Mongabay.co.id

Tembawang Bukit Tiong Kandang, Merawat Manfaat Hutan Adat Keramat Tae

 

Tulisan sebelumnya: Desa Tae yang Bergiat Setelah Terima Penetapan Hutan Adat

 

Jalanan menuju Desa Tae dialasi tanah merah. Kanan kiri jalan masih dapat dijumpai tanaman karet milik warga. Karet umumnya sudah tua dengan tajuk menjulang. Desa ini dapat ditempuh dengan berkendara sekitar 3 jam perjalanan darat dari Sanggau.

Dari pintu masuk desa jalan masuk ke desa agak menanjak. Di sisi kiri terlihat jajaran kantor desa. Rumah-rumah warga berjarak tak berjauhan. Terlihat, banyak tanaman buah yang ditanam oleh warga.

Tiga buah pohon durian tumbuh menjulang di belakang rumah warga.

“[Musim] buah durian baru saja selesai. Kalau sudah waktu musim, bisa 10 ribu buah durian tiap hari keluar dari desa ini,” kisah Sembolon, tokoh Desa Tae, juga Ketua RT Kampung Bangkan.

 

Pintu masuk ke wilayah adat Tae. Desa ini telah diakui wilayah hutan adatnya oleh pemerintah sejak Septembar 2018 yang lalu. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Akhir Februari lalu, menurut ceritanya rombongan perangkat pemerintah se-Sumatera datang berkunjung ke Tae. Mereka ingin belajar proses penyusunan Desa Adat. Rombongan itu beruntung bisa menikmati durian langsung dari tembawang.

Katanya, pohon-pohon durian tua besarnya tak main-main. Tajuk pohonnya tinggi. Lingkar sisi pohonnya, tiga kali pelukan laki-laki dewasa. Diperkirakan ditanam di tembawang sejak ratusan tahun silam. Pohon-pohonnya kokoh dan selalu berbuah lebat.

Baca juga: Dari Lingkar Tiong Kandang, Warga Menanti Status Desa Adat Tae

“Durian asal kampung kami ini, bisa dibilang terbaik di Kalbar,” ujarnya.  Durian Batang Tarang namanya. Durian ini memang sudah terkenal di Kalimantan Barat. Sebagian besar durian ini berasal dari Desa Tae.

Sejak mendapat pengakuan Hutan Adat dari Pemerintah September 2018 lalu, warga Tae sekarang memiliki mimpi untuk membangun potensi ekonomi desanya. Tembawang yang ada di Bukit Tiong menjadi tumpuan harapan.

Hingga saat ini Bukit Tiong Kandang merupakan kawasan berhutan di Kalimantan Barat yang belum terjamah perusahaan perkebunan. Desa Tae sendiri termasuk satu dari sekitar 31 ribuan desa di Indonesia yang masuk dalam kawasan hutan.

Berdasarkan hasil data pemetaan partisipatif yang didampingi oleh Perkumpulan Pancur Kasih dan Pemda Kabupaten Sanggau, lahan adat Ketemenggungan Tae luasnya 2.538,55 hektar, 1.434,87 hektar masuk ke dalam hutan produksi, dan 683,76 hektar lainnya masuk kawasan lindung. Hanya 419,97 hektar (sekitar 16,54 persen) yang dibuka untuk lahan pertanian kering oleh warga Tae.

“[Waktu itu] Ada banyak orang yang ikut dalam pemetaan wilayah. Semua warga terlibat,” kata Loder (46), pesirah Desa Tae.

Pesirah adalah salah satu struktur yang ada dalam adat Ketemenggungan Tae. Struktur tertinggi dijabat oleh Temenggung, kemudian Pak Jaya, Pesirah dan Lawang Agung.

Siang itu, kami memiliki janji untuk bertemu dengan Karianus (60). Dia akan menemani kami berjalan-jalan melihat tembawang. Dia juga salah satu tetua adat di Tae.

Meski telah berumur, ototnya terlatih dan tubuhnya kekar. Perawakannya tidak begitu tinggi, kulitnya gelap terpapar matahari.

“Kita akan ke kaki Bukit Tiong Kandang,” ujarnya.

