Mongabay.co.id

Menilik Pabrik Smelter Nikel di Bantaeng

Pelabuhan PT Citra Lampia Mandiri. Tampak tongkang dengan nikel mentah. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pajjukukang. Begitu nama satu kecamatan di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Wilayah pesisir ini dinilai kering, dan lahan tak produktif. Di kampung ini berdiri pabrik pengelolaan nikel di atas lahan seluas 50 hektar.

Sabtu, 26 Januari 2019, Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan, dalam perjalanan dari Makassar bersama rombongan termasuk wartawan, meresmikan pabrik nikel itu.

Bagi Nurdin, juga mantan Bupati Bantaeng dua periode (2008-2013 dan 2013-2018), pembangunan smelter adalah prioritas. Dalam sambutan dia bilang, ibarat mimpi jadi kenyataan.

Bantaeng, kata Nurdin, wilayah kecil yang dulu tak pernah dilirik. Wilayah tak punya nikel, tetapi memiliki pabrik pengelolaan. Kelak, serapan tenaga kerja bagi warga lokal, ditargetkan sampai 2.000 orang.

Adalah PT Huadi Nickel-Alloy. Perusahaan pengelolaan nikel di Shanghai, Tiongkok, yang bekerja sama dengan PT Duta Nikel Sulawesi. Bermula pada 2012, Huadi mendasari investasi dari UU Nomor 4/2009, soal pertambangan mineral dan batubara, yang menyatakan bahan mentah tak bisa ekspor. Melalui penjajakan dan kesediaan listrik, Bantaeng pun jadi salah satu tujuan.

“Bantaeng, jadi tempat yang dalam studi kelayakan masih berpotensi memberikan keuntungan dalam bisnis,” kata Lily Candinegara, General Affair and External Relation Manager Huadi.

Memilih Bantaeng, katanya, jadi prioritas karena sudah memiliki kawasan industri. “Jika berbentuk kawasan, harapannya dapat mengakomodir semua kepentingan usaha termasuk dengan pengelolaan limbah dan lingkungan yang jadi persyaratan industri.”

 

Aktiitas di pabrik smelter PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Ritha Latippa, HR Manager PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia. Ritha, keluarga dekat Nurdin Abdullah, mereka satu fam sebagai Latippa. Bangsawan Bantaeng bergelar Karaeng.

Juni 2017, Mongabay dan LSM Balang mengadakan diskusi mengenai kawasan industri di Bantaeng. Ritha hadir sebagai perwakilan perusahaan. Dia bicara mengenai prusahaan menjalankan praktik keterbukaan dalam beroperasi. Saat itu, perusahaan dalam tahap kontruksi.

November 2018, Huadi ekspor. Januari 2019, peresmian pabrik smelter sekaligus ekspor ke 15 kali. Beberapa orang yang hadir bertanya-tanya. Wakil Bupati Bantaeng, Sahabuddin, ikut meramaikan kebahagiaan itu.

Dia acapkali bertanya, “Di peresmian itu saya baru tau kalau sudah belasan kali ekspor. Selama ini, kami pikir masih tahap pengerjaan,” katanya.

Bukan tanpa sebab, Sahabuddin, sebelum jadi Wakil Bupati menjabat Ketua DPRD dari Partai Keadilan Sejahtera (2013-2018). “Tak ada laporan. Tak ada kabar, tahu-tahu sudah seperti itu. Beroperasi.”

Saya berbincang dengan Sahabuddin, di rumah jabatannya di Jalan poros Bantaeng-Bulukumba. Berkali-kali dia menarik napas panjang, saat akan mengurai proyek investasi smelter.

“Suatu kali, kami ada rapat di dewan. Perwakilan perusahaan (Huadi) ikut pula. Ada banyak pertanyaan hingga deadlock,” katanya.

Teman-teman di DPRD, katanya, selalu meminta dokumen analisis dampak mengenai lingkungan (Amdal). “Selalu saja dijanjikan tetapi hingga masa jabatan saya selesai, tak pernah lihat barang itu,” katanya.

