Mongabay.co.id

Laporan Global Witness soal Transaksi Perusahaan Batubara Mencurigakan, LSM: Pemerintah Harus Telusuri

Tren kenaikan harga batubara khawatir memicu eksploitasi besar-besaran. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

Global Witness, sebuah organisasi masyarakat sipil internasional mengeluarkan laporan terbaru tentang perusahaan batubara Indonesia yang mengalihkan uang jutaan dolar Amerika Serikat,  baik ke perusahaan cangkang lepas pantai maupun ke perusahaan tak dikenal.

Dua tokoh penting termasuk yang maju dalam pemilihan presiden 2019 disebut dalam laporan ini,  Sandiaga Uno, calon wakil presiden mendampingi Calon Presiden Prabowo Subianto, dan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator bidang Kematiriman. Luhut membantah, Sandiaga memilih bungkam.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meminta pemerintah menelusuri aliran kekayaan pejabat dan mantan pejabat publik ini untuk menjawab dugaan dana hitam mengalir untuk kampanye pilpres 2019. Transparansi untuk Keadilan (TuK) menilai ini momentum tepat untuk menjalankan  Perpres tentang beneficial ownership.

Laporan yang dirilis 2 April lalu mengenai Sandiaga Uno,  bermula saat Sandi jadi pemilik Berau Coal, perusahaan batubara terbesar di Indonesia. “Global Witness menemukan, pada masa itu Berau Coal membayar setidaknya US$43 juta, antara 2010-2012 ke perusahaan tak dikenal bernama Velodrome Worldwide Limited yang didirikan di suaka pajak Seychelles,”  kata Stuart McWilliam, Kepala Kampanye Perubahan Iklim Global Witness.

Menurut laporan ini Sandiaga pernah punya hubungan tersembunyi dengan Velodrome yang mungkin dipertahankan pada saat pembayaran Berau Coal itu. Sebagai investor besar di Berau Coal, kata Stuart, Sandiaga,  mesti tau soal pembayaran ini.

“Saat Global Witness meminta penjelasan mengenai hubungannya dengan Velodrome dan pembayaran, dia tidak menjawab,” katanya.

Kolam tambang batubara masih operasi. Foto: Tommy Apriando

Dengan dasar ini,  kemudian laporan ini menyimpulkan Sandiaga punya andil dan kemungkinan dapat untung dari pembayaran ini.

Pembayaran ini membawa dampak serius bagi Berau Coal dan investor lain.

Pembayaran ke Velodrome,  bukan satu-satunya transaksi Berau Coal yang disoroti laporan ini. Berau Coal juga transaksi dengan mitra bisnis Sandiaga saat itu, Rosan Roeslani. Arus uang keluar yang tak sedikit ini melemahkan neraca keuangan Berau Coal yang kemudian gagal membayar obligasi ratusan juta dolar.

“Roslani, seperti halnya Sandiaga tak menjawab pertanyaan Global Witness.”

Kasus Berau Coal ini jadi peringatan bagi bank dan investor yang sedang mempertimbangkan investasi baru di pembangkit listrik tenaga batubara agar tak memberi lebih banyak uang pada industri fosil ini.

Kronologi

Kalau ditarik ke belakang, Recapital Advisers, perusahaan investasi yang didirikan Sandiaga dan Roslan,  mengambil alih Berau Coal pada 30 Desember 2009. Hanya 12 hari setelah itu, anak perusahaannya, Berau Coal Indonesia, menandatangani perjanjian dengan Velodrome, sebuah perusahaan yang berbadan hukum di Seychelles, suaka pajak di Samudra India.

Dalam kesepakatan, Veldorome adalah penasehat startegis dan keuangan pada bisnis utama dan aspek operasional. Untuk jasa ini Velodrome dibayar US$2 juta per bulan.

Masalahnya, identitas pemilik Velodrome tak diketahui saat pembayaran ini karena Seychelles tak mensyaratkan itu untuk mendirikan badan usaha di sana.

Selain kepemilikan tak jelas, pembayaran jutaan dolar kepada Velodrome meragukan karena tak jelas jasa apa yang diberikan Velodrome kepada Berau. Dari laporan keuangan Berau yang didapat Global Witness,  tak ada keterangan apapun soal ini dan mengapa bayarannya sangat mahal.

