Mongabay.co.id

Ketika Sungai Ciliwung Meluap, Jakarta Kebanjiran

Warga di dekat Bantaran Kali Ciliwung, harus merasakan banjir parah kala sungai meluap. Rumah mereka terendam dan mulai surut. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Sutarno, tampak sibuk menyiram air ke lantai rumahnya yang sempat terendam banjir pada Sabtu pagi (27/4/19) itu. Baju putih yang dia kenakan terciprat lumpur. Kaki, tangan tampak kotor. Cat rumahnya yang berwarna putih pun tampak berlumpur.  Anak-anaknya sibuk menyapu sekaligus mengepel lantai rumah yang terletak di RT02/RW07 Kelurahan Rawa Jati Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Lantai rumah itu terlihat kosong. “Barang-barang sudah diangkut semua ke lantai atas,” kata lelaki setengah abad itu.

Pemandangan serupa terjadi di 250 rumah lain di kawasan itu. Rumah mereka tak luput dari banjir. Terendam. Kalau rumah tak bertingkat, warga terpaksa mengevakuasi barang-barang ke jalan raya atau Puskesmas, sekaligus posko banjir.

Bagi Sutarmo, banjir ini sudah agenda tahunan. Kamis (25/4/19), hujan deras turun cukup lama di Bogor, Jawa Barat, menyebabkan kenaikan muka air Sungai Ciliwung hingga meluap.

Pada Jumat malam (26/4/19), dia menerima pesan singkat menginformasikan, agar warga di Rawa Jati bersiap-siap banjir karena Bendung Katulampa, sudah siaga satu.

“Pukul 8.00 malam ada petugas memberitahukan kepada warga agar bersiap-siap karena siaga satu. Sampai malam, kami tak bisa tidur. Saat adzan subuh air terus naik sampai Jumatan selesai. Mulai surut lagi. Sampai magrib kemarin sore, sudah surut. Semalam air masuk lagi. Ketinggian sampai dua meter.”

 

Warga mulai membersihkan rumah dan pekarangan di Rawa Jati, Jakarta Selatan, karena air banjir sudah surut. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Jakarta, katanya, sejak era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, berencana merevitalisasi sungai ini. Warga sekitar, katanya, sebagian besar sudah setuju relokasi.

“Saya kira sudah selesai karena kemarin kan sudah ada program revitalisasi kali, kan ternyata belum. Kita gak tahu, mau diterusin atau nggak? Rumah-rumah warga sudah diukurin, katanya mau direvitalisasi. Kemarin kan ada hambatan, ada pemilu, jadi mungkin tertunda. Revitalisasi Kali Ciliwung ini sudah sejak zamannya Pak Ahok. Sebagian di daerah sana sudah, yang di sini akan setelah Lebaran,” katanya.

Dia berharap, proses relokasi seperti janji Pemerintah Jakarta bisa benar-benar terealisasi. “Kalau mau diteruskan relokasi, ya silakan saja. Ini kan sertifikat tanah kami sudah diurus. Jadi nanti tinggal penghitungan, apakah relokasi atau dibangun apa, ya silakan. Inginnya kita sih ya direlokasi saja.”

“Tanah kita dibeli pemerintah, warga bisa pindah ke tempat lain. Warga juga sudah pada setuju.”

Sutarmo bilang, sudah tinggal di daerah itu selama 35 tahun. Meski setiap tahun banjir, dia tak punya pilihan lain selain bertahan.

Berbeda dengan Juariah, juga warga Rawa Jati. Dia mengatakan, banjir mulai menggenangi rumah sejak Jumat. Air mulai masuk sejak pukul 3.00 dini hari. Sekira pukul 04.30, air kian meninggi, sampai setinggi pintu rumah. Rumah terendam, barang-barang sebagian berhasil diselamatkan ke lantai dua, sebagian hanyut.

“Ini banjir setiap tahun. Bulan ini sudah dua kali. Sudah sempat surut, tetapi tak lama air masuk lagi. Harapannya, ya jangan banjir lagi. Jangan digusur juga. Kita ke mana-mana kan enak. Transportasi juga enak. Saya sih gak mau digusur, kan saya juga disuruh membuat sertifikat. Sampai sekarang belum selesai.”

Menurut perempuan yang sudah bermukim di Rawa Jati, sejak 47 tahun lalu, banjir sudah sejak 1975. Namun, katanya, dulu tak begitu parah. Banjir mulai parah sejak 2007.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam keterangan pers yang diterima Mongabay mengatakan, banjir Jakarta menyebabkan dua orang meninggal dunia dan 2.258 Jiwa mengungsi. Korban meninggal, Imas, kecelakaan terseret arus Kali Ciliwung di Kelurahan Kebon Baru, Jakarta Selatan. Satu lagi, Suyanto, meninggal karena serangan jantung di Kelurahan Bidara Cina, Jakarta Timur. Ribuan warga masih mengungsi di beberapa titik.

