Mongabay.co.id

Indonesia Murka pada Kapal Ikan Asing Pelaku Pencurian Ikan

 

Insiden tabrakan yang sengaja dilakukan kapal patroli laut Vietnam pada Sabtu (27/4/2019), menyulut emosi Pemerintah Indonesia. Peristiwa tersebut, dinilai sudah menjatuhkan harga diri Indonesia dan mencoreng kedaulatan Negara di mata dunia internasional. Untuk itu, Indonesia harus mengambil tindakan tegas menyikapi insiden memalukan itu.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menilai, negara pelaku pencurian ikan di wilayah laut Indonesia, harus diberikan efek jera agar tidak mengulang perbuatannya lagi. Salah satu bentuknya, adalah dengan menenggelamkan seluruh kapal pelaku illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) yang berhasil ditangkap Pemerintah Indonesia.

Melalui twitter pribadinya, Susi Pudjiastuti meminta Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung untuk tidak lagi menuntut dan memutus kapal yang dinyatakan bersalah melakukan IUUF dengan diperbolehkan kapal dirampas untuk dilelang. Tetapi, kapal harus dirampas untuk dimusnahkan.

“Yth. Pak Jaksa Agung & Pak Ketua Mahkamah Agung; dengan segala kerendahan hati saya memohon semua tuntutan & putusan untuk Kapal Illegal Fishing TIDAK LAGI Dirampas untuk Dilelang tapi Dirampas untuk Dimusnahkan. Mohon semua yang saat ini dalam proses banding ditolak & TETAP untuk dimusnahkan,” ucap @susipudjiastuti, Rabu (1/5/2019).

Pernyataan Susi tersebut, sehari sebelumnya juga diungkapkan pada sesi keterangan resmi yang digelar di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Menurutnya, Pemerintah Indonesia tidak akan mempertimbangkan lagi setiap kapal ikan asing (KIA) pelaku IUUF dengan hukuman yang lain. Melainkan, tegas dengan melaksanakan pemusnahan kapal melalui penenggelaman. Pernyataan tersebut, diklaim berasal dari pernyataan Presiden Joko Widodo.

Susi mengatakan, ketegasan Presiden dalam menyikapi kapal pelaku IUUF, menjadi bagian integral dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan menjadi konsep pembangunan laut untuk masa depan bangsa. Untuk itu, perang melawan aktivitas IUUF di Indonesia akan terus dilakukan dan tanpa henti sampai kapan pun.

baca : KKP Kembali Tangkap 8 Kapal Ikan Asing Ilegal dari Vietnam dan Malaysia

 

Kapal Pengawas Perikanan Vietnam KN 213 menabrakkan diri pada KRI Tjiptadi 381 sesaat setelah Kapal Ikan Vietnam ditangkap aparat Indonesia di perairan Natuna Utara pada Sabtu (27/4/2019), Foto : TNI AL/Mongabay Indonesia

 

Hentikan Lelang

Menurut Susi, kebijakan untuk KIA yang tertangkap karena melakukan IUUF, harus tegas untuk ditenggelamkan. Kalau masih ada kebijakan yang membolehkan KIA pelaku IUUF untuk dilelang, maka itu menjadi kebijakan yang salah dan merugikan Negara. Dengan memusnahkan kapal, maka efek jera akan bisa dirasakan oleh pelaku dan negara asal dari kapal IUUF.

“Adanya lelang kapal pelaku illegal fishing berpotensi membuat kapal tersebut digunakan kembali untuk kejahatan serupa,” tegasnya.

Susi menambahkan, setiap kapal asing pelaku IUUF yang dilelang itu uang yang masuk ke kas Negara minimal Rp100 juta sampai maksimal Rp500 juta. Nilai tersebut, jauh dari keuntungan kapal saat melakukan aksi pencurian di laut Indonesia yang bisa mencapai Rp1 hingga Rp2 miliar untuk sekali melaut. Bagi dia, nilai tersebut masih memberikan keuntungan yang banyak kepada para pelaku dan lebih besar dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP), meski kapal mereka sudah jadi milik Indonesia.

