- Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Mareje Bonga mencakup empat desa di Kabupaten Lombok Tengah yang luasnya sekitar 683,5 hektar.
- Pada era Orde Baru kawasan tersebut dikuasai oleh PT Angkawijaya Timber yang menanam sonokeling dan mahoni. Memasuki era reformasi dan kekacauan politik 1998, masyarakat sekitar hutan menjarahi hutan dan kayu sonokeling.
- Saat ini masyarakat, khususnya generasi muda, mulai melirik potensi wisata, seiring dengan booming-nya wisata di pulau Lombok yang diinisiasi oleh Pemda dan sektor swasta wisata.
- Desa-desa yang menjadi kawasan HTR berdekatan dengan kawasan pengembangan KEK Mandalika. Desa-desa ini berdekatan dengan Selong Belanak dan Mawun, dua daerah yang terkenal dengan keindahan pantainya.
Beberapa waktu ini Amaq Ani kerap menginap di ladang. Pria setengah baya ini rutin melakukan patroli. Di ladangnya sebentar lagi siap panen pisang, jagung dan tanaman lainnya.
“Monyet banyak mengganggu tanaman. Hanya dirusak lalu pergi,’’ kata Amaq Ani membuka perbincangan kami. “Biasanya yang ada di pinggir jalan. Pisang sudah siap panen, ada saja yang ambil. Kasihan petani.”
Siang itu, dia menggelar tikar di bangunan berlantai semen kasar, berdinding bilik bambu. Bangunan ini adalah gudang milik Amaq Ani, selaligus posko pengamanan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Amaq Ani bernama asli Sure. Dia dipercaya sebagai ketua kelompok tani HTR di Desa Kabol, Kabupaten Lombok Tengah.
Berbeda dengan wilayah Lombok Tengah sebelah utara yang lebih lembab. Wilayah Lombok Tengah selatan beriklim kering. Hanya sedikit lahan pertanian sawah, lebih banyak lahan tegalan. Periode hujan yang singkat, curah hujan yang rendah dan kondisi iklim kering membuat pertanian di wilayah ini menjadi sulit.
Baca juga: Pangan Hutan yang Selamatkan Warga Aik Berik di Saat Gempa Lombok
Amaq Ani lalu bercerita tentang sejarah panjang desanya. Dari eks kawasan HPH hingga munculnya penetapan HTR.
Pada era orde baru, konsesi kawasan tersebut diberikan kepada perusahaan, dikuasai oleh PT Angkawijaya Timber yang menanam sonokeling dan mahoni. Masyarakat setempat pun menjadi buruh tanam. Pohon yang ditanam adalah sonokeling.
Kemudian karena kondisi perusahaan, terjadi status quo. Pemerintah mengambil alih konsesi HPH tersebut. Tanaman sonokeling yang menjadi ciri khas kawasan tersebut tetap bertahan.
Masyarakat yang menjadi buruh tani kerap melihat oknum dari perusahaan dan pemerintah menebang pohon sonokeling. Mereka tahu kayunya dijual. Masyarakat hanya mendapat upah dari proses menebang hingga membersihkan.
Pada tahun 1996-1998 terjadi kemarau panjang. Berturut-turut dua tahun terjadi gagal panen. Disusul dengan itu badai krisis moneter dan reformasi berhembus. Kombinasi gagal panen dan kekacauan politik itu dimanfaatkan warga.
Mereka masuk hutan, menebang pohon sonokeling dan menjualnya. Amaq Ani termasuk pelakunya.
“Tidak ada yang bisa kami makan. Gagal panen berturut-turut. Daripada kami merampok, lebih baik kami jual kayu. Toh dulu yang nanam juga masyarakat,’’ katanya.
Setiap hari warga masuk hutan, pulang membawa kayu sonokeling. Sangat mudah mereka menjualnya. Aparat pun saat itu tak ada yang menghalangi. Petugas kehutanan pun tak kelihatan. Perlahan hutan di kawasan itu mulai terbuka. Ribuan batang pohon sonokeling ditebang.
Peluang itu dimanfaatkan masyarakat. Lahan yang sudah dibuka lalu ditanami dengan umbi-umbian. Sesekali mereka menanam padi. Lahan mulai dikapling dan dibagi-bagi. Ketika kondisi politik mulai stabil, aparat masuk ke desa-desa.
Mereka mencari warga yang melakukan penebangan dan menyerobot lahan. Tapi sudah terlanjur banyak masyarakat yang menguasai lahan.
“Sembunyi-sembunyi jika ada aparat. Ilegal [aktivitas] kami dulu,’’ katanya.
