Mongabay.co.id

Jaga Kelestarian Bambu, Tanaman Penyerap Air yang Penting buat Warga

 

Desa Muara Danau adalah salah satu desa yang berada di kawasan Hutan Lindung Jambul Asahan. Lokasi ini merupakan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Menjaga kesedian air dan menghindar ancaman longsor telah dilakukan sejak lama oleh leluhur suku Semende, puak dari warga Desa Muara Danau. Warga Semende sendiri tinggal di wilayah Bukit Jambul Asahan dan Bukit Jambul Gunung Patah, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan.

Leluhur, -lewat kearifan lokal, menanami beragam jenis bambu dan beringin di tepian sungai dan kaki-kaki bukit.

Namun, bertambahnya penduduk dan kebutuhan ekonomi makin membuat wilayah bambu dan beringin menyempit. Lahan banyak berubah menjadi kebun-kebun kopi. Berkurangnya tanaman penyerap air, ternyata berpengaruh pada tanaman pangan milik masyarakat.

Baca juga:Menjalankan Amanat Leluhur, Suku Basemah Jaga Hutan Adat Sumber Mata Air

“Dulu tanam padi dua kali setahun. Sekarang satu kali, karena saat musim kemarau jumlah air mulai berkurang,” sebut Tasriani (49). Dia salah satu tokoh tani perempuan di Muara Danau.

 

Persawahan di Desa Muara Danau. Ketersediaan air menjadi penting untuk area persawahan. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tasriani pengurus Kelompok Tani Tebat Mampur dan anggota LPHD (Lembaga Pengelola Hutan Desa) Muara Danau. Desanya termasuk dalam bentang lahan Bukit Jambul Asahan.

“Sekarang, salah satu upaya yang kami lakukan, yakni mempertahankan tanaman bambu dan beringin, baik yang berada di bukit maupun tepian sungai. Ini bagian dari amanah leluhur kami,” katanya (30/03).

Apalagi di wilayah hunian mereka sekarang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan adat oleh pemerintah sejak 2014. Yaitu, lewat SK Menteri Kehutanan No.622/Menhut-II/2014.

“Artinya, dengan adanya SK kami dapat membangun komitmen untuk jaga hutan bambu dan beringin yang sangat baik untuk menjaga air.”

Bambu memang sangat dekat dengan budaya masyarakat Desa Muara Danau.

Sungai yang berhulu di hutan desa pun dinamai Sungai Betung. Dari namanya saja, dapat ditebak ini mengacu ke jenis tanaman bambu, yaitu bambu betung.

Sungai ini merupakan salah satu anak sungai yang bermuara ke Sungai Musi. Posisinya berada diantara Bukit Karetan 1 dan Karetan 2.

Total warga marga Semende yang menetap di Kecamatan Semende sekitar 36,5 ribu jiwa. Tersebar dan bermukim di Kecamatan Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu dan Semende Darat Tengah.

Masyarakat Semende hidup dari pertanian, khususnya padi dan sayuran. Sementara pendapatan ekonomi mereka ditopang dari berkebun kopi yang umumnya berjenis robusta. Hanya sebagian kecil yang berkebun karet.

 

Tasriani (49), seorang petani di Desa Muara Danau. Dia ingin agar air kembali melimpah di desanya. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mempertahankan yang ada

Dampak dari penjagaan tanaman bambu dan beringin saat ini memang belum memberi perubahan signifikan atas debit volume air pada saat musim kemarau.

“Namun setidaknya kami tidak mengalami krisis air pada musim kemarau. Mungkin butuh beberapa tahun lagi menunggu sampai tanaman bambu dapat kembali rimbun,” ucap Tasriani.

Selain bambu, mereka pun menanami sejumlah tanaman sela di perkebunan kopi, seperti durian, petai dan jengkol. Jelasnya, tanaman ini diharapkan jadi tanaman keras naungan.

Marhamidi (53), warga desa yang punya kebun kopi seluas dua hektar, menjelaskan jika sekitar 30 tahun lalu air di Muara Danau amat melimpah. Namun saat ini memang kondisinya berbeda.

