Mongabay.co.id

Satu Peta Belum Masukkan Wilayah Adat, Bagaimana Hutan buat Reforma Agraria?

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat, sampai 3 April 2019, sudah ada 814 peta wilayah adat dengan sekitar 10,24 juta hektar.  Ia berasal dari 26 provinsi, 107 kabupaten dan kota. Sejak 2012, BRWA berkala menyampaikan perkembangan data peta partisipatif wilayah adat kepada pemerintah. Sayangnya, hingga kini, dalam kebijakan satu peta atau one map policy, belum masuk peta tematik wilayah adat.

Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan, region Kalimantan terluas memiliki peta wiayah adat terdaftar, sekitar 4,48 juta hektar, disusul Papua 2,33 juta hektar, Sumatera 1,69 juta hektar dan Sulawesi 1,34 juta hektar.

Dari proses registrasi dan verifikasi peta BRWA, katanya, ada klasifikasi status tercatat 33 peta dengan luasan sekitar 1,31 juta hektar dan  teregistrasi 653 peta seluas 6,05 juta hektar.

Baca juga: Menanti Peta Wilayat Adat Masuk Kebijakan Satu Peta

Peta terverifikasi, kata Kasmita, ada 110 peta seluas 2,43 juta hektar, yang mendapat piagam atau sertifikat BRWA sekitar 436.788,42 hektar,  terdiri dari 18 peta wilayah adat.   PadaApril ini, katanya, BRWA kembali membahas 11 peta-peta wilayah adat yang masuk tahap sertifikasi.

Dia bilang, BRWA hadapi hambatan dalam kelanjutan verifikasi wilayah adat berupa kelengkapan data dan informasi, bukti atau catatan kesepakatan batas-batas wilayah adat.

BRWA, katanya, mencatat perkembangan pembentukan kebijakan daerah yang mengatur pengakuan atau penetapan masyarakat adat, dan mencermati kebijakan satu peta.

Baca juga:   Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

Dari 10,24 juta peta wilayah adat terdaftar di BRWA, katanya, ada 21%  atau sekitar 2,36 juta hektar pada kabupaten atau kota yang memiliki kebijakan daerah baik berupa peraturan daerah maupun SK bupati. “Ini yang bersifat pengaturan atau tata cara pengakuan masyarakat adat,” katanya kepada Mongabay, pekan lalu.

Sekitar 8% atau 1,39 juta hektar peta wilayah adat sudah ada penetapan pengakuan melalui perda atau surat keputusan kepala daerah.  Lalu, ada 71% atau 6,48 juta hektar belum ada pengakuan melalui perda ataupun surat keputusan kepala daerah.

Sedang kebijakan pusat, katanya, guna percepatan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Permendagri No.52/2014 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.

Baca juga:   Mengupas Borok Agraria, Akankah Temukan Obatnya?

Pada April 2018, katanya, juga keluar edaran Menteri Dalam Negeri untuk kepala daerah baik gubernur, bupati dan walikota agar segera membentuk panitia masyarakat hukum adat dan penetapan pengakuan serta melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri.

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

Sayangnya, kata Kasmita, sampai geoportal kebijakan satu peta rilis belum ada satu peta wilayah adat terkompilasi di sana.

“Padahal, BRWA telah menyampaikan reguler data perkembangan pengakuan wilayah adat kepada pemerintah, termasuk Kemendagri pada Peringatan HariMasyarakat Adat Sedunia Agustus 2018 di Jakarta,” katanya.

Integrasikan wilayah adat dalamSatu Peta

Pemerintah sudah mengeluarkan Perpres No.9/2016 soal pelaksanaan kebijakan satu peta.  Kebijakan ini, antara lain bertujuan, menyusun perencanaan pembangunan berbasis data spasial yang tak menimbulkan konflik dan tumpang tindih pemanfaatan lahan.

