kemarin (malam) Presiden (Joko Widodo) sudah menandatangani surat bersama antara Presiden Joko Widodo dan Prime Minister (Malaysia) Mahathir tentang keberatan kita mengenai rencana dari Uni Eropa mem-banned sawit dunia,” kata Luhut B. Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim, Senin (8/4/19), di kantornya.

Surat keberatan ini, katanya,  demi keberlangsungan perkebunan dan industri sawit yang menopang tenaga kerja hingga 20 juta petani, baik langsung maupun tak langsung.

Dia mengatakan, upaya melawan diskriminasi terhadap swit ini bukan berarti pemerintah abai terhadap isu lingkungan hidup. ”Masalah lingkungan, saya berkali-kali mengatakan kita itu (pemerintah) tidak akan membuat policy yang akan merusak generasi kita yang akan datang.”

Dia berharap, organisasi masyarakat sipil di Indonesia merasa terpanggil memperjuangkan ini karena menyangkut jutaan petani.

Kalau tata kelola sawit saat ini masih ada kekurangan, katanya, akan diperketat dengan pengawasan, misal, melalui kebijakan moratorium sawit, kebijakan satu peta dan lain-lain. Selain itu, pemerintah akan penanaman kembali kebun warga yang diharapkan mampu meningkatkan produksi dalam 5-10 tahun ke depan.

“Kita melihat, kalau ini masih berlanjut, kita mungkin pergi ke European Court, atau ke WTO. Opsi lain kita akan pertimbangkan,” katanya

Soal keluar dari Perjanjian Paris, Luhut sebut lagi seperti pernyataan sebelumnya. “Keluar dari Paris Agreement kenapa tidak. Amerika saja bisa kok. Brazil saja bisa. Kenapa kita enggak bisa.”

Dia menegaskan, Indonesia sangat menghargai perjanjian internasional,namun kepentingan nasional harus utama. Dia sebut-sebut sawit itu sebagai kepentingan nasional dan rakyat.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menolak memberikan tanggapan.”Saya belum bisa merespon itu, itu urusannya lain,” kata Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK.

Tata Mustasya, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, ancaman keluar dari Paris Agreement ini keputusan reaktif dari Menteri Luhut dengan tak melihat jernih kepentingan besar dan urgensi penyelamatan hutan dan iklim.

Indonesia, katanya, negara rentan dampak perubahan iklim. ”Sebagai pejabat publik, Menteri Luhut harusnya bekerja mentransformasi tata kelola energi Indonesia, memperbaiki lingkungan yang sudah terlalu penuh dengan debu dan polusi dari banyak PLTU batubara yang mengancam kesehatan warga dan bukan mengutamakan kepentingan bisnisnya.”

Annisa Rahmawati, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah pemerintah Indonesia untuk memperbaiki masalah industri sawit. “Implementasi moratorium belum terlihat dan tidak kunjung terwujud satupeta publik yang memastikan perlindungan hutan dan gambut yang tersisa.”

Soal sawit, katanya, pemerintah perlu serius memikirkan hilirasi di dalam negeri dan peningkatan kesejahteraan petani kecil. Juga menawarkan solusi dalam bentuk investasi nyata dan sepenuh hati untuk industri energi terbarukan selain biofuel.

Pada 8-9 April 2019, Misi Gabungan Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries /CPOPC) mendatangi Komisi Eropa di Brussels, Belgia, untuk membahas keberatan mereka karena sawit keluar dari sumber ebergi terbarukan pada 2030. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Datangi Komisi Eropa

Setelah berkirim surat protes ke Uni Eropa, Pemerintah Indonesia, dan Malaysia, juga langsung datang ke ke Brussels, Belgia, untuk menyambangi Komisi Uni Eropa,  menyampaikan keberatan mereka.

Misi Gabungan Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (Council of PalmOil Producing Countries /CPOPC) bersepakat bersama-sama membahas langkah-langkah diskriminatif terkait Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of the European Union RenewableEnergy Directive II (Delegated Act). 

