Mongabay.co.id

Wanti-wanti untuk Jaga Lahan Perhutanan Sosial Lampako

 

Wajah Usman berseri-seri. Ia tampak bersemangat, demikian pula belasan warga yang berkumpul di kantor desa siang itu. Kedatangan tim Sulawesi Community Foundation (SCF) yang akan mengevaluasi Perhutanan Sosial disambutnya dengan penuh cita dan pengharapan.

Usman adalah Kepala Desa Lampoko, Kecamatan Barebbo, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ia menjabat melalui sebuah pemilihan yang fenomenal di tahun 2015 lalu.

Sebelum menjadi kepala desa, dulunya ia bekerja sebagai tukang bengkel. Dia berhasil mengalahkan petahana yang berasal dari dinasti pemerintahan desa yang telah menjabat beberapa dekade.

Baca juga: Penetapan Hutan Adat Hanya 1 Persen dari Realisasi Perhutanan Sosial

Begitu besarnya harapannya terkait program Perhutanan Sosial yang kini sedang berproses di desanya. Untuk itu, Usman menunda beberapa kegiatan penting yang sebenarnya harus dia hadiri hari itu.

“Saya bersyukur dengan adanya program ini. Dulu mereka takut karena ada patok-patok. Takut dengan polisi hutan,” ujarnya.

Desa Lampoko dihuni sekitar 500 kepala keluarga ini. Meski tampak damai, tapi sejarahnya dilingkupi perjalanan kelam pengelolaan kawasan hutan. Penutupan akses dari pemerintah dilakukan pada era dasawarsa 1980-an.

Aturan yang mempersempit area berkebun warga, memaksa banyak warga yang terpaksa harus keluar desa, bahkan merantau ke Malaysia. Mereka yang tinggal hidup dalam keterbatasan.

Ada juga yang ngotot bertahan meski harus kucing-kucingan dengan polisi hutan. Persoalan klaim lahan menjadi pokok persoalan.

“Ada yang kadang tetap masuk kawasan, namun diusir jika ketahuan,” ungkap Usman.

 

Warga desa Lampako dalam sebuah pertemuan untuk membahas evaluasi perhutanan sosial. Salah satu tantangan untuk menyukseskan program perhutanan sosial di wilayah KPH Cenrana adalah kurangnya tenaga pendamping, sementara pemahaman masyarakat masih kurang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Diizinkan untuk tujuan non komersial

Meski demikian, Usman memahami persoalan yang ada. Kebijakannya sebagai kepala desa, warga miskin di desanya diizinkan mengambil kayu meski terbatas satu pohon. Umumnya untuk memperbaiki rumah warga.

“Kalau sebatas satu pohon, saya beri izin. Kalau sudah lebih dari satu pohon itu yang tidak bisa. Saya pernah tanyakan ini ke pihak kehutanan. Ini yang kemudian saya sampaikan ke warga.”

Baca juga: Perhutanan Sosial Dorong Reforestasi, Bukan Legalisasi Deforestasi

Namun, lambat laun perubahan itu terjadi saat dimulainya era perhutanan sosial, meski sampai kini izinnya masih  berproses.

Diakui Usman, hadirnya program Perhutanan Sosial amat berarti bagi masyarakat. Terbukti ketika program ini disosialisasikan langsung disambut antusias oleh warga. Apalagi, kawasan hutan juga memiliki arti tersendiri terkait adat istiadat setempat.

Di dalam hutan terdapat sejumlah situs ritual tertentu bagi keluarga kerajaan di Bone. Ritual ini masih terus berlanjut hingga sekarang.

Meski senang dengan Perhutanan Sosial ini, Usman wanti-wanti agar ini dapat dikelola baik. Dia menyebut umumnya pemahaman masyarakat masih awam dan terbatas tentang program ini.

“Jangan setelah menerima izin, nanti seenaknya membabat hutan,” ujarnya.

Sosialisasi perhutanan sosial pun dia lakukan lewat media formal maupun informal. Pertemuan resmi dilakukan di kantor desa, tidak resmi dilakukan di acara hajatan ataupun setelah pelaksanaan salat jumat. Warga juga masih butuh pendampingan baik dari pemerintah maupun LSM yang punya program kerja.

Menurutnya, masyarakat perlu diberi contoh mengelola lahan tanpa banyak menebang pohon. Juga memilih komoditas yang cocok dan bernilai ekonomis. Dalam gambaran Usman, pala dan merica dapat dikombinasikan dengan tanaman kayu yang ada.

 

Perhutanan Sosial

Untuk pengelolaan kawasan hutan masyarakat telah membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Sipakario.

Dalam bahasa Indonesia Sipakario berarti saling membahagiakan. KTH ini terdiri dari 66 anggota dengan luas usulan penggunaan kawasan izin pinjam pakai kawasan hutan adalah 135 hektar. Berdiri sejak tahun 2012, namun namun baru secara resmi dikukuhkan tanggal 10 Mei 2018 oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Cenrana, Bone.

Menurut Ketua KTH Sipakario, Usman (namanya sama dengan Kades), rata-rata tiap anggota KTH mendapatkan dua hektar untuk dimanfaatkan selama 35 tahun.

Untuk mendapat izin, maka mereka harus melakukan tahap verifikasi teknis. Tahap ini baru dilakukan pada Oktober 2018 lalu oleh pihak Kementerian LHK.

Baharuddin, Kepala KPH Cenrana membenarkan proses tahapan perizinan yang telah dilalui KTH Lampoko. “Tak lama lagi akan mendapat izin,” katanya.

Berdasarkan pemuktahiran data, total luas wilayah kerja KPH Cenrana 133,5 ribu hektar. KPH ini termasuk yang paling banyak membina KTH. Jumlahnya ada 47 yang tersebar di 27 kecamatan, 328 desa dan 44 kelurahan.

 

Salah satu komoditas yang banyak dibudidayakan masyarakat Desa Lampoko saat ini adalah merica. Selama ini pengelolaannya belum efektif karena luas lahan kebun yang terbatas. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Saat ini, dua puluh diantaranya telah mengantongi izin Perhutanan Sosial. Rinciannya 11 Izin Hutan Desa (HD) dan selebihnya Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Bagi Baharudin, perhutanan sosial menjadi prioritas mereka, khususnya yang ada di Kabupaten Bone. Secara keseluruhan, sekarang ada 12.524,5 hektar luas area hutan yang telah mengantongi izin dan dalam tahapan proses.

“Kami prioritaskan dulu akses masyarakat terhadap perhutanan sosial, termasuk dalam skema Hutan Tanaman Rakyat,” katanya.

Meskipun belum sepenuhnya mengantongi izin, Baharuddin ingin agar Perhutanan Sosial ini bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat. Dia berharap suatu saat masyarakat dapat lebih mandiri dengan masuknya program ini.

 

 

Exit mobile version