Yang jelas, biaya bulanan untuk Velodrome, melebihi tagihan upah ratusan karyawan Berau Coal yang pada saat itu rata-rata US$2,1 juta per bulan.

Pembayaran besar kepada perusahaan anonim di suaka pajak praktis mencurigakan karena risiko transaksi ilegal.

Kejanggalan lain disebut dalam laporan ini, meski Berau Coal mulai rugi besar sejak 2012, perusahaan ini tetap membayar Velodrome hingga akhir tahun. Berau Coal rugi karena jatuhnya harga batubara dunia dan pembayaran tak jelas lain US$150 juta. Pemegang saham lain memutus perjanjian dengan Velodrome pada 2012. Setahun sebelumnya bahkan saham Recapital di Berau Coal diakuisisi Bumi plc, perusahaan batubara kerja sama investor Inggris Nat Rothschild dan keluarga Aburizal Bakrie. Laporan ini menyebut Roslan Roeslani adalah sekutu keluarga Bakrie.

Truk-truk membawa batubara lalu lalang di jalan pemukiman dan menimbulkan debu ke mana-mana. Debu makin parah kala musim kemarau. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Mengapa laporan ini menyimpulkan Sandiaga punya andil dalam pembayaran-pembayaran besar ini? Stuart mengatakan, karena dia salah satu pendiri dan pemegang saham Recapital yang mengendalikan Berau Coal saat itu. Antara Maret hingga Juni 2013, Sandiaga adalah anggota dewan komisaris Berau Coal dan Roslan merupakan presiden direktur Berau Coal antara Agustus 2010 hingga Maret 2013.

“Kami menyimpulkan, Sandiaga punya andil atau setidaknya menyetujui pembayaran-pembayaran Berau Coal ke Velodrome.”

Lantas siapa yang untung dari pembayaran ini? Bumi plc,  pernah audit Berau Coal namun tak dapat informasi apapun.

Baru pada 2016,  Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi (ICIJ) merilis dokumen Panama Papers yang mengindikasikan Sandiaga terhubung ke sejumlah perusahaan lepas pantai.

Menurut Panama Papers,  Sandiaga adalah pemegang saham tunggal dan direktur Velodrome sejak perusahaan itu didirikan pada Oktober 2007 hingga Mei 2009.

“Hubungan kuat antara Sandiaga dan Velodrome ini belum pernah diungkap di publik sebelumnya. Kami bertanya kepadanya mengenai hubungan ini, tapi dia tak menjawab.”

Namun Global Witness menemukan, Sandiaga masih terhubung dengan Velodrome setelah Mei 2009 melalui pemegang saham terakhir yang diketahui pada Juli 2009 yakni seorang pengacara Singapura bernama Ng Soon Kai. Selama masa Berau Coal membayar Velodrome, Ng Soon Kai adalah direktur dan sekretaris dari dua perusahaan di Singapura yang sahamnya dimiliki Sandiaga, yakni Seroja Investments dan Interra resources. Ng Soon Kai juga pernah jadi anggota dewan Seroja Investments bersama Sandiaga Uno.

Data-data menunjukkan kemungkinan pada saat pembayaran dari Berau Coal ke Velodrome, Sandiaga memang bukan pemegang saham Velodrome namun Velodrome dipegang oleh orang yang dekat dengan Uno.

Setelah 2016, Sandiaga pernah mengatakan, struktur lepas pantai adalah hal biasa dalam proses investasi. Bagi Sandiaga itu hal legal.

Lalu, apa dampak dari pembayaran besar yang meragukan ini? Menurut Global Witness,  pembayaran ini praktis akan mengurangi dana Berau Coal untuk membayar dividen kepada investor atau membayar bunga pada pemegang obligasi dan bank.

“Banyak investor punya kepentingan di Berau Coal yang dananya dibocorkan oleh pembayaran ini.”

Selain pembayaran kepada Velodrome, Global Witness menemukan ada pembayaran janggal lain yang dilakukan Berau Coal yang terhubung langsung dengan Roslan Roeslani.

Global Witness mengingatkan, jika Sandiaga menjadi Wakil Presiden Indonesia, dia akan jadi salah seorang paling berpengaruh dalam politik Indonesia. “Karena itu, pertanyaan-pertanyaan mengenai transaksi bisnis lamanya merupakan urusan publik yang perlu dijawab.”

