Mongabay.co.id

Bagaimana Isu Lingkungan dalam Pemilu 2019? Begini Hasil Riset CSIS

Sungai Citarum bertabur sampah di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terpantau beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Gelaran pemilu sudah di depan mata. Pada 17 April, masyarakat Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif bersamaan. Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pekan lalu, menyebutkan,  dalam visi misi partai sangat minim menyebutkan soal lingkungan. Dalam visi misi capres, menyebutkan soal isu lingkungan dan perubahan iklim. Sementara, dalam menentukan pilihan, masyarakat cenderung tak jadikan isu lingkungan hidup sebagai alasan memilih partai politik maupun pasangan capres-cawapres.

Puspa Delima Amri, peneliti CSIS mengatakan, masalah kerusakan lingkungan makin jadi topik penting di Indonesia, terutama sejak isu kebakaran hutan 2015-2016. Pemerintah saat ini, katanya, juga berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29-41% pada 2030.

Berbagai kebijakan sudah dikeluarkan pemerintah, seperti moratorium izin baru di hutan primer dan gambut, dan moratorium izin sawit dan lain-lain. Sayangnya, berbagai isu ini belum jadi titik utama masyarakat dalam menentukan pilihan.

CSIS, katanya, juga mempelajari persepsi masyarakat terhadap isu-isu sosial dan ekonomi dan lingkungan di level nasional. Melalui survei ini, mereka mempelajari korelasi antara pentingnya isu-isu lingkungan dan preferensi politik masyarakat pada pemilu 2019.

“Juga mempelajari bagaimana pelaku politik di Indonesia framing terhadap masalah lingkungan, sebagaimana tercermin dalam visi-misi dan wawancara dengan pelaku parpol,” katanya. 

Kali Sentiong, juga dikenal Kali Item, dengan air hitam dan bau. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

Survei pada 34 propinsi dengan kuesioner terstruktur. Responden diwawancarai ada 1.960 orang, terdiri dari Jakarta (80), Jawa Barat-Banten (420), Jawa Tengah-Yogyakarta (310), Jawa Timur (320), Sumatera (389), Kalimantan (130), Sulawesi (140), NTB-NTT-Bali (101), dan Maluku-Papua (70).

Selain itu, CSIS juga, menganalisa dokumen visi-misi parpol dan capres-cawapres. Guna mempertajam survei, mereka juga wawancara mendalam dengan pengurus beberapa partai politik, menanyakan   bagaimana pelaku politik menentukan isu-isu yang akan diangkat dalam kampanye politik.

“Berdasarkan desk studies dan in-depth interview dengan beberapa pengurus partai politik, hanya satu partai spesifik menyebutkan,  kata ‘lingkungan’ dalam  dokumen visi dan misi, yaitu Partai Solidaritas Indonesia,” katanya.

Pada hampir semua partai yang ikut dalam kontestasi 2019, katanya, visi dan misi partai memiliki titik berat pada ekonomi, sejahtera dan adil, stabilitas politik dan demokrasi, serta pendidikan dan kesehatan.

Puspa mengatakan, sedikit sekali partai yang spesifik menyebut lingkungan hidup sebagai satu isu utuh. Isu lingkungan dalam visi misi partai politik cenderung menempel pada isu ekonomi. Biasanya, mereka menyebut kalimat membangun  sistem perekonomian nasional berkeadilan, berwawasan lingkungan dan berorientasi pada penguatan ekonomi kerakyatan dengan memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam secara tepat guna dan berdaya guna. Juga membuka kesempatan berusaha dan lapangan kerja yang seluas-luasnya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.

Dalam dokumen visi misi kedua paslon capres-cawapres, paslon 01 menuliskan visi untuk mencapai  lingkungan hidup berkelanjutan. Dengan misi yang disertakan antara lain, mengenai pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mtigasi perubahan iklim, serta penegakan hukumdan rehabilitasi lingkungan hidup.

Untuk paslon 02, dalam visi menyebut,  kalimat membangun perekonomian nasional adil, makmur, berwawasan lingkunganmelalui jalan politik-ekonomi sesuai amanat konstitusi. Untuk misi, ditulis akan berperan aktif mengatasi perubahan iklim global sesuai kondisi Indonesia,memberikan hukuman seberat-seberatnyabagi pemilik perusahaan yang terlibat pembalakan liar, kebakaran hutan dan pembunuhan hewan langka dilindungi.

“Aspek pencegahan, penegakan hukum dan rehabilitasi lingkunganmerupakan fokus penekanan kedua paslon dalam bidang lingkungan hidup.”

Paslon 01, katanya,  berkomitmen melanjutkan program strategis Jokowi-JK seperti Kebijakan Satu Petauntuk menghindari tumpang tindih penggunaan ruang dan bagian dari reforma agraria. Juga pengembangan energi terbarukan.

Bagaimana perserpsi masyarakat melihat dokumen visi misi parpol dan kedua paslon? Hasil survei CSIS menunjukkan, 41.02% responden menyatakan pernah mendengar visi-misi capres-cawapres dalam bidang pelestarian dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Dari persentase itu, 76.37% mengatakan paham tentang visi-misi itu.

Untuk visi misi parpol,  22. 86% menyatakan pernah mendengar visi misi bidang lingkungan. Dari persentase itu, 79.69% mengatakan paham tentang visi-misi di bidang itu.

