Mongabay.co.id

Riset Sebutkan Negara Terlibat Belt and Road Cenderung Pilih Energi Bersih, Bagaimana Indonesia?

Contoh penggunaan tenaga surya melalui solar photovoltaik (PV) di Indonesia. Lembaga Global Green Growth Institute (GGGI) siap mengucurkan dana Rp2,5 triliun untuk mendorong penggunaan tenaga surya menggantikan energy diesel bagi industry di Indonesia. Foto : GGGI

 

 

 

 

Pertemuan puncak kerjasama internasional dengan Pemerintah Tiongkok, Belt and Road Initiative Forum(BRI), terselenggara kedua kalinya, 26-27 April 2019. BRI atau yang sebelumnya dikenal dengan One Belt , One Road (Obor) merupakan strategi Pemerintah Tiongkok, untuk menghidupkan kembali rute perdagangan kuno melalui jaringan proyek infrastruktur di Asia Tengah, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika.

Dalam rencana aksi yang disusun pada 2015-2017 melalui BRI, Tiongkok akan menggelontorkan investasi hampir US$1 triliun ke sejumlah negara. Saat ini, investasi luar negeri Tiongkok melalui skema BRI sudah US$80,73 miliar antara 2012-2017.

Survei organisasi lingkungan, E3G menunjukkan, negara yang berpartisipasi dalam BRI cenderung memilih energi bersih dibanding proyek batubara. Survei pada enam negara, Indonesia, Pakistan, Filipina, Afrika Selatan, Turki dan Vietnam, menunjukkan, hanya sedikit persentase mereka yang memilih batubara. Negara-negara ini punya banyak PLTU pembiaya Tiongkok.

Dalam survei, saat ditanya energi apa yang seharusnya negara mereka investasikan, mereka mendukung pembangunan jangka panjang di negara-negara berkembang, jawaban dominan adalah energi bersih atau terbarukan.

Di Vietnam, 89% responden memilih energi bersih, hanya 8% pilih energi batubara, fosil seperti minyak dan gas bumi.

Indonesia, agak menarik. Meski 65% responden menyatakan memilih energi bersih, masih 28% energi fosil. Angka ini tertinggi dibanding semua responden lain. Menyusul Pakistan 61% responden memilih energi bersih dan 25% fosil.

Lantas energi bersih mana yang mereka inginkan?

Hampir semua negara menunjukkan energi surya sebagai favorit mereka. 64% responden Indonesia menyatakan energi surya mesti jadi prioritas utama menyusul air dan angin. Masih ada 30% responden jadikan batubara prioritas utama, 24% memberikan pilihan utama pada energi nuklir.

Alasannya? Responden di Indonesia, dominan memilih energi bersih, 36% menilai batubara meningkatkan polusi air dan udara dan 37% menilai ini menyebabkan perubahan iklim. Masih ada 33% responden menilai industri batubara menciptakan lapangan kerja, baik ekonomi jangka panjang (26%). Sebanyak 16% responden juga berpendapat batubara rawan korupsi.

 

Ilustrasi PLTA Singkarak. Foto: Riko Coubut

 

Saat dikerucutkan pertanyaan mengenai investasi angin dan surya, 51% responden Indonesia menilai ini baik untuk ekonomi jangka panjang, membantu menghentikan pemanasan global (43%), dan mengurangi polusi air dan udara (46%). Sebanyak 44%, juga menilai industri ini akan menciptakan lapangan kerja.

Survei ini, kata Direktur Center for Energy Research Asian (CERA) Adhiyanti Putri, harus jadi perhatian pemerintah Tiongkok. “Banyak hal positif didapat jika mereka mau investasi di energi bersih. Kita berharap Tiongkok memperhatikan ini karena mereka juga menyatakan ingin membangun reputasi lebih positif dan lebih hijau. Tiongkok bilang ingin BRI greener,” katanya.

Soal PLTU, Ditri menilai pemerintah bisa membatalkan atau mengganti proyek PLTU dengan energi bersih lain. Pemerintah punya pengalaman memutus kontrak PPA dengan PLTU Bekasi Power, misal, dan memberi kompensasi.

Di Tanah Kuning, rencana PLTU diajukan dalam BRI, juga ada PLTA didanai Tiongkok. “Mengapa tidak ini saja yang dibangun?” kata Dhitri.