Akhir 2018, geoportal Satu Peta sudah rilis dengan belum memasukkan peta tematik batas desa dan peta wilayah adat. Pemerintah, katanya,  mengakui itu,  dari 85 peta tematik ada dua belum terkompilasi dalam geoportal.

BRWA pun, katanya, sudah memberikan kritikan sekaligus menyampaikan data perkembangan pengakuan wilayah adat kepada Sekretariat Kebijakan Satu Peta saat diskusi fokus kebijakan satu peta di KSP, tak lama setelah geoportal meluncur.

Baca juga: Kementerian Agraria Mulai Distribusikan Lahan Bekas HGU

BRWA, katanya,  mencatat ada sekitar1,39 juta hektar peta wilayah adat sudah ada pengakuan pemerintah daerah. MerujukPerpres No.9/2016, Kemendagri memiliki mandat mengkompilasi dan menyampaikan kepada Sekretariat Kebijakan Satu Peta, di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Dia menegaskan, pemerintah harus segera mengkompilasi dan mengintegrasikan peta wilayah adat dana kebijakan satu peta.

“Salah satu tujuan kebijakan satu peta untuk selesaikan konflik. Dari overlay peta wilayah adat dengan kawasan hutan, sekitar 7,59 juta hektar berada di kawasan hutan. Peta wilayah adat jugaoverlap dengan perizinan sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan,” katanya seraya bilang, kawasan hutandan perizinan di wilayah adat selama ini jadi persoalan dan konflik agraria.

Dia menyarankan, sinergi aktif kemendagri dan lembaga pemerintah lain maupun pemerintah daerah suatu keniscayaan guna mempercepat pengakuan masyarakat adat, wilayah adat dan hutan adat juga integrasi peta adat dalam kebijakan satu peta.

Menurut Kasmita,  peran Kantor Staf Presiden dan Kemenko Perekonomian penting dalam pencapaian program yang sudah jadi komitmen Presiden Joko Widodo ini.

Sumber grafis: BRWA

Apa kabar perkembangan hutan adat?

Pada Januari 2018,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengadakan rapat koordinasi nasional (rakornas) hutan adat. Dari sana, teridentifikasi sekitar 6,1 juta hektar potensi hutan adat. Luasan potensi hutan adat ini, katanya, hasil overlay peta wilayah adat terdaftar di BRWA dengan peta kawasan hutan.

Saat ini, dari perkembangan data registrasi dan verifikasi peta wilayahadat di BRWA, katanya,  ada penambahan luasan potensi hutan adat sampai 7,59 juta hektar. Kalau melihat wilayah adat di kabupaten dan kota yang menerbitkan peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat adat, katanya, tak kurang 2,08 juta hektar potensi hutan adat.

Dari wilayah adat yang sudah ditetapkan pemerintah daerah, kata Kasmita,  ada 832.902,36 hektar potensi hutan adat.  “Yang terakhir ini seyogyanya jadi areal prioritas KLHK untuk proses penetapan hutan adat. Yang sudah ada peraturandaerah dapat dicadangkan sebagai potensi hutan adat, sampai ada penetapan pengakuan masyarakat hukum adat oleh pemerintah daerah.”

Sampai akhir Maret 2019, KLHK baru menetapkan 35 hutan adat, seluas 28.286,34 hektar. Penetapan yang minim ini, katanya, tak lepas dari pemenuhan salah satu syarat pengakuan hutan adat yang sulit, yaitu,  Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat oleh pemerintah daerah.

“Pengajuan usulan pengakuan hutan adat juga masih terkendala kalau hutan adatyang diusulkan pada kawasan hutan yang sudah dibebani izin atau kawasan konservasi, seperti taman nasional, suaka margasatwa dan cagar alam,” kata Kasmita.

Padahal, katanya,  dari hasil overlay peta wilayah adat dan kawasan konservasi oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE), lebih dari 1,7 juta hektar wilayah adat di kawasan konservasi.