“Di Sungai Betung terdapat sejumlah antan delapan (kincir air) untuk menggiling padi. Jika mau dibuat lagi kini rasanya sulit. Sebab di musim penghujan bae airnya tidak sampai setengah meter,” jelas Marhamidi.

Menurut Tasriani, sebenarnya tanaman bambu di Muara Danau, harusnya dapat dipulihkan kembali seperti di masa lalu. Syaratnya, masyarakat mau turut menanam bambu jika tanaman ini bernilai ekonomi.

“Entah untuk industri kerajinan, bahan papan dan sebagainya. Termasuk menghidupkan kembali turbin-turbin air, jadi bisa juga berkurang ketergantungan pada energi BBM.”

Sekarang dari sekitar 110 KK yang turut mengelola hutan adat desa seluas 260 hektar, belum banyak yang menanam bambu dan beringin. Untuk beringin, alasannya kurang rasional.  Masyarakat beranggapan tanaman tersebut tempat tinggal mahluk halus, padahal tanaman ini tanaman penyimpan air.

“Banyak yang takut tanam beringin. Dinilai rumah jin, jadi dulu banyak yang tebang,” ungkap Artam (32) warga Muara Danau lainnya.

Juga karena masih menganggap bambu sebagai tanaman yang belum banyak nilai ekonomi. “Mungkin banyak yang bakal tanam bambu di sela kopi, kalau ada harga atau banyak yang membelinya.”

 

Tanaman bambu di tepian Sungai Betung, Desa Muara Danau, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muaraenim, Sumsel. Bambu penting sebagai tanaman penjaga air. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya air

Bambu bagi warga Desa Muara Danau, sebenarnya banyak digunakan untuk beragam peralatan rumah tangga. Seperti bahan anyaman hingga jadi sumber pangan warga.

“Rebung bambu betung, dijadikan lauk setiap keluarga di sini. Dalam seminggu dipastikan tiap keluarga konsumsi rebung,” ujar Tasriani. Rutin mengkonsumsi rebung, bagi warga dipercaya dapat menghindarkan mereka dari penyakit kronis seperti kanker.

Di tetangga Muara Danau, desa-desa di Semende Darat Ulu masih banyak ditemukan tanaman bambu di tepian sungai dan kaki perbukitan.

Baca juga: Hutan Desa Semende untuk Jaga Tradisi Kebun Kopi Bukit Barisan

“Memang saat ini sedikit berkurang, tapi karena fungsinya sebagai penahan longsor ke sungai. Bambu masih banyak dijumpai di sepanjang tepian sungai dan tidak ditebangi warga,” kata Samlon (50), warga Desa Tanjung Agung yang juga ketua LPHD di desanya.

Bahkan seperti di Dusun III, Desa Tanjung Agung, Kecamatan Semende Darat Ulu. Utuhnya tanaman bambu, berbuah dengan lancarnya aliran air. Di dusun itu dapat dijumpai lima turbin air yang dapat menerangi sekitar 94 rumah.

Alhamuddin (43), salah seorang warga Dusun III, mengaku bersyukur wilayah hutan di dusunnya masih utuh. Bambu pun masih banyak ditemukan di sepanjang tepian sungai dan tidak ditebangi warga.

Dengan adanya turbin, warga menjadi mandiri energi. Biayanya perawatannya pun murah, setiap warga hanya ditarik Rp5.000 per keluarga per bulan.

“Turbin ini kami upayakan secara mandiri sejak 15 tahun lalu. Waktu itu, biaya pembuatannya sekitar 35 juta per turbin, hasil pumpunan warga,” sebut Alhamuddin.

“Tapi tentu jika hutan habis, karena dibuka untuk kebun kopi semua, mungkin turbin ini tidak dapat digunakan lagi. Padahal air amat penting bagi hidup kami,” pungkasnya.

 

Video: Menjaga Amanah Leluhur di Semende

 

Exit mobile version