Ketika ditanyakan apakah meminta atau menyurati ke instansi terkait. “Itu pasti kami lakukan. Masa itu, semua dijamin bupati (Nurdin Abdullah). Bupati selalu bilang, ‘adami itu. Sudah lengkap.’ Itu bahasanya.”

Saya mencoba menghubungi gubernur melalui pesan singkat untuk mendapatkan tanggapan. Tak berbalas. Dalam masa jabatannya, dia membuat Tim Percepatan Pembangunan Daerah. Nama-nama yang menduduki jabatan, sosok-sosok yang dekat dengan bisnis sawit dan tambang.

Salah satunya, nama koordinator ketahanan pangan ada Prof Ambo Ala, juga komisaris di PTPN XIV. Untuk percepatan pembangunan di Luwu Raya, ada Bustam Titing, juga memiliki usaha pertambangan di Sulawesi Tengah. Padahal, tak lama setelah dilantik, dalam wawancara di Mongabay, gubernur menyebutkan, Sulsel, bukan untuk sawit dan tambang.

 

 

 

Melihat hulu hilir nikel

Pabrik dua tungku (furnace) Huadi sedang beroperasi jelang siang, Maret 2019. Saya melihat dari pinggiran pantai, yang berhubungan dengan Laut Flores. Asap keluar dari cerobong.

Tungku itu hasilkan produk nikel batangan setengah jadi yang disebut ferronickel. Tungku-tungku itu bekerja saban hari hasilkan sekitar 50.000 metrik ton. Ia akan terus digenjot hingga 200.000 metrik ton.

Huadi mendapatkan pasokan nikel mentah dari wilayah-wilayah lain mulai Malili di Sulawesi Selatan, Kolaka, Bombana, dan Kolaka Utara di Sulawesi Tenggara, sampai Buton.

Lily tak ingin menyebut nama-nama perusahaan yang mamasok bahan baku ke pabrik itu. “Supplier-nya keberatan disampaikan namanya,” katanya, dalam pesan singkat.

Dalam notulensi rapat di Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan, 21 November 2018, menuliskan, salah satu penyuplai bahan baku tambang ke Huadi adalah PT Citra Lampia Mandiri. Perusahaan ini memegang izin usaha pertambangan (IUP) di Desa Harapan, Kecamatan Malili, dekat Sungai Pongkeru, seluas 2.660 hektar.

Dalam lembaran informasi di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulsel, 6 Februari 2018, untuk perpanjangan pertama izin usaha pertambangan operasi produksi nikel, 85% saham Citra Lampia Mandiri, dikuasai PT Asia Pasific Mining Resources. Sebanyak 15% saham Insiyur Isrullah Achmad.

Asia Pacific Mining Resources, didirikan 1999 dan berpusat di Jakarta Selatan. Ini perusahaan penambangan dengan wilayah eksplorasi batubara di Kalimantan Selatan dan Timur, serta Sumatera. Melayani pelanggan untuk kebutuhan pembangkit listrik, dan operasi produksi semen, baja, kimia, tekstil, atau kertas, di Indonesia, India, Tiongkok, Thailand, Malaysia, dan Filipina.

Notulensi DLHD Sulsel, adalah dari rapat dengar pendapat yang menghadirkan perwakilan Huadi, Citra Lampia, dan Dinas Lingkungan kabupaten. Sembilan perwakilan masing-masing bicara dalam pertemuan itu.

Citra Lampia, dianggap tak memiliki izin pemanfaatan terminal khusus dalam pengangkutan bahan baku tambang. Huadi, seharusnya menghentikan segala aktivitas sebelum perbaikan amdal.

Semua berjalan seperti biasa. Rapat seakan tak ada apa-apanya.

Pada Januari 2019, ketika Gubernur Sulsel, meresmikan smelter di Bantaeng, pengurusan dokumen lingkungan masih proses. Belum ada kepastian.

 

Aktifitas PT PUL, di Jalan Poros Ussu-Malili. Bahan baku perusahaan ini juga dikirim ke Bantaeng. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Sebelum dengar pendapat, Citra Lampia, sudah mengapalkan empat kali bahan baku nikel menuju Bantaeng. Pada pengapalan kelima, pengiriman disetop. Perusahaan ini jadikan terminal ex-Zedco yang dibangun oleh PT Panca Digital Solution (PDS) sebagai terminal sementara.