 

Masih tawarkan pembangkit batubara

Pada pertemuan akhir April ini, Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menawarkan 28 proyek strategis, sekitar Rp1.200 triliun.

Pemerintah menyertakan empat syarat bagi Tiongkok untuk berinvestasi. Pertama, Indonesia tak mau menerima second class technology (teknologi kelas dua) dan harus teknologi ramah lingkungan.

Kedua, investor harus transfer teknologi kepada pekerja Indonesia. Ketiga, investasi itu harus mempekerjakan pegawai asal. Keempat, calon investor harus membangun industri yang bisa memberikan nilai tambah kepada produk Indonesia.

Pernyataan Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan sejalan dengan komitmen Presiden Xin Jiping saat membuka BRI Forum 2017. BRI harus sejalan dengan visi pembangunan hijau, rendah karbon dan berkelanjutan serta perlindungan terhadap lingkungan.

Sayangnya syarat yang diajukan Indonesia dan komitmen Tiongkok, belum sepenuhnya tercermin dari proyek yang ditawarkan terutama sektor energi. Indonesia mengajukan pembiayaan sejumlah proyek PLTU batubara lebih 2.000 MW di Kalimantan, Bali, dan Jawa.

“Sisi lain, komitmen China  yang ingin mendorong green development masih perlu ditagih. Terutama, karena keterlibatan dalam membiayai proyek-proyek energi yang memiliki dampak negatif bagi lingkungan,” kata Pius Ginting dari Perkumpulan Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).

Beberapa proyek BRI di Indonesia, seperti pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, pusat manufaktur nikel di Morowali, di dalamnya termasuk PLTU di Sulawesi Tengah, pusat industri aluminium dan baja di Kalimantan Utara. Juga zona ekonomi khusus di Bitung, Sulawesi Utara dan di Sei Mangkei, Sumatera Utara, perkembangan infrastruktur pariwisata Bali dan PLTU mulut tambang Sumsel V di Sumatera Selatan. Proyek-proyek ini tak berjalan mulus.

Di lahan seluas 55 hektar, para pekerja bergiat membangun PLTU Kalbar I. Mereka bekerja keras agar pembangkit bisa beroperasi selambat-lambatnya 2020. Mereka membangun PLTU milik PT GCL Indo Telaga, 65% saham perusahaan ini dimiliki oleh GCL Power Group asal Tiongkok, 35% Indonesia Power, anak perusahan PT PLN.

Enam bulan sejak pembangunan berjalan, warga menentang proyek PLTU. Warga Tanjung Gundul, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, mendesak perusahaan segera menemui warga untuk sosialisasi proyek.

Masyarakat berharap, aspirasi mereka diterima karena pelibatan warga lokal dalam proyek ini sangat minim.

“Menurut warga dari 100-an tenaga kerja, cuma ada tujuh atau delapan orang Tanjung Gundul, sisanya dari luar. Pekerja PLTU Kalbar I menuntut jaminan fasilitas kesehatan,” kata Pius.

Warga juga mengeluhkan pengangkutan bahan-bahan material proyek. Warga tak ingin kendaraan pengangkut material proyek melalui jalan eksisting. Perusahaan, seharusnya membuat jalur pengangkutan sendiri.

Bahkan, kata Pius, ada warga yang belum menerima ganti rugi lahan mereka, namun hak guna usaha sudah keluar.

Di Sumsel dana US$750 juta kucur oleh PT Shenhua Guohua Lion Power Indonesia (SGLPI) untuk membangun PLTU Sumsel I. Tiga institusi keuangan asal Tiongkok memberikan pinjaman US$528,6 juta untuk proyek ini. SGLPI, merupakan konsorsium China Shenhua dan Lion Power Energy, 75:25.

China Shenhua merupakan pemain relatif baru dalam pembangkit listrik batubara di Indonesia. PLTU Sumsel I tercatat sebagai proyek ketiga, setelah PLTU Simpang Belimbing dan PLTU Jawa VII, di mana China Shenhua pemilik saham mayoritas.

 

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali, sebenarnya tidak termasuk dalam RUPTL 2018-2027. Bali sendiri saat ini sudah kelebihan pasokan listrik. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kedua proyek, katanya, sedang tahap konstruksi, PLTU Simpang Belimbing sudah beroperasi.

