Mongabay.co.id

Ketika Hutan Gambut di Kotawaringin Barat Itu Berganti Sawit

Sawit yang sudah tumbuh besar di Jalan Pangkalan Bun - Kotawaringin Laman, Kilometer 10. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sejak nol kilometer dari Jembatan Sungai Arut, Pangkalan Bun, hingga ke Kolometer 40, ke Daerah Aliran Sungai Lamandau, Kalimantan Tengah, merupakan hamparan gambut. Makin mendekat ke Sungai Lamandau, masih tampak tegakan pepohonan hutan hujan tropis di sana. Kawasan ini, jadi satu hamparan dengan Danau Masoraian. Saya datang ke Jalan Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama, dua kali, 22 dan 28 Maret 2019.

Sebelum kilometer 20-an, kanan-kiri jalan sekitar lebih satu kilometer, tegakan pohon sudah tak tampak. Tanaman sawit, justru dominan di sepanjang jalan yang dibuka awal 2000-an itu. Di beberapa tempat yang belum jadi sawit, hanya tumbuhan pakis (kelakai, kata orang Pangkalan Bun). Kanan kiri jalan, kavling-kavling lahan, dengan parit kecil ataupun besar.

Baca juga: Rawan Terbakar, Penyelamatan Gambut Harus Terus Dilakukan

Pada kilometer 15, lokasi Save Our Borneo (SOB) dan Walhi Kalimantan Tengah, temukan pembukaan lahan gambut dengan alat berat secara luas. Kini, tak ada aktivitas pembukaan lahan lagi. Plang kelompok tani sudah tak terlihat. Hanya tampak bongkar muat bibit sawit dari truk di tepi jalan, tak jauh dari sana, Kamis siang (28/3/19).

Ceritanya, pada Januari-Februari 2018, terjadi kebakaran lahan di Jalan Trans Pangkalan Bun kilometer 15 Kotawaringin Lama, Kelurahan Mendawai Seberang, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalteng.

Awal Oktober 2018, Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) Safrudin Mahendra meninjau lokasi itu. Dia menemukan, eksavator kuning merek Caterpillar bernomor SUJ 107 sedang beroperasi oleh beberapa pekerja. Ia membuka lahan, menebang pohon-pohon yang ada.

“Pembukaan lahan itu untuk perkebunan sawit. Saat kami verifikasi lapangan, terlihat beberapa orang sedang menurunkan bibit sawit,” kata Udin, sapaan akrabnya, di Jakarta, Januari lalu.

Baca juga: Cerita Redupnya Kejayaan Kopi Lahan Gambut Desa Gandang Barat

Dia juga menemukan, pembuatan kanal utama tiga jalur sepanjang dua kilometer. Juga ada 109 kanal sekunder sepanjang rata-rata 100 meter. Pembukaan gambut sudah seluas 34 hektar.

Berdasarkan konfirmasi kepada pekerja di sana, rencana pembukaan lahan 15.000 hektar. “Pekerja mengatakan, ini memang oleh perusahaan. Di sana ada plang yang menunjukkan itu untuk kelompok tani.”

Setiap minggu, katanya, mereka ke Pangkalan Bun, membawa gaji dan biaya operasional. “Kami masih terus menyelidiki dan belum berani menyebut nama perusahaan itu,” katanya.

Dia lalu overlay titik koordinat kawasan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 529/Menht-II/2012. Hasilnya, lokasi itu berada di kawasan hutan produksi. Kala dibandingkan lagi dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 130/2017 tentang penetapan peta fungsi ekosistem gambut nasional, lokasi itu berada di kawasan hidrologis gambut (KHG) Sungai Lamandau-Sungai Arut. Sekitar 28 hektar masuk gambut fungsi lindung, dan enam hektar kawasan budidaya.

Berdasarkan peta distribusi orangutan 2016, tentang sebaran orangutan Kalimantan, lokasi itu salah satu habitat orangutan Kalimantan.

“Saat kami verifikasi lapangan, ditemukan satu sarang orangutan,” katanya.

Udin juga melihat eksavator yang beroperasi itu tenggelam. Ia mengkonfirmasi, lahan itu gambut kedalaman lebih tiga meter.

Dia konfirmasi ke Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah.

“BKSDA bersama mitra sejak 2015-2017 menyelamatkan dan translokasi 11 orang Kalimantan. Menurut cerita kelompok tani di sana, memang ditemukan banyak orangutan. Sering keluar masuk kawasan,” katanya.

 

Kanal di blok kebun sawit Jalan Pangkalan Bun – Kotawaringin Lama, kilometer 15. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Pembukaan lahan gambut itu mengatasnamakan kelompok tani sekitar. Kalau melihat metode pakai alat berat dan luasan terbuka, dia menduga dilakukan perusahaan.

