Mongabay.co.id

Walhi Riau: Kendala Hutan Desa di Riau ada di Komitmen Pemangku Kepentingan

 

Tulisan sebelumnya: Repotnya Jaga Hutan Desa, Gambutnya Terbakar, Kayunya pun Ramai Dicuri

 

Sesuai dengan kebijakan pemerintah yang meluncurkan program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), Provinsi Riau mendapat jatah 9 juta hektar, dimana 1,4 juta hektar diantaranya diperuntukkan masuk dalam program Perhutanan Sosial (PS).

Namun kendala di tingkat implementasi menjadi sorotan. Sejak program ini diluncurkan empat tahun lalu, maka baru tahun 2018 Pemprov Riau membentuk Kelompok Kerja (Pokja) PS. Padahal Pokja penting untuk menjadi media koordinasi dan berbagi tugas di tingkat pemangku kepentingan.

“Bagaimana percepatan itu terjadi kalau pokjanya [berjalan] lambat. Hampir satu tahun belum juga pernah rapat. Rapatnya pokja itu pun inisiatif dari kita-kita,” sebut Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau menyebutkan kepada Mongabay Indonesia akhir Maret lalu.

 

Hutan Desa Lukun di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Hutan Desa ini terancam kebakaran lahan, juga pencurian kayu dari dalam hutan. Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia

 

Menurut Riko hal tersebut adalah indikasi dari kurangnya keberpihakan pemprov Riau terhadap program PS dan TORA. Padahal pemerintah pusat sudah membuka pintu untuk memberi akses sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk mendapat peluang pengelolaan kawasan.

“Komitmen pemerintah daerah lemah. Dulu, [selalu muncul] persoalan tumpang tindih, penguasaan lahan ilegal, perambahan kawasan, dan tidak ada pengakuan wilayah adat. Dulu tidak ada peluang. Tiap hari muncul konflik aja di media. Sekarang ada corrective action yang dibuat oleh KLHK,” imbuhnya.

Jelasnya, di Riau sendiri angka konflik terkait dengan tanah dan penguasaan lahan cukup tinggi, yakni 370 konflik pada tahun 2018. Kegiatan pembalakan liar, pembakaran hutan juga tinggi. Untuk itu menurut Walhi, PS adalah solusi yang tepat yang harusnya dikejar Pemprov.

Baca juga: Konflik SDA di Riau Tertinggi di Indonesia, Kenapa?

Kendala lainnya, aparat di tingkat daerah tidak tahu bahwa mereka juga bertanggungjawab untuk menyukseskan realisasi PS. Termasuk membantu lembaga pengelola hutan di tingkat desa yang disebut masih lemah secara kelembagaan dan pengetahuan.

Hambatan ketiga adalah Perda Nomor 10/2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Riau. Dalam aturan ini, proses pengusulan dan verifikasi PS harus mendapat rekomendasi Gubernur dan DPRD. Menurutnya, ini menghambat lembaga lain untuk memproses usulan.

Di sisi lain, Riko bilang kebijakan Kementerian LHK terkait dengan PS yang berada di gambut juga turut membingungkan. Sehingga banyak PS di lahan gambut belum bisa diproses. Padahal Riau sendiri hampir 50% kawasannya bergambut.

Secara lintas instansi, PS sebut Riko seharusnya tidak menjadi tanggung jawab sektor kehutanan semata. Tapi juga harus melibatkan pihak lain diluar sektor kehutanan secara sinergis.

Seperti Dinas Koperasi harus membantu peningkatan kelompok, Bank di Riau untuk membantu permodalan LPHD (Lembaga Pengelola Hutan Desa). Termasuk pelibatan penyuluh pertanian yang punya skill pendampingan.

“[Tampak] ada semacam ketidakrelaan untuk memberikan kawasan negara kepada masyarakat. Itu yang memperlambat sebenarnya. Mereka (Pemprov) yang harusnya turut turun tangan, LPHD itu tidak ada yang membantu.”

Dia pun berharap Gubernur Riau baru terpilih dapat mendorong agar program PS dan TORA dapat dikebut. “Pokja PS harus dihidupkan kembali.”