Harus diakui,  katanya, pemberi pinjaman dan investor asing yang membuat industri batubara di Indonesia terus berjalan, sekalipun industri ini dikenal terkai erat dengan perubahan iklim, pencemaran permukaan air tanah dan masalah lain.

Temuan dalam laporan ini, kata Stuart, jadi alasan tambahan kepada bank dan investor agar menghindari sektor batubara di Indonesia.

Global Witness rekomendasi,  pemerintah Indonesia menyelidiki temuan ini, mengurangi porsi batubara dalam rencana pembangkit listrik, dan membuat rencana transisi energi yang komprehensif menuju energi terbarukan sesuai Perjanjian Paris.

Bagian kedua dari laporan Global Witness soal industri batubara Indonesia fokus pada pertanyaan serius mengenai transaksi bisnis Luhut Binsar Pandjaitan yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.

Luhut, mantan jenderal, diplomat dan pengusaha jadi penasihat senior dan sahabat dekat Presiden Joko Widodo. Hingga November 2016, Luhut adalah investor pengendali di perusahaan batubara PT Toba Bara Sejahtera. Saat jadi menteri dia menjual saham dengan transkasi tak dibuka kepada publik.

Laporan Global Witness, memperlihatkan bagaimana identitas pembeli saham PT Toba Bara tersembunyi di lepas pantai di belakang perusahaan pengelola dana di Singapura.

Laporan ini tak menyebut ada pelanggaran yang dilakukan Luhut. “Namun hal wajar untuk bertanya siapa pemilik akhir (beneficial owners) saham yang dipegang oleh perusahaan yang membeli perusahaan Luhut,” kata Stuart.

Global Witness mengkonfirmasi pada Luhut, PT Toba Bara Sejahtera dan perusahaan pengelola dana tersebut namun mereka tak menjawab.

“Indonesia akan melaksanakan pemilu dan transaksi ini melibatkan pejabat senior pemerintahan. Maka,  pertanyaan-pertanyaan tak terjawab itu merupakan kepentingan publik,” kata Stuart.

Pada 2016,  Luhut memiliki 99% saham Toba Sejahtera, 72% saham dalam industri batubara kelas menengah bernama Toba Bara Sejahtera. Perusahaan ini punya tambang di Kalimantan Timur dan sedang membangun dua PLTU batubara di Sulawesi.

Pada 9 November 2016, Toba Bara menjual 61,79% saham kepada perusahaan Singapura Highland Strategic Holdings.

Transaksi selesai pada Januari 2017. Highland, dimiliki Watiga Trust Pte Limited di Singapura. Watiga adalah perusahaan yang mengelola aset untuk investor lain. Saat dimintai keterangan siapa penerima manfaat terakhir dari perusahaan ini, baik Toba Bara, Watiga dan Highland Strategic Holdings, tak menjawab.

Tak diketahui juga berapa nilai yang diterima Luhut untuk penjualan ini.

Global Witness menakar,  nilai saham ini sangat besar.

Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang. Foto dok Jatam Kaltim

Highland membeli 1,24 miliar lembar saham di Toba Bara. Menurut Wall Street Journal saham di Toba Bara bernilai Rp900 di Bursa efek Jakarta pada 9 November 2016, tanggal saat transaksi disepakati.

Dengan kata lain, setidaknya sekitar Rp1,1 triliun atau sekitar US$85 juta pada tanggal itu. Highland juga setuju mengambil alih utang Toba Bara ke Toba Sejahtera US$25,8 juta. Jadi, ditambah utang ini total transaksi menjadi US$71,8 juta.

Lantas, apa dampak transaksi ini bagi publik?

Ketidakjelasan siapa pemilik baru perusahaan ini menjadi perhatian publik karena sosok ini akan menerima manfaat dari kebijakan pemerintah Indonesia untuk membangun sejumlah PLTU batubara.

Kebijakan ini akan mempertahankan permintaan pasar untuk batubara di Indonesia saat permintaan internasional menyusut. Ia juga akan membantu perusahaan batubara yang ingin membangun atau mengoperasikan PLTU batubara. Tanpa informasi publik tentang siapa pemilik sebenarnya perusahaan masyarakat Indonesia tak bisa tahu apakah hal ini relevan bagi pemilik baru Toba Bara atau tidak.

“Ada masalah lain,” kata Stuart.

