Mongabay.co.id

Catatan dari Hari Bumi: Perempuan, Masyarakat Pesisir dan Sampah

Kartini Kendeng melawan dengan menanam, jaga ibu bumi lewat bertani. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Tiap tahun, pada 22 April, diperingati sebagai Hari Bumi. Tahun ini, memperingati Hari Bumi relevan dengan melihat kerusakan alam makin parah. Laporan PBB pada Oktober 2018 menyatakan, kalau tak ada tindakan luar biasa, bencana akan tiba pada 2040. Di Indonesia, bencana sudah terjadi. Kerusakan lingkungan, berdampak pada manusia, keragaman hayati dan sumber-sumber kehidupan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, selama 2018, sampai Oktober terdapat 1999 bencana, didominasi bencana hidrometeorologi.

“Bencana alam hari ini, tidak terlepas dari pola pengelolaan sumber daya alam eksploitatif,” kata Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan di Jakarta.

Berbagai program atas nama pembangunan, maupun investasi industri esktraktif seperti pertambangan, pembangkit listrik skala besar, dan perkebunan skala besar, katanya, merupakan pola perusakan bumi secara global. Ia berdampak bagi manusia, dan ekosistem di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia.

Pola pembangunan yang menghancurkan bumi juga sejalan dengan konflik agraria dan perampasan sumber-sumber kehidupan masyarakat. Kondisi ini, katanya, terlihat dari konflik agraria terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria, sepanjang 2018, tercatat 410 konflik agraria dengan luasan wilayah 807.177,613 hektar dan melibatkan 87.568 keluarga di berbagai provinsi di Indonesia.

“Penghancuran bumi adalah penghancuran kehidupan perempuan,” kata Puspa.

Pola pembangunan patriarki, telah menghilangkan sistem dan pola pengelolaan alam oleh perempuan yang selama ini menjaga keberlanjutan bumi, serta merusak sistem dan nilai-nilai sosial termasuk kearifan lokal perempuan. Selain itu, penghancuran bumi dan konflik agraria telah berdampak pada lapisan beban, penindasan, dan ketidakadilan perempuan.

Puspa mencontohkan, di Desa Barati Pamona Tenggara, Kabupaten Poso. Kehadiran PT. Sawit Jaya Abadi 2 (SJA 2) merusak hutan dan menyebabkan erosi, banjir yang mengenangi perkebunan warga. Belum lagi penggunaan pupuk kimia mencemari tanah. Dampaknya, perempuan hidup dalam situasi tidak aman dan terancam keberlangsungan hidup, termasuk sumber-sumber kehidupan.

Konflik yang terjadi juga mengakibatkan nilai sosial budaya di masyarakat hilang, di mana perempuan memiliki peran signifikan.

Penghancuran bumi juga terjadi karena pertambangan masif, salah satu, pertambangan semen. Rencana pemerintah membangun pabrik semen di beberapa wilayah di Indonesia, makin memperparah penghancuran bumi. Penghancuran karst untuk tambang semen juga merusak sumber air sebagai kehidupan perempuan.

Padahal, katanya, pengalaman perempuan yang tinggal dan hidup di sekitar pabrik PT Semen Indonesia di Kecamatan Lhok Nga, Aceh mengalami gangguan pernapasan, pertanian cengkih dan buah buahan hancur, serta krisis air yang jadikan beban perempuan makin berlapis.

 

Remiyati, petani Kampung Lembur Hayang, Telukjambe, Karawang Jawa Barat, kembali menggarap lahann etelah beberapa tahun mengalami konflik agraria. Melalui Surat Keputusan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) petani setempat diberikan lahan garapan seluas 1.556 hektar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Penghancuran bumi juga terlihat dengan perkebunan skala besar eksploitatif, seperti perkebunan tebu PTPN VII Cinta Manis –Ogan Ilir di Sumatera Selatan, dan perkebunan tebu PTPN XIV di Takalar Sulawesi Selatan. Ia berdampak pada hilangnya kedaulatan perempuan atas tanah dan akses atas air, serta alih fungsi lahan produktif. Ia menggusur dan merampas ruang hidup perempuan.

Kondisi ini terlihat dari pengalaman perempuan di Desa Lassang Barat, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang berkonflik dengan PTPN XIV Unit Takalar. Perempuan petani, terpaksa beralih profesi jadi buruh cuci, buruh tani, bahkan buruh migran akibat kehadiran PTPN XIV Unit Takalar. Kondisi serupa juga dialami perempuan di Desa Seribandung–Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Sayangnya, pengalaman perempuan tak jadi pertimbangan negara. Sebaliknya, negara justru berupaya menghalang-halangi keinginan perempuan menjaga alam dan bumi dari kehancuran lebih parah.