 

Warga di Jakarta Selatan, mulai membersihkan rumah mereka usai air banjir surut. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan laporan Pusdalops BPBD Jakarta, setidaknya ada 32 daerah terdampak banjir, seperti di Jakarta Selatan (Kelurahan Pengadegan, Rawa Jati, Cikoko, dan Kebon Baru). Di Jakarta Timur (Kelurahan Cawang, Balekambang, Cililitan, Kampung Melayu dan Bidara Cina). Ketinggian air genangan air rata-rata 100-250 sentimeter.

“Pusat Data dan Informasi Kebencanaan memberikan peringatan dini kepada masyarakat di bantaran Sungai Ciliwung, melalui SMS blast saat Bendungan Katulampa dan Pintu Air Depok mengalami kenaikan status Siaga I. Tim piket BPBD menilai dan koordinasi dengan kelurahan terdampak,” kata Sutopo.

 

Apa aksi Pemerintah Jakarta?

Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengatakan, Pemerintah Jakarta merespon cepat status Siaga I di Bendung Katulampa dengan menyiagakan seluruh jajaran di titik-titik terdampak banjir. Dia bilang, air kiriman dari Bogor.

Untuk menangani banjir, Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jakarta, telah menyiapkan pompa 133 pompa mobile dan 465 pompa stasioner tersebar di 164 lokasi. Dinas SDA Jakarta melalui Satgas SDA kecamatan menangani banjir dengan penyedotan pakai pompa dan pembersihan tali-tali air dibantu PPSU kelurahan dan pengangkutan sampah-sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup Jakarta.

“Di Pintu Air Manggarai ketinggian air mencapai puncak, artinya fase puncak aliran air dari Ciliwung sudah terlewati. Salah satu penyebab volume aliran air berlimpah itu sampah yang ikut hanyut terbawa aliran sungai hingga menggunung di Pintu Air Manggarai. Tumpukan sampah ini mencapai 170 ton kurang 24 jam,” katanya.

Sampah itu, katanya,  terbawa aliran Sungai Ciliwung. Dia mengklaim, biasa tak ada volume sampah sebanyak ini.

“Dari info Kadis Lingkungan Hidup, volume 170 ton sampah kurang 24 jam. Ini tim bekerja terus non-stop angkut sampah agar tidak menganggu aliran air.”

Anies mengatakan, Pemprov Jakarta akan terus membenahi soal banjir Jakarta ini, terutama  kiriman dari hulu. Jadi, katanya, langkah paling tepat menahan air sebanyak-banyaknya di hulu agar volume  ke Jakarta tak terlalu besar dan menyebabkan banjir.

“Situasi seperti ini membuat kita harus membangun lebih banyak waduk penampung air sebelum masuk Jakarta. Kalau hanya bereskan di Jakarta, tidak ada artinya. Mengapa? Karena nanti akan berhadapan dengan permukaan laut  lebih tinggi daripada permukaan sungai. Justru yang harus dibereskan, bagaimana air ditahan di hulu, hingga volume air di Jakarta terkendali.”

 

Luapan banjir di Jakarta, sudah surut, kini menyisakan lumpur. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, Pemerintah Pusat  membangun  dua waduk di Ciawi dan Sukamahi, Kabupaten Bogor, target  rampung Desember 2019. Meskipun begitu, Pemerintah Jakarta  akan berupaya mengatasi  banjir dari hilir dengan membangun kolam-kolam retensi.

Sampai Sabtu, pukul 18:00 , banjir sudah surut di beberapa titik, seperti di Kelurahan Lenteng Agung RW07, Kelurahan Srengseng Sawah RW01, Kelurahan Cikoko RW01 dan Pejaten Timur RW05-08. Pasca banjir, Satgas SDA kecamatan membersihkan  lumpur di titik lokasi yang  surut.

 

Persoalan lingkungan

Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta mengatakan, mengatasi persoalan banjir Jakarta, antar pemerintah harus berhenti saling lempar tanggungjawab. DAS Ciliwung, katanya, tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Saling lempar tanggungjawab, hanya memperlihatkan koordinasi antarpemerintah  lemah.

“Upaya mitigasi banjir masih lemah. Tidak cukup hanya pemberian informasi saat banjir akan tiba. Adaptasi masyarakat juga perlu diperkuat. Ini harus jangka panjang,” katanya.

Masalah DAS Ciliwung, katanya, tak dapat terpisahkan antara pengelolaan air sebagai sumber daya dan pemulihan kualitas. Selama ini, penyebab utama banjir adalah alih fungsi kawasan serapan jadi komersil seperti pusat perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain.

“Perlu ada keberanian dari Pemerintah Jakarta untuk menindak. Selama ini, pemerintah tak konsisten,” katanya.

