Mongabay.co.id

Cara Identifikasi Pelanggaran HAM di Atas Kapal Perikanan

 

 

Praktik perikanan tidak bertanggung jawab seperti illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) diketahui masih terus berlangsung hingga sekarang di seluruh dunia, termasuk wilayah perairan Indonesia. Dari praktik tersebut, muncul pula praktik kejahatan lain yang bersinggungan langsung dengan IUUF dan terjadi di atas laut.

Kepala Misi (ad interim) Organisasi Migrasi Internasional (IOM) Dejan Micevksi mengatakan, kejahatan yang bersinggungan langsung dengan IUUF, biasanya adalah kejahatan manusia seperti tindak pidana perdagangan orang (TPPO), penyelundupan manusia, dan atau kerja paksa. Bentuk-bentuk kejahatan seperti itu, sudah mulai terungkap sejak 2014.

Untuk mengatasi persoalan itu, Dejan mengaku harus bekerja sama dengan berbagai negara di seluruh dunia, salah satunya Indonesia. Kerja sama itu untuk mengindentifikasi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang biasanya muncul pada tindak pidana kejahatan di sektor perikanan, khususnya tindak pidana seperti disebut di atas.

“Kami bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia untuk menuju ke sana,” ujar dia di Jakarta, awal April lalu.

Menurut Dejan, kerja sama dengan Indonesia sudah dilakukan pada November 2014 hingga Oktober 2015. Saat itu, kerja sama dijalin untuk memecahkan kasus perbudakan yang terjadi pada sektor perikanan di Indonesia, tepatnya di perairan Benjina (Maluku), dan Pontianak (Kalimantan Barat). Melalui kerja sama yang saat itu dilakukan melalui Satuan Tugas (Satgas) Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal atau 115, IOM bisa memberikan bantuan kepada 1.342 korban TPPO.

Pada proses tersebut, Dejan memaparkan, IOM bersama Satgas 115 memberikan bantuan dimulai dari identifikasi, penyediaan tempat penampungan sementara, penyediaan kebutuhan harian selama masa tunggu, layanan kesehatan, pemulangan ke daerah asal, dan termasuk remediasi kerugian anak buah kapal (ABK). Proses tersebut diakuinya memerlukan ketekunan dan ketelatenan, karena korban semuanya membutuhkan perlindungan fisik dan hukum.

baca : Kenapa Praktik Perdagangan Manusia dan Perbudakan Belum Hilang dari Kapal Perikanan?

 

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Pelanggaran HAM

Untuk mengulang duet harmonis tersebut, IOM memilih membuat pembaruan kerja sama yang dilakukan pada 2019 tentang identifikasi korban pelanggaran HAM di sektor perikanan. Perjanjian kerja sama (PKS) tersebut ditandatangani kedua belah pihak, IOM dan KKP yang diwakili Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo.

Upaya untuk mengindentifikasi korban pelanggaran HAM, menurut Dejan, salah satunya adalah pengembangan metode khusus melalui formulir screening kasus TPPO dan aplikasi berjalan untuk deteksi awal TPPO di tengah laut yang bernama trafficking in persons (TIPs). Aplikasi tersebut, adalah upaya deteksi awal kasus TPPO yang di dalamnya terdapat 10 daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh pengakses.

“Ada opsi pilihan jawaban, ya dan tidak di dalam aplikasi tersebut. Bahasa yang digunakan juga bisa dipilih, ada enam bahasa. Selain Indonesia, ada Inggris, Myanmar, Khmer, Vietnam, dan Thailand,” ungkap dia.

Dejan menyebutkan, saat petugas yang sedang berpatroli di laut dan bertemu ABK, petugas bisa mewawancarai mereka secara singkat ataupun detil. Kemudian, baik petugas ataupun ABK bisa menggunakan aplikasi TIPs untuk mengunggah berbagai informasi yang bisa diberikan berkaitan dengan dugaan pelanggaraan HAM di kapal tempar ABK bekerja.

“Aplikasi tetap dapat menyimpan informasi yang ada meskipun tidak ada koneksi internet,” tuturnya.

Semua informasi yang sudah diunggah ke aplikasi, menurut Dejan, selanjutnya bisa diteruskan ke server yang berpusat di kantor pelabuhan. Dari situ, petugas yang memandu ABK, bisa melaksanakan identifikasi lanjutan secara komprehensif dengan menggunakan data awal yang sudah didapatkan sebelumnya dari aplikasi melalui web-based screening form yang berisi pertanyaan lebih mendetail.

baca juga : Indonesia Berkomitmen Melindungi Hak Asasi Manusia Nelayan. Seperti Apa?

 

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

 

Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo mengapresiasi apa yang sudah dilakukan IOM melalui pembuatan aplikasi khusus untuk menelusuri dugaan pelanggaran HAM pada sektor perikanan. Menurutnya, aplikasi tersebut menjadi pembuka jalan bagi pengungkapan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di atas laut.