“Oleh karena itu, banyak kita temukan kapal residivis yang tertangkap kembali,” tambahnya.

Susi memaparkan, untuk setiap KIA yang dilelang itu pasti menghasilkan PNBP yang akan masuk ke kas Negara. Tetapi, nilai PNBP yang dihasilkan tersebut masih terlalu kecil dan tidak sepadan dengan kerugian ekonomi serta resiko keselamatan petugas saat berpatroli di tengah laut. Untuk itu, KIA yang ditangkap harus bisa dirampas Negara untuk selanjutnya kemudian dimusnahkan melalui penenggelaman.

“Makanya saya tidak pernah setuju dengan kebijakan lelang untuk KIA ini. Dengan banyak sekali kejar mengejar dan mereka mencoba intimidasi dan tabrak kapal kita. Itu tidak worth it kalau kapal-kapal itu kita lelang sekadar untuk mendapatkan PNBP. Ini akan mengurangi ketegasan dan tekad kuat kita di mata para pelaku IUU Fishing,” tegasnya.

baca : Bolehkah Kapal Asing yang Sudah Ditangkap, Dilelang?

 

KKP menangkap kapal ikan asing bernama BV 9845 TS berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara, Kepulauau Riau pada pada Jumat (8/3/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Diketahui, Indonesia dikagetkan dengan insiden tabrakan kapal patroli milik Vietnam di perairan Laut Natuna Utara pada Minggu, atau sehari setelah kapal patroli KRI Tjiptadi (TPD) 381 menangkap KIA asal Vietnam di koordinat 6024’50’’ U –106050’12’’ T. Pada Sabtu (27/4/2019) pukul 14.45 WIB tersebut, TPD menangkap KIA asal Vietnam BD 979 yang membawa 14 anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Vietnam.

Akan tetapi, saat kapal BD 979 digerakkan untuk bisa mendekat ke KRI TPD 381, tiba-tiba dua kapal patroli Vietnam, yaitu KN 264 dan KN 231 melakukan interupsi dengan menabrak lambung dan buritan kapal BD 979 hingga menyebabkan kebocoran. Untuk mengatasi situasi tersebut, KRI TPD 381 kemudian memotong tali-tali BD 979 yang mengikat ke KRI, karena kondisi KIA tersebut sudah tenggelam dan tidak bisa diselamatkan.

“Tetapi tidak cukup di situ, kapal patroli Vietnam juga kemudian menabrak lambung KRI TPD 381 dan kemudian berusaha mengikuti KRI TPD 381 untuk memberikan tekanan,” tandasnya.

Tentang sikap TNI Angkatan Laut yang saat itu ada di KRI TPD 381 dan menangkap KIA BD 979, menurut Susi itu sudah menjadi tindakan yang benar. Mengingat, walau perairan di sana masuk dalam wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE), tetapi hukum internasional sesuai perjanjian UNCLOS membolehkan Indonesia mengklaim dan melakukan tindakan hukum di atasnya.

baca juga : Vietnam, Negara Dominan Pelaku IUUF di Laut Indonesia

 

Kapal Pengawas Perikanan Vietnam KN 213 menabrakkan diri pada KRI Tjiptadi 381 sesaat setelah Kapal Ikan Vietnam ditangkap aparat Indonesia di perairan Natuna Utara pada Sabtu (27/4/2019), Foto : TNI AL/Mongabay Indonesia

 

Hukum UNCLOS

Dengan tegas, Susi menyebutkan, hingga saat ini Vietnam masih berasumsi wilayah perairan itu masih ada dalam garis batas landas kontinen negara tersebut berdasarkan perjanjian landas kontinen Indonesia – Vietnam 2003. Tetapi, dari permukaan dan kolam air laut sebagai habitat ikan dan wilayah penangkapan mereka, itu menjadi ranah rezim hukum ZEEI bukan masuk dalam ranah hukum landas kontinen.

