Mongabay.co.id

Produksi Mete dan Godaan Tanam Jagung di Lahan Hutan Tanaman Rakyat

 

Baca artikel sebelumnya: Hutan Tanaman Rakyat di Lombok, Dulu Kayu Sekarang Melirik Wisata

 

Beberapa orang sibuk mengupas mete. Ada yang dibelah dengan pisau, tapi lebih banyak menggunakan tangan langsung. Mengupas mete bukan perkara sepele. Mete yang pecah dihargai lebih murah, sehingga ia harus ditangani cermat.

Di lantai, duduk tiga orang menangani mete yang sudah dipanggang. Ditunggu agar dingin lalu dimasukkan dalam kemasan siap untuk dijual.

Musarim, Ketua Kelompok Usaha Maju Bersama lalu mengajak saya berpindah ke sebuah ruang. Di sana terdapat mesin pemanggang untuk mete. Tampak lokasi meja kupas dan meja tempat pengemasan produk mete.

Selain mengurusi produksi mete kelompok, Musarim juga dipercaya sebagai ketua kelompok tani yang mengelola Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Desa Batu Jangkih, Kabupaten Lombok Tengah.

 

Para perempuan di Kelompok Usaha Maju Bersama Desa Batu Jangkih mengolah mete dari hasil lahan HTR. Dulunya mete dijual gelondongan (mentah), sekarang mereka olah dan pasarnya ke beberapa hotel dan supermarket di kota. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay

 

Dia bilang mete ditanam karena ia cocok dengan kondisi lahan kering. Awalnya di Batu Jangkih mete diperkenalkan pada program penghijauan yang digalakkan oleh pemerintah bersama LSM sekitar dua dekade lalu.

Masyarakat katanya menerima untuk menanam mete, karena ia tidak perlu ditunggu lama hingga siap panen. Tapi, masyarakat tidak mau jika disuruh menanam kayu sonokeling. Musarim bilang itu membangkitkan memori buruk.

Di zaman orde baru, mereka disuruh menanam kayu sonokeling, lalu yang memanen perusahaan. Hingga muncul era dimana terjadi pengambilalihan lahan secara paksa oleh petani.

Selain mete, sekarang petani menanam tanaman keras seperti sengon, mahoni, jati dan gamalina di kawasan HTR.

Namun, khusus di kelompok yang Musarim pimpin sebagian besar petani menanam mete. Pikiran mereka mete bisa dipanen setiap tahun, berbeda dengan tanaman kayu. Kini mete dijual di Kelompok Usaha Maju Bersama.

“Mete jadi penghasilan besar buat kami,’’ kata Musarim.

Dia bilang bahan baku mete tak ada kesulitan. Hampir semua petani HTR Batu Jangkih menanam mete. Bahkan juga para petani di desa tetangga.

Harga mete gelondongan Rp22 ribu/kg. Dari 5 kg gelondongan akan dihasilkan 1 kg kacang mete. Mete yang utuh (tidak pecah) yang sudah diolah dan dikemas dijual Rp240 ribu/kg, sementara yang pecah dijual Rp 220 ribu/kg. Jika pecahannya lebih kecil, harganya bakal lebih murah lagi.

 

Cepat panen dan harganya cukup mahal membuat petani masif menanam jagung. Bahkan kawasan HTR sampai hutang lindung pun ditanami jagung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay

 

Satu hal yang mengkhawatirkan Musarim saat ini adalah masifnya tanaman jagung. Di lahan yang sama mete berkompetisi dengan jagung. “Karena jagung mudah tanam dan cepat jualnya,’’ katanya.

Dia lalu mengajak saya mengunjungi lokasi yang lahannya didominasi jagung. Bahkan di salah satu blok, terlihat tanaman jagung yang sudah meninggi siap panen.

Penanaman jagung memang digerakkan oleh pemda setempat. Selain jagung pemda menggalakkan ternak sapi dan rumput laut.

Awalnya jagung dihajatkan untuk lahan tidur, kini lahan yang dulunya banyak tegakan pun dibabat demi menanam jagung. Bahkan di beberapa lokasi, lahan hutan lindung dibabat untuk diganti dengan jagung.

Bagi petani Batu Jangkih, tanaman jagung memang bisa jadi solusi penghasilan jangka pendek. Tapi untuk jangka panjang, mereka lebih memilih menanam kayu tanaman keras. Mereka telah merasakan sendiri manfaatnya.

Daerah selatan yang dikenal cuacanya lebih panas, kini terasa lebih sejuk dengan rimbunnya pepohonan. Salah satu berkah yang membahagiakan warga adalah kembalinya mata air yang dulu kering.

“Itu mata air lama, dan hilang ketika hutan gundul. Sekarang muncul kembali. Saat musim panas airnya tetap,’’ jelas Musarim.

Karena kembali munculnya mata air itu, membuat para petani di Batu Jangkih berpikir ulang untuk memotong kayu jika siap panen kelak.

Secara izin, dalam prosedur HTR warga memang diperbolehkan untuk memanfaatkan kayu secara terencana dari tanaman yang mereka tanam.

Mereka membayangkan akan memperoleh sejumlah uang jika menebang dan menjual kayu tanaman keras. Tapi di sisi lain mereka membayangkan bakal hilangnya mata air mereka. Kesejukan daerah mereka pun akan sirna.

“Kalau sangat butuh kayu, ya [mungkin] ada yang tebang satu dua batang,’’ kata Musarim, memberi gambaran rencana ke depan mereka.

 

Tanaman porang, tanaman sela, yang umbinya memiliki harga jual tinggi ditanam di lahan HTR di Desa Batu Jangkih. Sayangnya potensi ini belum digarap maksimal karena petani belum tahu jaringan pemasarannya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay

 

Direktur Samanta, LSM pendamping para petani HTR di Batu Jangkih, Dwi Sudarsono bilang pendampingan terhadap petani sudah sampai tahap rencana jangka panjang. Yaitu panen kayu dan rencana reboisasi kembali.

“Tapi sebagian masyarakat Batu Jangkih tidak mau [panen kayu]. Sejak hutan lestari sekarang mereka dapat air bersih,” ucap Dwi.

“Kita tahu sendiri bagaimana kondisi daerah selatan Lombok yang sepanjang tahun krisis air bersih.” Air bagi masyarakat menjadi sumber berkah.

Yang menjadi tantangan adalah masifnya tanaman jagung. Ada salah kaprah dengan pemanfaatan tanaman di sela-sela tegakan. Fakta di lapangan jagung mengalahlan tegakan.

Padahal idealnya tanaman semusim seperti jagung, hanya ditanam di sela-sela tegakan, bukan dengan cara membersihkan seluruh tegakan.

Pemerintah perlu mendorong dan mendampingi petani, agar tanaman yang ditanam bukan yang merusak. Salah satu potensi adalah porang dan empon-empon, sejenis tanaman semusim yang ditanam di bawah tegakan. Porang ini juga bisa diekpor. Harganya cukup tinggi.

Tapi karena kendala pemasaran dan akses informasi yang terbatas, hanya sebagian kecil petani yang menanam. Demikian juga seperti jahe, lengkuas, dan tanaman lainnya. Produksi tanpa pemasaran, hasilnya bakal nihil.

Pengalaman mendampingi kelompok yang sekarang mampu memproduksi mete menjadi pengalaman Samanta.  “Ini yang perlu kita duduk bersama untuk mencarikan jalan keluar,’’ katanya.

 

 

Exit mobile version