Tekad Indonesia Hapuskan Praktek Perdagangan Manusia dalam Industri Perikanan

Indonesia bertekad untuk menghilangkan praktek perdagangan manusia dan kerja paksa (human trafficking and forced labor) yang terjadi dalam industri perikanan dan kelautan nasional. Praktek tersebut diduga sudah terjadi sejak lama dan masih berlangsung hingga saat ini, dan tidak hanya di Indonesia, tapi juga seluruh dunia.

Bagi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, tekad untuk menghapuskan praktek tidak terpuji tersebut, menjadi harga mati yang harus dilaksanakan. Hal itu, karena praktek perdagangan manusia dan kerja paksa dari waktu ke waktu semakin berkembang dan sulit untuk dibendung.

Susi yang berbicara di depan sejumlah delegasi internasional ASEAN Conference on Human Trafficking and Forced Labor in Fishing Industry, di Jakarta, Senin (15/08/2016), mengatakan, sudah sejak lama, Indonesia dirugikan karena praktek tersebut. Tidak hanya di dalam negeri, namun juga terjadi di luar negeri.

“Korban perdagangan orang dan kerja paksa dalam industri perikanan dunia, sebagian besar diduga kuat adalah berasal dari Indonesia. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk kita semua,” ungkap dia.

Saat ini, menurut Susi, orang Indonesia yang bekerja untuk kapal milik negara lain di luar negeri sebagai anak buah kapal (ABK), diperkirakan jumlahnya mencapai 250 ribu orang. Namun, jumlah tersebut bisa membengkak dua kali lipat bahkan lebih, karena tidak ada data resmi tentang ABK asal Indonesia yang bekerja di luar negeri.

“Angka 250 ribu ABK itu hanya perkiraan saja dan mereka diduga menjadi korban human trafficking dan forcelabor. Angka sebenarnya itu adalah ada 700 ABK di dunia yang menjadi korban praktek ilegal tersebut. Kita kuatir sebagian itu adalah dari Indonesia,” ucap dia.

Susi menyebut, korban yang berasal dari Indonesia, jumlahnya diduga sangat besar, karena Indonesia adalah negara maritim besar dengan jumlah penduduk banyak. Namun, hingga kini tidak ada data akurat berapa jumlah ABK dari Indonesia sebenarnya.

“Karena, ABK Indonesia bekerja di luar negeri. Itu yang menyulitkan kita mendapatkan datanya. Kita menduga ada ribuan orang yang terjebak dalam praktek memalukan tersebut,” tambah dia.

Masih Sulit Diungkap

Sementara itu, Chief of Mission International Organization for Migration (IOM) Mark Getchell menjelaskan, saat ini di dunia terdata ada 48,5 juta orang yang menjadi korban perdagangan manusia dan kerja paksa. Data tersebut, di dalamnya termasuk adalah korban yang ada dalam industri perikanan dunia.

“Kita akui bahwa praktek ilegal ini masih sulit diungkap. Ini adalah tindakan kriminal dan kita harus bersama untuk memeranginya dan mencegah terjadi kepada siapapun. Ini adalah tugas bersama bagi semua negara di dunia,” sebut dia.

Getchell mengungkap, sulitnya mengungkapk aksi kriminal tersebut seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami. Dia mengungkap bahwa aksi kriminal seperti itu di wilayah daratan saja masih sangat sulit dilakukan, apalagi jika harus melakukannya di tengah lautan luas.

“Harus ada kerja sama yang baik dengan pendekatan berbeda antar negara untuk mengatasi dan mencegah masalah ini,” tambah dia.

Dia mengatakan, saat ini korban perdagangan orang dan kerja paksa sebagian besar masih didominasi oleh orang-orang dari negara yang sedang berkembang, di antaranya adalah negara-negara Indocina seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja. Ketiga negara tersebut sama-sama berstatus negara miskin di Asia Tenggara.

Di tempat sama, Anggota Satgass 115 IUU Fishing Mas Achmad Santosa mengatakan, saat ini Indonesia memang tengah berjuang untuk melindungi pekerja formal yang ada di sektor kelautan dan perikanan. Upaya tersebut didukung perangkat hukum berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan.

Dalam peraturan tersebut mengatur tentang cara kerja dan tata kelola pekerja perikanan di sektor kelautan. Di dalam permen tersebut, diatur dua hal mendasar, yakni Sistem HAM Perikanan yang di dalamnya membahas tentang Kebijakan HAM, Uji Tuntas HAM, dan Pemulihan HAM, dan Sertifikasi HAM Perikanan yang di dalamnya diatur tentang standar kriteria kepatuhan HAM Perikanan yang diformulasikan bagi kelompok-kelompok usaha perikanan.

“Tetapi, kita saat ini sedang menurunkan Permen tersebut dalam bentuk perangkat teknis. Itu yang masih digodok hingg kini dan sudah hampir final. Kita berharap bisa segera selesai,” tutur dia kepada Mongabay.

Jika perangkat turunan tersebut sudah selesai, Mas Achmad optimis perlindungan HAM bisa dilakukan penuh kepada nelayan dan juga ABK yang bekerja di industri perikanan dan kelautan nasional.

Artikel yang diterbitkan oleh
,