Tanpa alas kaki, dia melangkah ke luar rumah. Melewati jalan setapak, melintas beberapa kebun warga. Sekitar 15 menit perjalanan, kawasan yang dilintasi tak lagi kebun warga, cahaya matahari mulai terhalang rapatnya tajuk pepohonan hutan.

Karianus lincah mengitari akar-akar pohon yang melintang di jalan setapak. Di suatu tempat, dia berhenti pada sebuah batu seukuran tubuh anak kecil. Dia berjongkok, dan merapal doa. Ternyata itu adalah pintu masuk ke kawasan Tiong Kandang.

 

Sebelum memasuki tembawang Bukit Tiong Kandang, pengunjung harus mengikuti ritual upacara adat. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Setiap pendatang baru yang datang juga harus mengikuti serangkaian upacara adat. Upacara ini merupakan permit masuk ke kawasan hutan adat.

Tak berapa jauh memasuki tembawang, sudah ditemukan beberapa pohon buah. Terutama buah hutan. Ada tampui, belimbing darah, manggis, jambu lobak, jambu bol, juga durian.

“Kita bisa ambil buah-buahan ini sesuai kebutuhan kita,” kata Karianus.

Duyung, perempuan yang ikut dalam rombongan dan juga fasilitator pendamping desa, mengambil rebung dan pakis. “Warga biasanya mengambil tumbuhan ini untuk di masak. Ada juga yang jadi bumbu. Semua tersedia di alam,” tukasnya.

Di kawasan Tiong Kandang, terdapat banyak tembawang. Masing-masing kampung memiliki beberapa tembawang. Ada yang dikelola secara komunal, ada pula yang dikelola garis keturunan warga sekitar.

Bukit Tiong Kandang sedikitnya memiliki delapan mata air. Mata air ini tidak pernah kering, walau musim kemarau tiba.  Warga Tae percaya, mata air yang selalu mengalir adalah bentuk dari sikap menjaga alam dan melestarikan hutan yang ada.

Tiong Kandang sendiri mempunya legenda yang hampir mirip dengan cerita Malin Kundang.

Dikisahkan seorang anak bernama Linggi, yang durhaka pada ibunya. Penamaan Tiong Kandang berasal dari dua sangkar burung yang dibawa Linggi. Satu sangkar berisi burung tiong (beo), satu sangkar lagi berisi burung kandang (murai). Kedua burung itu disangkutkan di ujung perahu, yang disebut ajong.

Saat Linggi durhaka, ibunya lalu mengutuk. Kapalnya karam, kedua sangkar burung terlempar hingga ke puncak bukit, yang kemudian menjadi nama sebutannya. Sedangkan ajong milik Linggi pecah dan berubah menjadi empat buah batu, yang kini berada di punggung bukit.

 

Inilah salah satu tembawang (kebun hutan) Desa Tae yang masih terjaga kelestariannya. Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia

 

Secara historis dan sosiologis, Bukit Tiong teramat penting bagi warga Ketemenggungan Tae. Kawasan tembawang pun menjadi amat dikeramatkan. Tidak boleh pindah kepemilikan.

“Memang berat, karena ini adat istiadat. Tidak bisa dinilai dengan benda,” jelas Loder. Hingga kini, aturan adat tersebut masih ditaati warga.

Meski demikian dia bilang, adat istiadat umumnya diwariskan secara lisan. Saat tetua adat wafat, hilang pula sumber pengetahuan mereka. Hal ini mulai menjadi perhatian generasi saat ini, agar budaya Dayak ini tidak tergerus oleh waktu.

Kini, warga Tae membukukan beberapa adat istiadat mereka. Bahkan di dua SD di Desa Tae, ada mata pelajaran muatan lokal terkait dengan budaya Dayak Tae.

“Pengetahuan mengenai tari-tarian, upacara adat, atau ritual yang biasa dilakukan leluhur,” ungkap Loder. Dia berharap adat istiadat pun akan terus berjalan dan dilestarikan oleh generasi mendatang.

 

Video: Menjaga Penghidupan di Hutan Adat Tae

Exit mobile version