PDS di Kecamatan Malili, Luwu Timur, beroperasi sejak 2007, juga mengeruk nikel. Pada 2011, perusahaan berhenti beroperasi karena aturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang tak membolehkan menjual bahan mentah tanpa ada pabrik pengelolaan di dalam negeri. Setelah izin lebih longgar, PDS kembali aktif awal 2019.

Citra Lampia, melewati jalan tambang dalam IUP PDS, meski sudah memiliki kerjasama. Pada 14 Maret 2019, saya menemui Andi Tabacina, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Luwu Timur.

Hari itu, jelang siang, ada seremonial dihadiri beberapa pejabat kabupaten hingga anggota legislatif.

Sebuah tenda besi berdiri di terminal pengapalan. Hujan mengguyur pada malam sebelumnya membuat tanah jadi lengket. Ratusan ribu metrik ton setok bahan baku PDS terlihat menyerupai bukit di sekitar pelabuhan.

Orang-orang ini berkumpul untuk menanam mangrove di samping pelabuhan (jetty). Presiden Direktur PDS, Witman Budiarta mengatakan, aksi menanam ini bentuk kepedulian perusahaan menjaga ekosistem. “Kami akan menanam 5.000 pohon-an di lahan seluas dua hektar,” katanya.

Tabacina mengatakan, pemilik pelabuhan itu kerjasama antara PDS dan Citra Lampia.

Jimmy Maya Rasywan, wakil direktur Citra Lampia Mandiri, dua hari setelah itu mengatakan, pemilik pelabuhan adalah Citra Lampia.

“Silakan cek ke instansi terkait. Kami yang punya itu. Secara hukum, izin ada pada kami. Kalau tak percaya, tongkang di sana punya kami (Citra Lampia),” katanya.

Pada 2018, Citra Lampia, juga dituding membuat Sungai Pongkeru berwarna coklat. Beberapa pemuda desa protes namun selesai di meja perundingan.

“Bagi kami itu kritik. Menjaga alam tetap lestari dalam proses penambangan bukan usaha perusahaan sendiri. Harus multi pihak.”

“Tapi ingat jugalah, apakah karena proses penambangan kami semua jadi keruh? Harus liat juga di kawasan ini saya kira marak pula illegal logging.”

Jimmy senang bercerita. Saat kami bertemu, dia mengajak saya ke kedai kopi, dengan alasan kantor sedang ramai. Di kedai, dia juga mengajak dua wartawan lokal, yang dia kenalkan sebagai kawan.

“Saya pernah jalan bersama Pak Jimmy, lihat proses penambangan. Saya kira kita tak boleh menyalahkan perusahaan. Itu data lapangan,” kata seorang wartawan.

“Saya tak ingin menutupi apa-apa di perusahaan. Kita akan perlihatkan proses penambangan yang baik,” kata Jimmy.

Citra Lampia menargetkan, penambangan setiap bulan 100.000 metrik ton, kadar nikel 1,8. Bahan baku nikel ini, disimpan di tempat penumpukan (stockpile) berjarak lima km, dari pelabuhan. “Jadi, apakah bahan tambang kami mengotori laut, jaraknya sangat jauh. Saya kira itu tak mungkin.”

Dalam proses muat dari pelabuhan ke tongkang, tanah urukan itu jatuh ke laut. Di kawasan itu, saya menyaksikan sendiri bagaimana dasar laut jadi merah dan penuh lumpur.

 

Nelayan penjala ikan di Pa’jukukang dengan latar belakang pelabuhan PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Benarkah tak punya limbah B3?

Jos Stefan Hidecky, Direktur Utama Huadi Nickel-Alloy, menerima saya di ruangan pertemuan perusahaan. Sebuah ruangan kecil kelihatan sesak karena meja rapat dan satu set sofa di bagian lain.

Dia mengenalkan tentang pabrik pengolahan nikel, yang menggunakan energi listrik. Memiliki dua tungku (furnace) dengan kapasitas 40 MW.