“Warga mengeluh karena kebun sawit milik mereka tercemar lumpur dan terendam air,” kata Pius. Warga bilang, katanya, pengembang PLTU menutup anak sungai sekitar hingga air tak mengalir. Warga kesulitan beraktivitas di kebun, seperti memanen, memupuk, dan lain-lain.

Sepak terjang investasi Tiongkok pada pembangkit batubara juga ada di Bengkulu. Rintisan pertama PLTU Bengkulu berkapasitas 2×100 MW. Pembangkit ini disponsori PT Tenaga Listrik Bengkulu, dengan saham Power China 70%. Pembangkit ini memerlukan US$360 juta. Sekitar 75% pendanaan pinjaman dari Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) dan Export-Import Bank of China.

Organisasi lingkungan Kanopi mengungkap, sejumlah kejanggalan dalam dokumen analisis dampak lingkungan(amdal) proyek PLTU Bengkulu. Ada ketidakadilan ganti rugi tanam tumbuh saat pembebasan lahan.

Harga bayaran kepada warga jauh di bawah tertera dalam dokumen amdal. Kanopi mencatat, pembangkit listrik batubara melanggar hukum karena bertentangan dengan rencana tata ruang dan wilayah Bengkulu. Sejak sosialisasi proyek, katanya, warga menolak PLTU.

Akhir Mei 2018, sejumlah petani palawija menuntut PLTU. Aliran sungai kecil di sekitar kebun warga terhambat lantaran terbendung konstruksi.

Di waktu lain, petani terkejut dan resah setelah sekeliling kebun terpasang garis polisi. Kebun milik mereka jadi objyk perluasan proyek PLTU sebagai tempat pembuangan limbah.

Pertengahan Agustus 2018, petani menghentikan eskavator milik PLTU. iIi sebagai bentuk perlawanan karena mata pencarian mereka PLTU. “Konflik terjadi karena tidak ada sosialisasi kepada petani. Padahal, pembangunan pembangkit batubara berdampak besar bagi mereka.”

Proyek lain, PLTU Jawa VII dengan skema independent power producer yang dimiliki perusahaan konsorsium Shensua Guohua dan PT. Pembangkitan Jawa Bali. Masing-masing perusahaan memiliki saham 70% dan 30%. Pada awalnya, pembangkit ini memiliki kapasitas 2 x 1000 MW, namun mengalami perubahan kapasitas jadi 2 x 991 MW, sebagaimana tertera dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027.

China Development Bank, memberikan pinjaman sampai US$1,8 miliar untuk pembangunan proyek PLTU Jawa VII.

Ketika Presiden Joko Widodo meresmikan proyek PLTU Jawa VII, warga protes. Sedikit warga kerja di PLTU.

Presiden menjanjikan, warga sekitar banyak diterima bekerja di sana.

Nelayan tradisonal merasakan dampak buruk dari konstruksi PLTU Jawa VII di Banten. Lalu lintas tongkang pengangkut bahan konstruksi PLTU mengakibatkan ikan menyingkir. Nelayan mengubah area tangkap. Perubahan ini menyebabkan nelayan perlu modal operasional lebih tinggi untuk bahan bakar karena area tangkap makin jauh, dan biaya penerangan.

Apabila penerangan tak ada, katanya, sangat mungkin kecelakaan dengan tongkang pengangkut bahan konstruksi PLTU saat malam hari.

Nelayan rentan konflik dengan nelayan daerah lain. Perubahan area tangkap menyebabkan mereka harus berhadapan dengan nelayan tradisional daerah lain. Ia juga menyebabkan nelayan tradisional Banten harus bersaing di tengah-tengah penurunan ketersediaan ikan.

PLTU yang masuk dalam pertemuan BRI April ini, yakni PLTU Tanah Kuning-Mangkupadi 2×200 MW sampai 2 x 300 MW (Kalimantan Utara). Juga PLTU Mulut Tambang Kalselteng III (2 x 100 MW) dan Kalselteng IV (2 x 100 MW) serta PLTU ekspansi Celukan Bawang II, Bali.

PLTU Tanah Kuning-Mangkupai, kata Pius, kontra produktif dengan proses pembangunan listrik tenaga air (PLTA) VI Sungai Kayan, yang menghasilkan listrik 9.000 MW. Pembangunan dimulai dengan PLTA Kayan I hasilkan listrik 900 MW, akan beroperasi 2022.