“Terlihat dengan pola-pola pembungkaman, intimidatif dan kriminalisasi, serta pendekatan militeristik terhadap perempuan yang berjuang keberlangsungan bumi dan kesejahteraan kehidupan.”

Untuk itu, pemimpin Indonesia, presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif terpilih, harus sungguh-sungguh jadikan agenda penyelamatan bumi sebagai agenda politik negara untuk keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia ke depan.

Saatnya, kata Puspa, pemimpin terpilih bertindak tegas atas berbagai upaya penghancuran bumi dan pelanggaran hak asasi perempuan. Juga melibatkan dalam setiap tahap proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi dalam kebijakan dan program pembangunan. Terutama, katanya, terkait pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi memberikan dampak terhadap perempuan.

“Perlu juga harmonisasi kebijakan terkait pertanahan dan pengelolaan sumber daya alam agar berkeadilan gender.”

Penyelesaian konflik agraria adil, sensitif dan responsif gender serta menghentikan pola-pola kekerasan dan kriminalisasi, keterlibatan militer dan kepolisian. Juga evaluasi menyeluruh izin-izin usaha skala besar dan menghentikan izin-izin baru keluar bagi perusahaan yang memiliki rekam jejak atau diduga pelanggaran HAM dan merusak lingkungan.

 

Dampak dari berbagai proyek pembangunan di wilayah pesisir Makassar jauh lebih dirasakan oleh perempuan karena harus menanggung beban yang berlapis, selain peran domestik di keluarga berperan dalam produksi perikanan. Foto. Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra.

 

 

Masyarakat pesisir terancam

Kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil juga makin terancam. Praktik pembangunan ekstraktif dan eksploitatif dapat dilihat dari pembangunan proyek properti masif seperti reklamasi, pertambangan, dan ekspansi perkebunan sawit yang menghancurkan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

Dampaknya, keberlanjutan ekologis sekaligus kehidupan sosio-ekonomi masyarakat pesisir dalam keterancaman serius.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), meminta, negara segera mengambil langkah konkrit untuk menjaga bumi dari kehancuran ekologi.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara mengatakan, salah satu yang terancam pembangunan ekstraktif dan eksploitatif, seperti reklamasi dan pertambangan, adalah hutan mangrove di sepanjang 95.000 km pesisir Indonesia. Padahal, sebagai kawasan ekosistem esensial, hutan mangrove memiliki fungsi sangat penting bagi keberlanjutan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

Susan menguraikan, mangrove memiliki dua fungsi utama, yaitu fisik dan kimiawi. “Fungsi fisik mangrove, untuk melindungi pantai dari abrasi, penyangga proses rembesan air laut ke tanah, penjaga intrusi air laut, dan sebagai penahan sedimen secara terus-menerus,” katanya.

Untuk fungsi kimia mangrove, kata Susan, untuk penyerap karbondioksida sekaligus tempat daur ulang oksigen yang sangat diperlukan manusia dan hewan. Satu hektar hutan mengrove, katanya, mampu menyimpan karbondioksiada 800-1.200 ton.

Selain memiliki fungsi fisik dan kimiawi, hutan mangrove juga punya fungsi sosial dan ekonomi sangat penting bagi masyarakat pesisir. Pusat Data dan Informasi Kiara 2019 mencatat, sebanyak 6.829 desa pesisir memiliki pendapatan dari praktik pemanfaatan hutan mangrove.

Sayangnya, hutan mangrove terus mengalami deforestasi. Pusat Data dan Informasi Kiara 2018, mencatat luasan hutan mangrove pada 2014 sebesar 4,4 juta hektar. Pada 2017, tinggal 3,5 juta hektar.

“Penyebab utama deforestasi mangrove adalah ekspansi proyek reklamasi di berbagai pesisir Indonesia, pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta ekspansi perkebunan sawit yang memasuki kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” katanya, seraya bilang, pemerintah harus mengevaluasi proyek macam ini.

 

 

Sampah plastik

Masalah bumi tak kalah mengancam yakni, sampah, seperti plastik yang mencemari laut. Indonesia, kata Susan, merupakan produsen sampah terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.

“Sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun, lebih dari 3,5 juta ton sampah platik dibuang ke laut. Meski sampah plastik di lautan begitu mencemari, pemerintah sampai saat ini belum memiliki strategi dan kebijakan khusus,” katanya.

Pemerintah Indonesia, katanya, terlihat tak memiliki ketegasan terhadap perusahaan pembuat plastik yang banyak mengambil keuntungan dari bisnis plastik.

“Dalam kasus sampah plastik yang mencemari laut Indonesia, seharusnya perusahaan pembuat plastik jadi pihak paling pertama diminta pertanggungjawaban serius oleh pemerintah,” katanya.