“Jika memang belum ada kesepakatan, seharusnya tidak ada kegiatan perikanan di wilayah tersebut sampai dengan tercapainya kesepakatan dua pemerintahan, yaitu Pasal 74 ayat 3 UNCLOS,” tuturnya.

Melalui keterangan di atas, Susi ingin menegaskan bahwa apa yang dilakukan TNI AL sudah benar dengan menarik KIA Vietnam, dan berdasarkan Undang-undang Perikanan Indonesia memiliki kewenangan penegakan hukum di laut ZEE Indonesia. Kewenangan itu, ada pada ranah TNI AL dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pada UNCLOS Pasal 57, disebutkan juga bahwa negara pantai dapat melakukan klaim ZEE atas wilayah sampai 200 nm dari garis pangkal.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan berpendapat kalau kebijakan Negara untuk menenggelamkan KIA pelaku IUUF merupakan kebijakan yang tepat. Hal itu, didasarkan pada fakta bahwa masih ada KIA yang dilelang namun kemudian dibeli kembali oleh pemilik kapal. Setelah itu, kapal tersebut akan kembali mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia.

Bagi Abdi, yang harus diperhatikan adalah bagaimana kinerja Pengadilan Perikanan bisa lebih baik dalam memutus kasus IUUF di Indonesia, dan juga agar Kejagung RI bisa cepat mengeksekusi kasus-kasus IUUF. Dengan demikian, tidak ada lagi kapal yang sudah diputus oleh pengadilan, namun belum dieksekusi oleh Kejakgung RI.

“Dan kalau melihat data, sepanjang 2018 lalu KIA yang ditangkap sebanyak 51 kapal. Sekarang baru bulan keempat, sudah 30 lebih ya yang ditangkap. Artinya masih cukup banyak KIA yang melakukan illegal fishing,” tegasnya, Kamis (2/5/2019).

Agar bisa memberikan efek jera, Abdi Suhufan menyebutkan, proses pengadilan di masa mendatang perlu dipercepat lagi pada kapal-kapal pelaku kejahatan dengan keputusan sebaiknya ditenggelamkan dan bukan disita atau dilelang. Kalaupun putusan untuk dilelang, maka potensi kapal tersebut dibeli kembali oleh pemilik lama akan terjadi lagi.

perlu dibaca : Laut Natuna Masih Disukai Kapal Asing Penangkap Ikan Ilegal. Kenapa?

 

Kapal berbendera Vietnam yang ditangkap karena mencuri ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Perairan Natuna Kepulauan Riau pada Februari 2019. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity Abdul Halim berpendapat, walau kebijakan yang diterapkan Indonesia sudah benar untuk saat ini, tetapi efek jera yang diharapkan akan dirasakan oleh kapal pelaku IUUF, sebenarnya itu tidak pernah ada. Dia bahkan menyebut, 90% kapal yang diputus bersalah dan ditenggelamkan, tidak akan dihiraukan oleh Pemerintah Vietnam dan negara-negara pelaku lainnya.

“itu hal yang normatif dilakukan. Bukan hanya KKP saja yang geram, namun juga warga jengkel melihat betapa dipermainkannya aparatur kita di laut oleh Malaysia, Vietnam, dan Cina belakangan ini,” sebutnya.

Pendapat serupa juga diutarakan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Menurutnya, jika ingin memunculkan efek jera bagi negara lain yang kapalnya menjadi pelaku IUUF di Indonesia, maka Indonesia memerlukan teknologi yang bisa menjaga laut dari aktivitas tersebut dan sekaligus mempertahankan kedaulatan Bangsa. Untuk itu, tidak mengagetkan jika memang hingga saat ini aktivitas IUUF masih saja marak terjadi di seluruh wilayah perairan laut Indonesia.

 

Exit mobile version