Mengenai hal ini, katanya, Ditjen KSDAE juga sudah menerbitkan Peraturan Dirjen KSDAE Nomor P6/2018 soal petunjuk teknis kemitraan konservasi. Ada juga,katanya, beberapa taman nasional jadi role model pengelolaan, seperti Taman Nasional Kayan Mentrang melalui pendekatan pengelolaan kolaboratif  antara masyarakat adat, pemerintah daerah dan Balai TNKM.

Di taman Nasional Lore Lindu dan taman Nasional Bukit Duabelas, katanya,  konsep zonasi juga mengadopsi tata guna lahan masyarakat adat untuk masuk zona tradisional taman nasional.

Kebijakan ini, katanya, memang belum menyentuh tuntutan pengakuan hak masyarakat adat, yaitu pengembalian hutan adat dari hutan negara kepada masyarakat adat. “Karena kemitraan konservasi ini salah satu model kerjasama pengelolaan kawasan konservasi,  bukanpengakuan hak dalam bentuk hutan adat,” kata Kasmita.

Baik penetapan hutan adat maupun kemitraan konservasi, kata Kasmita, penting dikerjakan KLHK. “Bukan menghentikan atau mengeluarkan usulan hutan adat dari kawasan konservasi, seperti di hutan adat Marena, Sigi, Sulawesi Tengah.”

Pembukaan lahan untuk kebun sawit yang berkonflik dengan Komunitas Adat Laman Kinipan di Lamandau. Kinipan, perlu pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Bagaimana hutan buat reforma agraria?

Sementara itu, soal redistribusi lahan dari kawasan hutan, buat tanah obyek reforma agraria (tora) KLHK menyiapkan 2,4 juta hektar. Target yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional 2015-2019 seluas 4,1 juta hektar untuk redistribusi lahan.

”Subyek penerima ini penting, harus tepat sasaran. Siapa yang berhak menerima, jangan sampai salah sasaran,” kata Sigit Hardwinarto, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, di Jakarta, pekan lalu.

Dia bilang, proses tora ini bertahap dan prinsip kehati-hatian hingga terkesan lamban. Melalui skema ini, katanya, pemerintah hendak mengentaskan kemiskinan wargadi dalam maupun sekitar kawasan hutan. Penerima lahan pun, katanya, perlu jelas betul.

Proses distribusi tora, katanya, melalui dua jalur. Pertama, alokasi dari penguasaan tanah oleh masyarakat di kawasan hutan– termasuk kategori inventarisasi dan verifikasi (inver) penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PTKH)– melalui tim inver. Kedua, non inver PTKH melalui tim terpadu.

Untuk tim inver, katanya, antara lain, permukiman transmigrasi beserta fasilitas sosial dan fasilitas umum yang telah memperoleh persetujuan prinsip, permukiman beserta fasos dan fasum. Juga, lahan garapan berupa sawah dan tambakrakyat, dan pertanian lahan kering yang jadi sumber pencaharian utama masyarakat setempat.

Dia bilang, hasil kategori inver PTKH seluas 993.199 hektar sudah diserahkan kepada gubernur.

Rinciannya, permukiman transmigrasi beserta fasos dan fasum 328.954 hektar.Untuk ini, katanya, sudah terbit 50 surat keputusan transmigrasi pada 269 lokasipada 78 kabupaten di 23 provinsi seluas 264.578 hektar.

Selain itu, katanya, sedang berjalan inventarisasi dan verifikasi di daeraholeh tim inver seluas 64.376 hektar. Lalu, permukiman, fasos dan fasum seluas416.227 hektar, realisasi dari penataan batas kawasan hutan pada 21 provinsi seluas 307.516 hektar dan sedang inventarisasi dan verifikasi di daerah oleh tim inver seluas 108.711 hektar.

Kemudian, lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat seluas 64.310 hektar, dan pertanian lahan kering yang jadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat seluas 183.709 hektar.