 

Anggota LPHD Lukun menunjukkan kebun bibit yang dibuat oleh pengelola Hutan Desa. Meski demikian, masalah teknis masih terjadi di tingkat tapak. Foto: Zamzami/Mongabay Indonesia

 

Penjarahan dan Illegal Logging di Hutan Desa

Di tingkat masyarakat pengelola, kendala juga dirasakan. Seperti yang terjadi di Desa Lukun, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.

Menurut Amran, Ketua LPHD Lukun, pihaknya belum bisa berbuat banyak karena Rencana Pengelolaan Hutan Desa (RPHD) dan Rencana Kegiatan Tahunan (RKT-HD)  belum kunjung dikeluarkan oleh Kepala UPT Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Tebing Tinggi. Padahal syarat-syarat katanya untuk permohonan sudah dilengkapi sejak Februari 2019 lalu.

Dalam surat permohonan RPHD dan RKT-HD kepada Kepala UPT KPH Tebing Tinggi, LPHD Lukun membagi hutan dalam empat zona. Zona konservasi seluas 95 hektar, zona semak belukar 300 hektar, zona hutan sekunder 2.048,5 hektar dan sisanya zona pembibitan dan bedeng kerja.

Baca juga: Cerita Penjaga Hutan Desa Lukun Pertaruhkan Nyawa Berjuang Padamkan Api di Riau

“Kami ingin menanam kembali zonasi semak belukar agar tumbuh pohon-pohon besar. Makanya nanti akan ada pembibitan. Pembibitan sendiri sudah kita lakukan di rumah. Nanti setelah RPHD dan RKT-HD disahkan, bibit-bibit ini bisa dipindahkan ke sana,” ujar Amran.

Saat dihubungi, Kepala UPT KPH Tebing Tinggi, Asril Astaman kepada Mongabay menyebut sudah menerima surat permohonan RPHD dan RK-HD. Masih dipelajarinya.

Dia sebut masih melihat masih ada kekurangan dari dokumen yang dikirimkan, yakni lampiran peta. Meski LPHD Lukun sudah melampirkan peta, namun itu peta gabungan dengan Hutan Desa Sungai Tohor. Peta yang dimaksud Asril adalah lampiran khusus Hutan Desa Lukun saja.

“Sedang kita pelajari. Kita sudah cek, masih ada kekurangan. Kita ndak terlalu kakulah birokrasinya. Sekarang masalahnya kelengkapan petanya itu,” jawab Asril.

Menurut Asril, pihak LPHD Lukun sempat mengeluhkan bahwa mereka tidak sanggup membuat peta, karena tidak memiliki peralatan seperti printer dan tinta. Asril menjanjikan pihaknya dapat membantu membuatkan peta.

Saat ditanya apakah ada biaya yang harus dikeluarkan LPHD untuk memperoleh pengesahan RPHD dan RK-HD. “Gratis, kalau ada alatnya akan kami  bantu,” tuturnya

Terkait dengan pembalakan liar yang marak terjadi di hutan-hutan desa di tujuh desa di Tebing Tinggi Timur, termasuk di Desa Lukun, sebutnya KPH sering turun ke lapangan. Juga melaporkan informasi ke Direktorat Penegakan Hukum Kementerian LHK, maupun tingkat provinsi di Pekanbaru.

“Sudah sering [kami cek ke lapangan]. Di Kementerian LHK ada Dirjen Gakkum. Di provinsi juga sudah ada. Silakan lapor ke kami. Tidak ada salahnya juga lapor ke Polres. Kita akan tindaklanjuti ke Gakkum,” ujarnya.

Asril juga bilang kendala yang ada adalah masih ada persepsi yang salah dari warga tentang hutan desa. Pengertian hutan desa dianggap mensahkan pembalakan liar menjadi legal. Dia menyebut, masyarakat masih butuh edukasi yang kuat tentang apa itu hutan desa sesungguhnya.

“Hutan Desa, dianggap seperti mendapat HPH, mereka bisa nebang [sembarangan]. Setelah ada Hutan Desa, mereka tetap  illegal logging. Kita perlu mengedukasi masyarakat, semua pihak saya himbau ikut berpartisipasi,” tutup Asril.

 

 

 

Exit mobile version