 Laporan ini tidak menyatakan, Luhut tidak mematuhi aturan berkaitan karena tak mengungkapkan informasi seputar transaksi ini namun ini masalah yang muncul di banyak negara: masyarakat tidak bisa tahu apakah penjualan aset oleh pejabat publik senior sesuai dengan harga pasar atau tidak.  Untuk itu, tidak dapat dipastikan, transaksi itu tak mempengaruhi pejabat itu dalam tugas resminya.

Selain itu, ketidaktransparan transaksi ini tentu berdampak pada investor, karena akan sulit bagi mereka untuk kelola risiko, baik risiko keuangan maupun hukum dan reputasi. Tak hanya bagi Toba Bara, risiko ini jadi pertimbangan pembiayaan PLTU batubara yang terhubung dengan Toba Bara.

Luhut membantah terlibat dalam penjualan saham kepada perusahaan Singapura. Dia mengatakan,  telah menjual saham perusahaan tambang sejak sebelum menjadi menko, atau sebelum 2016. Dia menganggap laporan Global Witness hanya karangan belaka. Saat ini, kata Luhut saham dia sekitar 5-6% di Toba Bara.

Sementara Sandiaga Uno tak berkomentar apapun soal pembayaran Berau Coal kepala Velodrome.

Menanggapi laporan ini Direktorat Advokasi dan Hukum Badan Pemenangan Prabowo Sandi, Ferdinand Hutahean mengatakan, penyebarluasan informasi ini bermotif politis.

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam,  mengatakan, temuan Global Witness, mendukung temuan Jatam soal perusahaan batubara bermasalah yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Jatam meminta pemerintah menindaklanjuti temuan ini.

“Perusahaan-perusahaan yang disebutkan dalam laporan ini adalah perusahaan yang menurut catatan Jatam punya masalah lingkungan hidup dan mengancam keselamatan ruang hidup rakyat,” kata Merah.

Pemerintah,  katanya, perlu menelusuri jejak ‘uang hitam’ ini mengingat sebagian besar dana kampanye calon Presiden Prabowo berasal dari Sandiaga. Begitu juga Luhut, juga tim pendukung kampanye Joko Widodo yang tergabung dengan Tim Bravo Lima.

“Kita sebenarnya merayakan demokrasi yang menghancurkan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup,” kata Merah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Komnas HAM termasuk KPK dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA),  katanya, perlu membuka perusahaan tambang bermasalah kepada publik dan berkoordinasi dengan KPU untuk mengecek apakah penyumbang dana kampanye dari pertambangan bermasalah ini.

“Kita mempertanyakan apa manfaat pilpres kalau kandidat yang maju semua punya masalah lingkungan, tidak transparan dan diduga manipulasi untuk keuntungan dan pelarian pajak.”

Edi Sutrisno, Direktur Transparansi untuk Keadilan (TuK) menilai, baik Luhut maupun Sandi mesti memberikan keterangan kepada publik soal transaksi ini mengingat mereka pernah dan sedang menjadi pejabat publik.

“Beberapa waktu lalu saat Panama Papers dirilis hanya dibantah tidak diiringi dengan membuka data yang sebenarnya,” kata Edi.

Mestinya sebagai pejabat negara selain melaporkan harta kekayaan, sesuai Peraturan Presiden mengenai Beneficial Ownership (BO), baik Luhut maupun Sandiaga,  mesti melaporkan siapa penerima manfaat dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam transaksi perusahaan tambang batubara mereka.

Perpres BO memang tak mengatur aliran uang hingga keluar negeri, namun mereka bisa mendeklarasikan siapa saja penerima manfaat terakhir dari perusahaan itu.

“Ini tidak untuk menelisik harta orang tapi penting bagi negara untuk menghitung potensi penerimaan negara,” katanya.

Perpres ini juga hadir untuk menghindari tindakan pencucian uang.

“Begitu juga dengan Sandiaga. Saat Prabowo mengatakan,  ada potensi uang kita di luar negeri hingga Rp11 triliun, harusnya Sandi juga menyampaikan berapa besar uang dia di luar negeri.”

Kalau Luhut maupun Sandi,  mau membuka ke publik, akan jadi contoh bagi rakyat dan pebisnis lain. “Bisa jadi ini tidak hanya terjadi di batubara tapi sawit juga?”

Exit mobile version