“Aplikasi ini merupakan pionir dalam usaha memberantas perdagangan orang,” ucapnya.

Nilanto melanjutkan, sebagai tindak lanjut pemanfaatan aplikasi ini, IOM memberikan sosialisasi dan pelatihan identifikasi kasus TPPO kepada petugas garda depan KKP di tiga wilayah, yaitu Jakarta, Medan (Sumatera Utara), dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pelatihan tersebut diberikan, karena Pemerintah menyadari ada resiko yang tinggi dalam profesi yang dijalani para ABK di atas kapal perikanan atau perdagangan.

“Kita menyadari, dalam aktivitas penangkapan ikan, para ABK dihadapkan pada berbagai macam risiko, termasuk perbudakan atau pelanggaran HAM,” tuturnya.

 

Identifikasi Pelanggaran

Selain ABK di kapal, Nilanto menyadari, ada resiko yang sama yang dihadapi para pekerja di unit pemprosesan. Oleh karena itu, penggunaan aplikasi TIPs menjadi proses adaptasi teknologi yang diharapkan dapat memantau dan mencegah terjadinya pelanggaran kemanusiaan di sektor perikanan. Dengan demikian, upaya penjagaan laut Indonesia dari berbagai ancaman kejahatan kemanusiaan, bisa dilakukan lebih baik.

Nilanto mengatakan, perlunya dilakukan penjagaan terhadap pasar perikanan dan hasil laut dari berbagai bentuk tindak pelanggaran HAM, bukan saja karena untuk melindungi sumber daya manusia pada sektor kelautan dan perikanan, namun juga untuk meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia di mata dunia.

“Tak hanya harus memastikan produk perikanan kita terjamin mutu dan kualitasnya dan didapatkan dari proses yang ramah lingkungan, Pemerintah juga harus memastikan ikan didapat dari kegiatan legal, reported, and regulated fishing (LRRF) yang memerhatikan perlindungan terhadap HAM pekerjanya,” pungkasnya.

menarik dibaca : Tekad Indonesia Hapuskan Praktek Perdagangan Manusia dalam Industri Perikanan

 

Proses pemulangan lima dari tujuh nelayan warga Desa Maginti, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara pada 26 Mei 2017. Mereka merupakan ABK KM Koguno yang berbendera Indonesia dan ditangkap oleh otoritas Australia karena tuduhan melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa ijin di perairan Australia. Foto : Dirjen PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Staf Khusus Satgas 115 Yunus Husein mengatakan, pembuatan aplikasi TIPs sejalan dengan komitmen KKP untuk memberantas perbudakan dan perdagangan tenaga kerja Indonesia sektor kelautan dan perikanan. Komitmen ini telah dikukuhkan dengan keluarnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM di Industri Perikanan.

Sejalan dengan hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap melalui Direktorat Kapal dan Alat Penangkapan Ikan (KAPI) berjanji akan menggunakan aplikasi TIPs di 138 syahbandar yang tersebar di seluruh Indonesia, guna membantu identifikasi TPPO. Langkah tersebut diharapkan bisa mendorong semua pihak terkait bisa ikut berpartisipasi untuk mengungkap setiap dugaan pelanggaran HAM di atas kapal.

Pada 2018, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar pernah mengatakan, berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk terus menekan angka kasus kejahatan yang menimpa ABK di atas kapal, tidak akan menghentikan aksi kriminal tersebut. Penyebabnya, karena masih ada kendala pada regulasi dalam melakukan perlindungan.

“Yang dapat kami lakukan adalah berkoordinasi dengan kementerian dan atau lembaga terkait seperti BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Ketenagakerjaan,” ucapnya.

Sikap pasrah dan memilih untuk berkoordinasi dengan kementerian dan atau lembaga terkait itu, menurut Zulficar, tetap harus dilakukan oleh KKP, karena pihaknya tidak terlibat secara langsung dalam proses perekrutan tenaga kerja dan penempatan mereka di kapal perikanan di luar negeri. Kondisi itu, mengakibatkan KKP tidak memiliki data pekerja Indonesia pada kapal perikanan di luar negeri.

Untuk TKI yang bekerja di atas kapal perikanan di luar negeri, Zulficar menerangkan, memang diketahui ada yang memiliki berbagai macam masalah seperti tidak memiliki perjanjian kerja laut (PKL), jam kerja tidak jelas, gaji tidak dibayar sesuai perjanjian, meninggal karena kecelakaan kerja, sakit dan tidak bisa melakukan kerja di atas kapal.

“Kemudian, mendapat kekerasan fisik dan mental dari nakhoda, makanan tidak higienis, sampai terlibat perkelahian sesama ABK. Itu di antara masalah-masalah yang sering muncul,” tuturnya.

 

Exit mobile version