Kiara mengajak, masyarakat pesisir berhenti menggunakan plastik perlahan-lahan. Kiara juga mengajak masyarakat, tak jadikan laut sebagai tong sampah raksasa.

“Kiara mengajak masyarakat pesisir menjaga laut dari sampah plastik dengan cara berhenti pakai plastik secara gradual.”

 

Sampai plastik menggila memenuhi pantai dan merusak mangrove. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Satu contoh daerah yang alami masalah sampah, yakni Kota Jambi, Jambi. Peringatan Hari Bumi di kota itu, juga bahas sampah yang jadi masalah utama di kota ini. Kini, Kota Jambi, produksi sekitar 660 ton sampah per hari.

Wakil Walikota Jambi Maulana mengatakan, pemerintah kota sejak Januari 2019, sudah menggiatkan larangan pamakaian kantong plastik di pasar modern dan tradisional.

Larangan itu, tertuang dalam Perwal No. 61/2018 tentang Pembatasan Penggunaan Kantong Belanja Plastik.

Maulana mengatakan, tak semua pengusaha bisa menerima peraturan itu, hingga penundaan sanksi masih undur sampai Juli 2019.

“Kita sudah memanggil dan diskusi dengan semua pelaku usaha, terutama yang memiliki mal dan supermarket di Jambi. Mereka beralasan masih punya stok kantong plastik. Kita lakukan penilaian setiap tiga bulan sejak peraturan ada awal tahun. Ini tak mudah,” katanya.

Saat ini, pemerintah sudah berhasil mengelola sampah, meski belum bisa mengatasi tuntas. Pemerintah Kota Jambi, sudah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 61/2018 tentang pengurangan penggunaan kantong plastik.

Selain itu, juga sudah ada Peraturan Walikota (Perwal) Jambi Nomor 8/2013 tentang pembuangan sampah. Dalam aturan itu diatur mengenai waktu pembuangan sampah, antara pukul 18.00-06.00.

Maulana bilang, sudah ada upaya pengolahan sampah organik jadi gas Rp250 miliar. “ Kita sudah bangun instalasi gas disalurkan ke 50 rumah sekitar Pasar Tradisional Talang Banjar, masyarakat sudah menikmati gas dari sampah oganik itu.”

Soal fasilitas pembuangan sampah, Pemkot Jambi bilang, punya 500 tempat sampah, dan 38 kontainer. Meski demikian, kata Maulana, persoalan sampah belum selesai.

Menurut dia, mengubah gaya hidup tak gampang. “Perlu proses agar masyarakat sadar sampah.”

Masyarakat, katanya, perlu menyadari betapa sampah berbahaya bagi mahluk hidup, manusia, maupun satwa. Pemerintah Kota Jambi, katanya, mendorong tumbuh kembang bank sampah guna mengatasi sampah plastik.

Tedjo Sukmono, peneliti taksonomi dan biodiversitas ikan air tawar Indonesia menyebutkan, mutasi yang terjadi pada ikan di Sungai Batanghari, salah satu faktor mikroplastik. “Bisa karena plastik mengandung kasinogen yang menyebabkan mutasi DNA. Faktor lain perubahan tutupan hutan, logam berat, limbah industri, dan racun ikan juga memicu perubahan DNA ikan,” katanya.

Mutasi ikan terjadi, katanya, sebagai bentuk adaptasi dari perairan yang tercemar, baik sampah, limbah, dan racun yang berlangsung lama dan terus menerus.

Tedjo mengatakan, paling mengkhawatirkan dari mutasi adalah kepunahan. “Ada ikan akan punah tanpa kita sempat mempelajari, mengetahui. Ini keragaman hayati yang tak bisa diukur, karena kerakusan manusia.”

Pada peringatan Hari Bumi di Kemenko Maritim, 22 April lalu, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, mengatakan, Indonesia punya komitmen mengurangi sampah. Salah satu, sejalan dengan target bauran energi 23% pada 2025, pemerintah menyiapkan aturan terkait pengelolaan sampah dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).

“Rapat kabinet tadi presiden mengingatkan, sekarang tak mau lagi ada beban moril pada peraturan perundangan. Yang tak harmonis harus diharmonisasi, termasuk masalah sampah,” katanya.

Luhut membenarkan, ada peraturan soal pembangunan PLTSa masih tumpang tindih dan perlu harmonisasi hingga daerah bisa mengimplementasikan aturan ini.

“Perpres waste to energy mulai jalan, jujur masih banyak hambatan,” katanya, merujuk Perpres No 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang digugat masyarakat sipil dan dibatalkan Mahkamah Agung.

 

Keterangan foto utama:    Kartini Kendeng melawan dengan menanam, jaga ibu bumi lewat bertani. Foto Tommy Apriando

 

Exit mobile version