Proses pelepasan kawasan hutan, pendistribusian lahan hingga jadisertifikasi dan penyerahan kepada masyarakat, katanya,  melalui tahapan cukup panjang. Pasalnya, kata Sigit, proses ini melibatkan kementerian atau lembaga, dari pemerintah daerah,Kementerian Perekonomian, KLHK, Kemendagri dan Kementerian Agraria dan TataRuang/BPN.

Sedangkan tim inver, katanya, proses juga panjang,  setelah gubernur menerima luasan itu, lalu merekomendasikan kajian kepada Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Percepatan PPTKH. KLHK, katanya, akan analisis rekomendasi gubernur dan memberikan persetujuan. Hasil persetujuan tim percepatan PPTKH kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Selanjutnya, Menteri LHK menyampaikan hasil persetujuan kepada gubernur,bupati, walikota  atau tim inver PTKH.Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), katanya, tata batas dan hasil akan ditetapkan Menteri LHK. Terakhir, Kementerian ATR/BPN menindaklanjuti dengan sertifikasi.

Sigit menyadari,  mekanisme sangat panjang dan rumit dengan tujuan agar tak melanggar dan sikronisasi dengan regulasi yang ada.

Perkembangan tim inver, kata Sigit, sudah ada surat keputusan gurbernur pada 26 provinsi, yakni Aceh, Riau, Sumatera Utara,  Sumatera Barat, Jambi, Kepulauan Riau,Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Kemudian,Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur,Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Utara,Nusa Tenggara Barat dan Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, serta Papua.

Lalu, ada 19 provinsi sudah membuat rekomendasi gubernur soal PPTKH pada 116 kabupaten seluas 352.985 hektar. Ada 14 provinsi dengan 74 kabupaten, seluas 180.013 hektar sudah mendapat pertimbangan persetujuan tim percepatan PPTKH.

Sumber grafis: BRWA

Untuk proses distribusi tora melalui kategori non inver PPTKH seluas1.407.466 hektar, diperoleh dari tiga kriteria. Pertama, alokasi tora dari 20% pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan (429.358 hektar) terbit 195 SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan pada 14 provinsi. Di sana, ada kewajiban perusahaan mengalokasikan 20% untuk kebun masyarakat.

Kedua, dari hutan produksi konversi (HPK) tak produktif  seluas 938.879 hektar di 20 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara. Juga Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.

Ketiga, program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru seluas 39.229 hektar tersebar di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Papua.

Menurut Sigit, subyek penerima tora kawasan hutan, antara lain, perorangan,kelompok masyarakat  dengan kepemilikan bersama, badan hukum atau badan sosial maupun keagamaan, instansi dan masyarakat adat.

KLHK, kata Sigit, sudah menyusun pelaksanaan arahan kebijakan presiden soal permukiman di kawasan hutan dan areal hak guna usaha.

Untuk penyelesaian permukiman di kawasan hutan dan konsesi, katanya, KLHKbikin tiga skema. Pertama, penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH) sesuai Perpres No. 88/2017 pada provinsi dengan kawasan hutan lebih 30%. Kedua, tukar menukar kawasan hutan apabila memiliki dan memohon titel hak atas areal. Ketiga, pemberian izin penggunaan kawasan atau izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

“Kalau masuk kawasan konservasi dapat dengan kerjasama dalam zona tradisional atau pemindahan. Jika dalam konsesi bisa melalui perubahan rencana usaha.”

Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK, mengatakan, berdasarkan perpres tak seluruh hasil inver dan non inver menjadi tora. Sebagian, katanya, ada buat perhutanan sosial sesuai kebutuhan masyarakat.

Di kawasan lindung, katanya,  bisa bentukskema hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Untuk hutan produksi,  bisa jadi HkM, hutan desa dan hutan tanaman rakyat.

“Akhirnya,  semua upaya ini menuju kepastian kawasan hutan, kepastian hukum bagi pengelola, dunia usaha, BUMN dan masyarakat”

Di menambahkan, sudah adendum 13 pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, dan Jambi seluas 51.149 hektar.

Keterangan foto utama: Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Sumber grafis: BRWA

 

Exit mobile version