“Negara anggota CPOPC memandang Delegated Act yang diberikan itu sebagai kompromi politik di dalam Uni Eropa yang bertujuan mengisolasi dan mengecualikan minyak sawit dari sektor energi terbarikan demi keuntungan minyak nabati Eropa dan minyak lain yang kurang kompetitif,” sebut penyataan tertulisyang diterima Mongabay.

Dalam pernyataan itu disebutkan, kriteria RED II tak memiliki landasan kuat, berfokus pada sawit dan deforestasi, tidak membuat upaya memasukkan masalah lingkungan lebih luas terkait dengan budidaya minyak nabati lain.

“Kami sangat menentang Delegated Act, yang mengklasifikasikan minyak sawit sebagai tidak berkelanjutan karena ILUC (indirect land use change-red) berisiko tinggi.”

CPOPC menduga,  penerbitan Delegated Act lebih berdasarkan proteksionisme ekonomi dan politik daripada keputusan ilmiah. Salah satunya,minyak kedelai, dianggap memiliki risiko rendah terhadap perubahan penggunaan lahan dan deforestasi.

Ia hanya jadi strategi ekonomi dan politik yang telah diperhitungkan untuk menghapus minyak sawit dari pasar Uni Eropa.

“Padahal, penelitian internal Uni Eropa sendiri menyimpulkan,perkebunan kedelai bertanggung jawab jauh lebih banyak dari ‘deforestasi impor’.”

Misi bersama CPOPC dua hari, 8-9 April 2019,  menyambangi Komisi, Parlemen, dan Dewan Eropa untuk menyampaikan protes. Turut hadir dalam misi delegasi tiga negara anggota, yakni,  Indonesia dipimpin Menteri Koordinator bidang Perekonomian,  Darmin Nasution, Malaysia dipimpin Sekjen Kementerian Industri Utama Dato’ Dr. Tan YewChong. Lalu Kolombia,  dalam status sebagai negara observer diwakili Dubes Kolombia untuk Belgia dan Uni Eropa Felipe Garcia Echeverri.

”Kami menyampaikan keresahan pemerintah kami kepada pimpinan dan otoritas Uni Eropa dan mencoba mencari jalan keluar solutif serta dapat diterima seluruh pihak.”

 

Ekspor ke Eropa naik

Di tengah siku tegang antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa atas pengecualian sawit dari sumber energi terbarukan Uni Eropa, pada 2030, ternyata ekspor Indonesia ke Uni Eropa Februari, naik daripada Januari.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat,  ada kenaikan ekspor minyak sawit Indonesia, untuk CPO dan produk turunan dibandingkan bulan sebelumnya ke Uni Eropa sebesar 27%. Ekspor ke Bangladesh juga naik 8%.

Meski demikian,secara total, ekspor CPO dan turunan pada Februari sebesar 2,88 juta ton atau 11% dari Januari 3,25 juta ton. Penurunan volume ekspor ini antara lain karena Februari lebih pendek daripada Januari.

Mukti Sardjono,Direktur Eksekutif Gapki menyebutkan, ekspor CPO hanya 852.300 ton, sisanya produk turunan.

Negara yangmemiliki pelemahan permintaan signifikan, antara lain, Amerika Serikat (48%),Pakistan (41%), Tiongkok (22%), Afrika (22%), India (14,5%).

Di tengah kondisi ini, katanya, sawit dihadapkan pada tantangan hambatan perdagangan Uni Eropa pada 13 Maret 2019 yang mengadopsi Renewable Energi Directive II (RED II).

Keputusan itu, katanya,  berdampak pada penghapusan pengggunaan biodiesel berbasis sawit karena sawit jadi minyak nabati berisiko tinggi terhadap deforestasi,  sedangkan minyak nabati lain berisiko rendah.

”Meski landasan ilmiah RED II banyak dipertanyakan, diskriminasi negara Uni Eropa ini sangat merugikan negara produsen sawit,” katanya.

Berdasarkan data Gapki, akhir Februari 2019,  setok minyak sawit Indonesia tercatat 2,50 juta ton atau turun 17% dibandingkan Januari lalu 3,02 juta ton.

Surat bersama Indonesia dan Malaysia ke Komisi  Eropa

Keterangan foto utama: Taman Nasional Gunung Leuser yang telah berubah jadi kebun sawit di Kabupaten Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Exit mobile version