Kawasan selatan yang dulu rimbun oleh sonokeling berubah menjadi ladang. Hutan gundul. Bukit-bukit coklat ketika musim kemarau. Pemerintah lalu menemui dan mengumpulkan para petani mencari jalan keluar.
Sepanjang tahun 2000-an proses legalisasi pengelolaan kawasan itu dicarikan celahnya. Hingga kemudian kawasan itu ditetapkan sebagai pencadangan hutan produksi.
Pada tahun 2011 keluar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) oleh Bupati Lombok Tengah. Pada tahun ini dilakukan penanaman serentak pepohonan seperti mahoni, sengon, gamalina, mete, dan jati.
Ada empat kawasan HTR di Lombok Tengah bagian selatan. Total luasnya 683,5 hektar terbagi di 4 desa. Yaitu Desa Batu Jangkih dengan luas lahan 130,22 hektar, Desa Kabol 356,11 hektar, Desa Mangkung seluas 77,53 hektar dan Desa Pandan Indah dengan luas lahan 129,37 hektar.
“Sekarang pohonnya sudah besar seperti yang bapak lihat,’’ kata Amaq Ani.
Potensi meraup pendapatan dari Desa Wisata
Jika generasi pendahulu mereka berjuang untuk mewujudkan hutan tanaman rakyat, maka saat ini para pegiat hutan rakyat beserta generasi yang lebih muda melihat ada potensi lain dari hutan dan lansekap desa mereka. Ada harapan dari boom industri wisata yang sekarang marak di Lombok.
Demam Desa Wisata ini misalnya terjadi di Desa Batu Jangkih. Bahkan bukit cadas yang dulunya dianggap sebagai “tempat jin buang anak” kini disulap menjadi spot swafoto. Bukit dengan pemandangan pantai selatan Lombok Tengah yang jadi jualan.
Semangat anak-anak muda, putra putri para petani HTR untuk mengembangkan pariwisata dipicu oleh mulai berkembanganya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.
Baca juga: Ketika Hutan Lombok Gundul, Bencana Muncul
Sebenarnya desa-desa yang masuk kawasan HTR Mareje Bonga tidak masuk dalam Surat Keputusan (SK) Desa Wisata, tapi geliat anak muda di desa-desa ini amat terlihat. Mereka melihat adanya potensi hutan di luar kayu yang ada.
“Bisa langsung melihat laut. Sangat cantik, kami sudah survey bersama anak-anak muda,’’ kata Musarim. Dia adalah Ketua kelompok tani Maju Bersama di Desa Batu Jangkih.
Musarim bilang, desa wisata menjadi salah satu alternatif untuk menambah pundi-pundi pendapatan petani kelompok mereka. Salah satu puncak bukit yang masuk kawasan HTR dipilih sebagai destinasi yang bakal dikembangkan. Bukit itu akan dijadikan lokasi camping. Akan dibangun fasilitas swafoto.
Desa-desa yang menjadi kawasan HTR berdekatan dengan kawasan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Wisata Mandalika. Desa-desa ini berdekatan dengan Selong Belanak dan Mawun, dua daerah yang terkenal dengan keindahan pantainya.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat menetapkan desa wisata sebagai salah satu program unggulan. Pariwisata yang berbasis desa, dikelola oleh masyarakat desa, diyakini sebagai salah satu resep ampuh untuk menurunkan angka kemiskinan.
Pada tahun 2019 ini, ditetapkan 99 desa wisata yang akan diintervensi. Jumlah desa bisa bertambah. Pemerintah kabupaten diharapkan bisa juga menetapkan desa wisata yang akan diintervensi.
Booming desa wisata ini memang seiring dengan berkembangnya pariwisata di Nusa Tenggara Barat, khususnya di Pulau Lombok. Didukung berbagai event yang digelar pemerintah dan swasta membuat masyarakat melirik potensi wisata di desanya.
Bahkan ada beberapa warga desa yang berlaku unik di Batu Jangkih. Saya sempat menemui pasangan suami istri Ruslan dan Zurriatil Ummi. Mereka pasangan yang dijuluki “manusia gua”.
Sejak dua tahun lalu mereka memutuskan tinggal di sebuah cekungan batu di kawasan perbukitan di Dusun Batu Jangkih. Cekungan itu membentuk sebuah gua. Di sela-selanya Ruslan membangun gubuk. Di cerukan yang lebih luas, dia jadikan ruang tamu dengan menaruh meja dan kursi.
Di bagian atas rumah mereka dibangun menara pandang dengan pemandangan bukit-bukit kawasan HTR. Ke arah selatan terlihat pantai selatan Lombok yang dikenal dengan pasir putihnya.
“Harapan saya kedepan berkembang pariwisata di sini,’’ ucap Ruslan.