Investasi pembangunan smelter di Bantaeng memerlukan sekitar US$40 juta. Dua tungku saat ini menghasilkan 150 metrik ton per hari dan 4.200 metrik ton setiap bulan atau 50.000 metrik ton setiap tahun. Ini bakal merencanakan pembangunan tahap kedua pada akhir 2020, untuk target produksi 200.000 metrik ton.

Produk akhir Hudi menghasilkan ferronickel. Sebuah bahan setengah jadi yang mengandung kadar nikel (Ni) 10-15%. Selebihnya, kandungan besi. Ferronickel berbentuk batangan. Batangan-batangan inilah yang dikapalkan menuju Shanghai di Tiongkok, melalui Makassar.

Perjalanan dari Makassar menuju Tiongkok sekitar 10 hari. Setiap pengiriman pakai kontainer 500-1.000 mterik ton. “Rata-rata seperti itu. Kami tidak tetap, jadi itu (500-1.000 metrik ton) adalah minimal dan maksimal,” kata, Jos.

Kawasan pabrik smelter Huadi, berada tepat di Jalan poros Bantaeng–Bulukumba. Pintu utama berhadapan langsung dengan pelabuhan. Aktivitas pelabuhan ini sebelumnya sempat ribut dengan para nelayan. Nelayan khawatir, bongkar muat dan lalu lintas kapal akan mempengaruhi rumput laut mereka.

LSM Balang di Bantaeng, menemukan keganjalan sejak awal kala lokasi jadi kawasan industri, mulai harga tanah hingga dampak lingkungan. Jarak pabrik pengolahan nikel dari rumah warga sangat dekat. Bahkan di depan pintu gerbang ada bangunan rumah susun sewa. Di rusun itu, ada beberapa karyawan pabrik dan warga yang tinggal.

Saya berdiri menyaksikan pemandangan. Bagi perusahaan, kata Jos, kesehatan dan keselamatan kerja jadi pertimbangan paling utama.

Perusahaan, katanya, memasang penyaring debu di setiap cerobong jadi hampir tak ada partikel debu keluar. Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang saya saksikan selama empat hari di Bantaeng. Saya melihat bagaimana cerobong itu bekerja dan mengeluarkan kepulan asap.

Ketika Jos mengajak saya melihat proses pengelolaan, kami berjalan dengan mobil. Tak ada penggunaan safety belt, sepatu boot, atau pula pelindung kepala. Di gedung tempat produk ferronickel ditampung sementara, beberapa pekerja berjalan tanpa masker.

Gedung itu masih terlihat berkilau bersih. Meski di beberapa bagian terdapat tumpukan debu. Di bagian lain bangunan, seorang pekerja memasukkan ferronickel ke karung, bagian lain produk perusahaan masih bertumpuk dan panas.

Untuk menghasilkan ferronickel, dilakukan dengan sistem pyrometalurgi. Sistem ini diklaim Jos dengan memanaskan bahan baku nikel, tanpa pakai bahan kimia. “Jadi produk kami, kelak lebih banyak digunakan dalam campuran besi stainless steel,” katanya.

“Kenapa dalam lingkungan seharusnya perusahaan ini sehat? Karena kami tak menggunakan bahan kimia.”

Jadi slag atau limbah tambang, katanya, tak memiliki tingkat bahaya. “Di beberapa negara, slag seperti ini tidak digolongkan limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya-red), jadi bisa diolah kembali.”

Aturan di Indonesia, masih menggolongkan limbah ini sebagai berbahaya.

Berbeda dikatakan Lily Candinegara. Untuk pengolahan dan pemurnian nikel, bahan baku pendukung coking coal dan anthracite yang mengandung bahan kimia.

Dalam beberapa literatur, coking coal, berbahan dasar batubara untuk pembuatan kokas dalam industri baja dan besi. Proses inilah kelak yang akan jadikan biji besi cair. anthracite atau antrasit adalah formasi tua yang membuatnya jadi batubara dengan kekerasan tertinggi. Antrasit untuk injeksi pada tanur industri baja.

 

Keterangan foto utama:    Pelabuhan PT Citra Lampia Mandiri. Tampak tongkang dengan nikel mentah. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Pabrik smelter PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version