Selain itu, katanya, upaya Pemerintah Jakarta, mengatasi krisis sungai belum menunjukan kemajuan. Padahal, katanya, laporan Pemerintah Jakarta, sendiri sudah mengungkapkan mayoritas sungai di Jakarta mengalami beban pencemaran berat.

 

Warga Jakarta Selatan, bergotong royong membersihkan lumpur bekas banjir. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Konsep naturalisasi sungai yang sering disebut Pemprov Jakarta, katanya, belum jelas menjawab bagaimana menyelesaikan krisis sungai-sungai di Jakarta. Termasuk, juga pergub terbaru tentang pembangunan dan revitalisasi prasarana sumber daya air terpadu dengan konsep naturalisasi.

“Pergub ini masih belum menjawab bagaimana pemulihan kualitas sumber daya air. Artinya, masa depan kualitas sungai di Jakarta, belum memiliki kepastian,” katanya.

Tubagus menyarankan, Gubernur Jakarta, dengan kewenangannya agar audit dan kaji ulang perizinan seluruh industri di Jakarta yang berpotensi mencemari sungai, termasuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah lain di sekitaran Jakarta.

“Juga pengawasan ketat dan penegakan hukum. Agenda penanganan banjir belum juga terlihat sampai saat ini. Pergub ini juga minim membuka ruang pelibatan warga, meskipun disinggung dalam beberapa pasal. Tidak pada proses perencanaan dan pelaksanaan,” katanya.

Soal rencana Pemprov Jakarta, merelokasi warga di sekitar bantaran Sungai Ciliwung, kata Tubagus, harus dibicarakan secara partisipatif dengan warga. Tak boleh melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.

“Jangan juga warga jadikan kambing hitam atas kegagalan pemerintah mengontrol alih fungsi kawasan serapan air. Perlu ada penataan, bisa juga dubangun pemukiman adaptif terhadap banjir,” katanya.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, persoalan banjir di Jakarta, selama ini tidak pernah ditangani komprehensif dari hulu ke hilir. Solusi selama ini hanya bersifat jangka pendek dengan pendekatan lama, seperti betonisasi mempercepat laju aliran air menuju laut.

“Juga perlu dicek, apakah pulau-pulau reklamasi juga ikut berpengaruh pada parahnya kejadian banjir saat ini. Evaluasi terhadap pulau reklamasi eksisting perlu dilakukan. Jika terbukti memperparah banjir di Jakarta, sebaiknya pulau-pulau itu dibongkar saja,” katanya.

Yaya, begitu biasa disapa mengatakan, Jakarta, harus berbenah dengan serius sambil perbaikan-perbaikan jangka panjang. Dia contohkan, jangka pendek, perbaikan saluran drainase. Pengangkutan sampah di sungai harus masif. Pengerukan sedimen juga harus terus menerus.

“Jangka panjang, perlu ada pembicaraan dengan Pemkot Bogor. Mungkin perlu ada beberapa waduk retensi. Juga memperbanyak wilayah-wilayah tangkapan air di sepanjang daerah aliran sungai. Mulai hulu hingga hilir.”

Yaya mengatakan, di Jakarta, sudah saatnya memoratorium pembangunan karena wilayah resapan air minim. Juga perlu ada peta jalan komprehensif untuk penanggulangan banjir dan pengelolaan daerah aliran sungai yang melibatkan multipihak.

“Jangan lagi penanganan parsial dan tak terhubung satu sama lain. Seperti yang terjadi saat ini.”

Soal naturalisasi sungai yang dilontarkan Pemprov Jakarta, katanya, jangan sampai hanya menagdopsi istilah tetapi tak memahami makna dan konsekuensi.

“Naturalisasi itu counter dari pendekatan betonisasi seperti yang diaplikasikan saat ini. Mesti direncanakan dari hulu sampai hilir karena akan memerlukan ruang atau wilayah cukup luas sebagai daerah yang didesain untuk direndam jika curah hujan terlalu banyak, semisal di hilir,” katanya.

Naturalisasi, katanya, juga biasa melakukan pembongkaran beton-beton di sepanjang aliran sungai dengan mengembalikan pinggiran sungai sebagaimana kondisi alamiah. “Ini perlu ada pembicaraan luas dengan warga sekitar aliran sungai. Sedikit banyak akan berdampak kepada warga.”

Pemprov Jakarta, katanya, perlu melibatkan ahli-ahli perencanaan kota, ahli lingkungan, hidrologi, arsitektur, ekologis dan lain-lain. “Para ahli yang memiliki perspektif mengutamakan keadilan pemanfaatan ruang hidup di kota bagi seluruh lapisan dan kelas masyarakat.”

 

 

Keterangan foto utama:      Warga di dekat Bantaran Kali Ciliwung, harus merasakan banjir parah kala sungai meluap. Rumah mereka terendam dan mulai surut. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version