“Kelompok tani membuka lahan sebegitu luas dengan gunakan eskavator. Melihat pembukaan itu, rapi terencana. Dugaan kami, ini oleh perusahaan,” katanya, seraya bilang belum bisa memastikan nama perusahaan dan masih menyelidiki.

Sebelum pembukaan lahan, kawasan itu tutupan masih bagus. Warga sekitar juga sering masuk ke untuk mengambil getah jelutung.

“Kami memberikan rekomendasi ke KLHk, sampai sekarang belum ada tindak lanjut apapun.”

Dia mendesak Dirjen Penegakan Hukum KLHK dan kepolisian segera bertindak. Sekaligus mengungkap perusahaan di balik kegiatan itu.”

Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, mengatakan, setelah peristiwa kebakaran hebat 2015, pemerintah sudah menunjukan komitmen memulihkan ekosistem gambut. Salah satu, dengan membentuk BRG. Dengan peristiwa, katanya, menunjjukan oknum korporasi masih terus berupaya membuka lahan gambut guna pembangunan kebun sawit.

Kalau perbuatan macam ini lanjut, katanya, bukan mustahil akan terjadi di tempat lain. Aksi mereka, katanya, merusak bentang alam Kalteng yang sudah sedemikian rusak.

Dari catatan dia, di Kalteng, terjadi pembukaan lahan 15,4 juta hektar, 78% dikuasai korporasi.

Wahyu Perdana, pengkampanye Ekosistem Esensial Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, hasil verifikasi sudah jelas menunjukkan dugaan tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup.

Eko Novi, Kepala Sub-Kelompok Kerja Bagian Resolusi Konflik dan Pengaduan BRG saat dikonformasi melalui sambungan seluler mengatakan, sudah verifikasi langsung ke lapangan. Dia juga mengkonfirmasi SOB dan Walhi. Hanya, katanya, karena keterbatasan kewenangan, BRG sejauh ini sudah melaporkan kepada KLHK.

“Kami tak memiliki kewenangan penindakan. Kami memohon ini segera ditindaklanjuti sesuai aturan. Surat kami kirimkan kepada Dirjen Penegakan Hukum KLHK Desember lalu. Kita juga kirim surat kepada Dinas Kehutanan Kalteng melalui KPH setempat.”

Dia bilang belum memantau lagi karena akses ke sana lagi banjir. Informasi terakhir alat berat sudah keluar. “Tindak lanjut dari KLHK kemungkinan sudah ada. Cuma seberapa jauh, saya belum tahu. Harapannya ini segera dihentikan.”

 

 

Usul perhutanan sosial buat sawit?

Kejadian di kilometer 15 jalur Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama, itu bukan tanpa sepengetahuan Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (UTP KPHP) Kotawaringin Barat.

“Di sana jauh sebelum kami ada, mereka sudah beraktivitas di kanan-kiri jalan itu,” kata I Gede Data, Kasi Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) dan Pemberdayaan Masyarakat, UTP KPHP Kotawaringin Barat, di kantornya di Pangkalan Bun, Kamis (21/3/19).

Gede pernah menyarankan masyarakat mengajukan skema perhutanan sosial untuk memperoleh legalitas penguasaan lahan. Masyarakat, katanya, mengajukan sekitar 3.000-an hektar. “Kami dari KPHP pernah menyosialisasikan. Mereka sudah mengurus tetapi ditolak kementerian,” katanya.

Sigit Wibisono, Kasi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan, mengatakan, penolakan itu karena kawasan masuk dalam peta indikasi penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Fakta lapangan akses terbuka, hingga masyarakat bisa masuk lokasi itu.

“Asumsi kami tetap perhutanan sosial karena itu aturan ada. Ternyata masuk peta indikatif gambut.”

 

Kebakaran lahan di Jalan Pangkalan Bun – Kotawaringin Lama, Kilometer 10 pada Jumat 22 Maret 2019. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Dia menduga, dari kementerian belum tahu kondisi lapangan “(melihat) sepanjang jalan sudah ada penguasa semua.”

Masalah ini, kata Gede, membuat mereka serba salah, dan berharap ada solusi pemerintah untuk masyarakat. “Solusinya harus ada. Kami sebagai pengelola bingung juga. Kalau kami biarkan, dianggap pembiaran. Padahal mereka sudah beraktivitas. Kita mau larang, enggak bisa beri solusi juga,” katanya.

Dia juga meminta solusi kepada Badan Restorasi Gambut. “Harusnya mengasih solusi juga. Apa kira-kira yang cocok di lokasi gambut,” kata Sigit.

Sunarto, Kepala UPT KPHP Kotawaringin Barat, menyayangkan penolakan itu. “Mestinya pusat koordinasi dulu dengan kita. Itu kan kita ngasih solusi. Terus terang, dulu sempat terjadi pembukaan seperti itu, jadi kami memberikan program perhutanan sosial, akhirnya mereka (masyarakat) setuju,” katanya.