“Saat kami menanyakan kepada pengurus parpol mengapa isu lingkungan tak menarik dalam kampanye, kata mereka, isu lingkungan bukan diminati para pemilih. Isu ini juga dianggap sulit dikapitalisasi.”

 Secara strategis, katanya,  kandidat politik sulit mengangkat isu lingkungan karena mendapatkan kontribusi dari pelaku ekonomi yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. “Isu ini dianggap sebagai isu masyarakat kelas atas berpenghasilan dan berpendidikan tinggi,” katanya

Menurut Puspa, pada level nasional, dibandingkan isu-isu ekonomi dan pelayanan sosial, isu-isu lingkungan hidup tak dianggap penting. Ketika mereka bertanya kepada responden apa masalah paling utama mereka, jawabannya, harga sembako 23,67%, kemiskinan 19,29%, lapangan pekerjaan 14,74%, pelayanan dan biaya kesehatan 10,26%, korupsi 7,55%. Lalu, ketimpangan pendapatan 7,04%, daya beli  rendah 5,36%, pendidikan 4,29%. Yang menjawab soal kerusakan lingkungan hanya 1,63%, yang tak tahu atau tak menjawab 1,02%.

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Kala ditanya program pemerintah nasional paling penting, jawaban responden menunjukan program bantuan sosial 35,51%, infrastruktur 18,32%,  Bantuan langsung tunai (BLT) 11,22%, subsidi listrik dan BBM 10,51%, dana desa 9,95%, program pemudahan akses 5,41%. Lalu, program padat karya 3,62%, pembagian sertifikat tanah 1,99%.

Hanya 1,94%, menjawab program pelestarian lingkungan dan jawab tak tahu 1,53%.

Bagi responden yang mengatakan, isu lingkungan utama di Jakarta, malah 0%, Jawa Barat-Banten 21,88%, Jawa Tengah-Yogyakarta 15,63%, Jawa Timur 21,88%, Sumatera 12,50%, Kalimantan 12,50%, Sulawesi 3,13%, NTB, NTT, Bali 3,13%, Maluku-Papua 9,38%.

Untuk pekerjaan responden yang mengatakan masalah lingkungan sebagai isu utama: wirausaha 15,63%, ibu rumah tangga 25%, petani dan nelayan 12,5%, pegawai swasta 18,75%, sedang tak bekerja 6,25%, dan pekerjaan lain 21,88%.

Berdasarkan tingkat pendidikan, yang tamat pendidikan tinggi 12%, SD 28%, SMP 16%, dan SMA 44%.

Yose Rizal Damuri, juga peneliti CSIS mengatakan, temuan menarik juga terlihat dari responden yang mengatakan, komitmen lingkungan hidup sebagai alasan memilih capres-cawapres. Dari seluruh responden, hanya 1% memilih  komitmen mencegah kerusakan lingkungan hidup sebagai faktor paling penting dalam memilih capres. Dari jumlah itu, proporsi yang memilih presiden petahana 63,16%, yang akan memilih capres oposisi 15,79%. Di antara  responden yang memilih komitmen mencegah kerusakan lingkungan sebagai faktor paling penting dalam memilih capres, proporsi akan memilih PDIP 38.84%.

Ilustrasi. Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

Saat ditanyakan, bagaimana penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam program pelestarian alam dan lingkungan hidup? Responden yang menyatakan berhasil 57,19%, kurang berhasil 33,98%, tak berhasil sama sekali 4,03%, tidak tahu 4,80%. Dari angka itu, 71,06% menyatakan akan memilih presiden petahana,  23,73% pilih capres oposisi. Sisanya, tak tahu atau belum menentukan pilihan.

“Di tingkat nasional, isu-isu lingkungan hidup tak dianggap penting jika dibandingkan isu ekonomi.  Ada gap antara diskursus isu lingkungan di hidup di tingkat teknokratis dan di level masyarakat.  Ada korelasi positif, tetapi lemah, antara persepsi terhadap pentingnya isu lingkungan dan kinerja pemerintah di bidang lingkungan hidup dan preferensi politik, tetapi belum tentu kausalitas,” katanya.

“Tantangannya, bagaimana menurunkan gap ini dengan melibatkan semua stakeholder.”

Menanggapi ini, peneliti World Resourse Institute (WRI) Sonny Mumbunan mengapresiasi riset CSIS. Kajian ini, katanya, merupakan sebuah eksplorasi awal hubungan antara persepsi terhadap isu lingkungan dengan  preferensi politik di Indonesia. Sangat relevan untuk memahami fenomena kebijakan publik yang bersifat strategis, misal, terkait ekonomi sawit.

“Tapi temuan bahwa isu lingkungan, bukan isu yang diminati voters jadi problematis dari segi metode survei persepsi.”

Selain itu, ukuran sampling juga masih kurang, misal, untuk keseluruhan Sumatera hanya 389 responden. Distribusi responden potensial tak merata dan acak, atau distribusi representasi setiap isu tak mencukupi. Sampel terdampak isu lingkungan di Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, hanya 12% dan asap akibat kebakaran hutan hanya 4,6% di Sumatera.

Pengalaman pribadi respondenseperti ini potensial mengindikasikan distribusi responden danatau formulasi isu yang problematis,” katanya.

Keterangan foto utama: Sungai Citarum bertabur sampah di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terpantau beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Mencegah kebakaran dengan melestarikan hutan. Foto: Suryanto/Juara 2 Pers DETaK 2018
Exit mobile version