“Pertimbangan pembangunan PLTU lebih cepat dari pembangunan PLTA cerminan ketidakberpihakan pada pembangunan rendah karbon,” katanya, seraya bilang, PLTA sudah dapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Pembangunan PLTU, katanya, pemborosan dan hasilkan dampak negatif mulai kerusakan lingkungan di daerah pertambangan batubara dan tambahan gas rumah kaca.

PLTU mulut tambang, katanya, kemungkinan besar dibangun di Kotawaringin Barat, bakal hasilkan emisi CO2 sekitar 1 juta ton pada tahun pertama beroperasi.

Tahun 2016, angka deforestasi Kalimantan Tengah seluas 44.726,3 hektar. PLTU mulut tambang biasa di daerah relatif terisolir dari investasi karena kualitas dan harga batubara rendah akan tingkatkan deforestasi.

RUPTL PLN mendata potensi sumber energi terbarukan, terutama air di Kalteng. Pengembangan listrik tenaga air dengan kapasitas terbatas akan sejalan dengan pelestarian hutan Kalteng.

Proyek keempat, PLTU Celukan Bawang, ekspansi di wilayah yang diprotes nelayan dan mendapat perhatian dunia internasional.

Gubernur Bali pun mendesak penghentian penggunaan batubara bagi PLTU Celukan Bawang.

Selain tak masuk dalam RUPTL, selama tiga tahun berturut-turut, PLTU Celukan Bawang jadi indikasi buruk koordinasi antar jajaran pemerintah karena ditawarkan dalam skema BRI.

Greenpeace Indonesia menyoroti, selain dampak sosial dan lingkungan dari pembangunan PLTU ada juga risiko Indonesia terjebak utang tawaran Tiongkok. Mengutip The Center for Global Development 2019, ada delapan negara menghadapi risiko tak bisa bayar utang kepada Tiongkok, yakni Djibouti. Kyrgystan, Laos, Maldives, Mongolia, Montenegggro. Pakistan dan Tajikistan.

 

Harus peka HAM

Human Rights Watch (HRW) juga menyoroti BRI ini. Dalam rilis mereka pada 22 April 2019, HRW mengatakan, Pemerintah Tiongkok harus memastikan pendanaan dan pekerjan proyek di bawah BRI ini harus memperhatikan hak asasi manusia (HAM).

Dalam BRI ini, Pemerintah Tiongkok, harus menetapkan persyaratan soal konsultasi serius dengan orang-orang atau masyarakat yang berpotensi terdampak proyek. Syarat ini juga harus memastikan masyarakat terdampak bisa bebas dan terbuka mengekspresikan pandangan mereka tanpa takut akan pembalasan. Pemerintah lain, PBB, dan lembaga keuangan harus menekan Beijing untuk mengadopsi perlindungan semacam itu.

“Beijing klaim mereka berkomitmen bekerja bersama negara-negara lain untuk mendorong pembangunan ramah lingkungan dan sehat. Tetapi praktik sejauh ini menimbulkan beberapa keprihatinan serius,” kata Yaqiu Wang, periset HRW untyk China.

Dia bilang, kritikan untuk proyek BRI ini, antara lain, minim transparansi, mengabaikan keprihatinan masyarakat, dan ancaman degradasi lingkungan, menyarankan komitmen dangkal.”

Dalam beberapa tahun ini, katanya, proyek-proyek BRI ini belum mengungkapkan penilaian dampak lingkungan dan sosial maupun cukup berkonsultasi dengan masyarakat lokal terdampak.

Praktik itu, katanya, juga tak konsisten dengan kewajiban negara di bawah hukum HAM internasional soal lingkungan sehat dan berkelanjutan.

Beberapa proyek BRI, katanya, juga menuai kritik karena memfasilitasi korupsi, perjanjian pinjaman yang tak transparan, dan kontrak tak kompetitif yang mengharuskan penggunaan perusahaan Tiongkok.

Di tengah-tengah biaya proyek yang meningkat, beberapa negara penerima BRI, seperti Djibouti, Pakistan, dan Maladewa, berada dalam risiko tinggi kesulitan utang, berpotensi mengalihkan sumber daya pemerintah yang terbatas dari layanan-layanan penting ke pembayaran utang.

 

Keterangan foto utama:  Ilustrasi.  Satu penelitian menyebutkan, negara-negara yang ikut serta dalam BRI cenderung memilih energi terbarukan, paling banyak energi surya. Foto : GGGI

 

Exit mobile version