Sebenarnya, kata Sunarto, perhutanan sosial bisa jadi solusi mencegah perambahan hutan lebih dalam. Sebelumnya, mereka sudah mencoba menghentikan pembukaan lahan itu lalu menawarkan program perhutanan sosial. “Mau membuka untuk sawit mungkin awalnya. Kita hentikan.”

Nah, sekarang solusinya apa kalau sudah seperti itu? Kalau mereka merambah lagi, tidak kuat (mencegah). Dia (akan) ngomong gampang, kehutanan menolak kami. Kami sudah bermohon,” kata Sunarto.

 

Masih dalam penyelidikan

UPT KPHP Kotawaringin Barat, mengaku, sudah dimintai keterangan oleh Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup Wilayah Kehutanan Kalimantan, Seksi Wilayah I Palangka Raya. Irmansyah, Kepala Gakkum Seksi Wilayah I Palangka Raya, mengatakan, laporan SOB masih masih proses penyelidikan.

“Kalau penggunaan kawasan ini agak njlimet. Beberapa saksi sudah kami minta keterangan. Kami masih mencari keterangan kenapa masyarakat membuka areal di situ?” katanya via Whatsapp, Kamis (4/4/19).

Status jalan yang menuju Kotawaringin Lama itu, katanya, justru membelah hutan produksi. “Ini juga pertimbangan dari ketahanan negara dan aksesibilitas masyarakat,” katanya.

“Kami juga menunggu ahli dari BRG tentang lokasi itu sebagai apa. Kalau dikatakan gambut, yang buka ini masyarakat, bukan korporasi. Ada pengakuan hak garap.”

Soal dugaan ada perusahaan di belakang kelompok tani, seperti disampaikan SOB, Irmansyah belum menemukan. “Masih jauh. Kan pengelolaan masih di kelompok tani. Kami belum sampai.”

Jalan Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama, yang melintasi hutan produksi itu dibuka sejak 2000-an. Setelah jalan dibuka, tampak ada penguasaan lahan oleh masyarakat di kanan-kirinya, bukan hanya di sekitar kilometer 15, seperti dilaporkan SOB dan Walhi.

Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum KLHK saat ditemui Mongabay mengatakan, sudah menerima laporan dari BRG. Tim dari Gakkum KLHK sudah memeriksa dan investigasi ke lapangan serta terus mendalami kasus itu.

Roy, sapaan akrabnya, mengatakan, sekarang pembukaan lahan sudah berhenti. Meski begitu, proses penyelidikan kasus itu terus jalan. Dia mengakui, memang terjadi pembukaan lahan seluas 47 hektar untuk perkebunan sawit dan tak memiliki izin.

“Dilakukan kelompok masyarakat. Sedang kita dalami bagaimana keterlibatan para pihak. Di sana tak ada izin. Kita belum tahu apakah ini akan kita tangani sendiri, atau dilimpahkan ke kepolisian. Penyelidikan masih terus berlangsung.”

Lurah Raja Seberang, Alimin, yang wilayah di kawasan itu mengatakan, ada beberapa kelompok tani terdaftar. Dia tak hapal jumlahnya. “Yang terdata ada lima. Ada beberapa yang lain, cuma belum tahu legalitasnya. Yang lima itu terdata di PPL (penyuluh pertanian lapangan-red),” katanya, Selasa (26/3/19).

Masyarakat, katanya, tahu kalau kawasan itu hutan produksi karena mereka memperoleh surat keterangan penggarapan. “Di beberapa surat keterangan penggarapan, dijelaskan itu hutan produksi, suatu saat bisa diambil alih,” katanya.

Di Kelurahan Mendawai Seberang, setidaknya ada 20-an kelompok tani membuka hutan di kawasan itu.

Fahliansyah, Lurah Mendawai Seberang menyebut, ada tiga sudah berbadan hukum. Untuk data pasti, dia harus cek lagi. “Saya baru satu setengah bulan. Cuma yang saya cari-cari informasinya sekitar dua puluhan,” katanya.

Sebagai wilayah gambut, lahan itu memang rentan terbakar. Dua titik, di kilometer 7 dan 10 terbakar pada pekan antara 20–24 Maret 2019. Saat itu, belum sampai seminggu hujan tak turun.

Rianto Saputra, yang lahan berada satu kilometer dari tepi jalan di kilometer 10, mengatakan, belum lama menanam 2.000 sawit di kawasan itu terbakar pada 20-22 Maret 2019. Sekitar lima hektar sawit baru tanam ludes terbakar.

“Kita enggak tahu apakah (api) dari orang mancing, atau apa. Kita enggak tahu,” katanya, Jumat (22/3/19).

Pada kilometer 7, lahan gambut delapan kilometer terbakar, dan polisi berhasil menetapkan seorang tersangka.

 

Keterangan foto utama:    Sawit yang sudah tumbuh besar di Jalan Pangkalan Bun – Kotawaringin Laman, Kilometer 10. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version