Mongabay.co.id

Ketika Presiden Perintahkan Penyelesaian Konflik Lahan Termasuk Dalam Konsesi

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Presiden Joko Widodo memerintahkan jajaran kabinet segera menyelesaikan konflik lahan termasuk yang berada di dalam konsesi. Jangan sampai, perusahaan mudah mendapatkan izin, sedang warga yang tinggal di dalam atau sekitar kesulitan. Bahkan, presiden perintahkan, jajaran pemerintahan mencabut konsesi kepada berbagai perusahaan kalau dalam pelaksanaan ada konflik lahan.

Dalam rapat terbatas di Kantor Presiden Jakarta, Jumat (3/5/19) itu, Jokowi mengatakan, dalam kunjungan ke berbagai daerah maupun saat pembagian sertifikat, dia selalu menerima laporan mengenai konflik pertanahan, baik antar masyarakat, masyarakat dengan perusahaan, masyarakat dengan BUMN, maupun dengan instansi pemerintahan.

“Sengketa-sengketa serupa itu tak hanya terjadi di satu-dua tempat, namun tersebar di banyak wilayah. Saya minta segera diselesaikan secepatnya, dituntaskan agar rakyat memiliki kepastian hukum. Ada rasa keadilan,” katanya dikutip dalam laman Presidenri.go.id.

Konsesi dari pemerintah ke perusahaan, katanya, harus mempertimbangkan keberlangsungan dan kepentingan masyarakat yang mendiami lahan itu sejak lama. Pemerintah, katanya, tak menginginkan ada praktik perusahaan begitu mudah mendapatkan izin, sementara masyarakat sekita kesulitan memanfaatkan lahan sekitar mereka.

“Konsesi yang diberikan kepada swasta kalau di tengahnya itu ada desa yang sudah bertahun-tahun hidup, kemudian menjadi bagian konsesi ya harus diberikan. Berikan kepada masyarakat desa itu kepastian hukum.”

Dia memerintahkan, menteri dan jajaran pemerintahan mencabut konsesi yang telah diberikan kepada berbagai perusahaan kalau dalam pelaksanaan ada konflik lahan.

“Kalau yang diberikan konsesi sulit-sulit, cabut konsesinya. Saya sudah perintahkan ini, cabut seluruh konsesi. Tegas. Sudah jelas di situ sudah, ini hidup lama di situ malah kalah dengan konsesi baru yang baru diberikan,” katanya.

Menurut dia, pemerintah harus menomorsatukan rasa keadilan dan kepastian hukum. “Jangan sampai masyarakat yang sudah hidup lama di kawasan justru kalah oleh perusahaan yang baru saja diberikan izin konsesi.”

Untuk menangani masalah serupa itu di seluruh wilayah Indonesia, katanya, perlu ketegasan dan langkah sistematik. Dengan upaya tersistem itu,Jokowi berharap, penyelesaian sengketa tak hanya per kasus melainkan menyentuh seluruh persoalan dasar.

Jokowi menegaskan, kebijakan-kebijakan yang berimplikasi pada penataan dan penanggulangan sengketa pertanahan bisa terus jalan, seperti kebijakan satu peta dan percepatan penerbitan sertifikat untuk rakyat.

Kebijakan satu peta, katanya, sedang proses hendaknya bisa menyelesaikan berbagai persoalan konflik pertanahan. Selain itu, program sertifikasi dan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) juga bisa terlaksana.

Salah satu yang jadi fokus perhatian dia adalah konflik pertanahan masyarakat adat Sinama Nenek dengan BUMN PT Perkebunan Negara (PTPN) V di Kampar, Riau. Konflik ini, katanya, terjadi selama 22 tahun.

Dalam rapat hadir juga Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri seoerti, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan. Lalu, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, Mensesneg Pratikno, Seskab Pramono Anung, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Juga, Menteri Pekerjan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkominfo Rudiantara, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pusjiastuti, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

 

Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Lepas konsesi PTPN dan kampung tua Batam

Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, pemerintah memutuskan melepas lahan 2.800 hektar untuk masyarakat adat Sinama Nenek.

“Sudah disepakati PTPN akan melepaskan konsesi. Nanti diberikan hak kepada masyarakat,” katanya.

Konflik lahan antara masyarakat dengan BUMN, katanya, relatif lebih mudah selesai.

“Cerita di Kampar itu, konflik masyarakat dengan BUMN. Setelah dilihat selama 22 tahun itu nanam sawit tak pernah keluar sertifikat. Tadi setelah evaluasi, akhirnya Kementeraian BUMN merelakan untuk menyelesaikan konflik itu,” katanya.

Konflik lahan lain yang dibahas dalam rapat kabinet itu yaitu soal desa-desa tua di Pulau Batam. Sebelum ada Badan Otorita Batam, katanya, ada 20 kampung tua berdiri di sana. Dalam ketentuan mengatakan, seluruh daerah di Batam, jadi hak penguasaan Badan Otorita Batam. Kampung-kampung yang ada sebelumnya, dianggap tak ada.

“Sekarang kesimpulannya keseluruhan kampung tua itu dikeluarkan dari Badan Otorita Batam. Sudah ada kesepakatan akan legalisiasi dan diberikan kepada masyarakat. Konflik di Karawang juga sudah selesai. Kemudian yang terjadi di Pulau Serangan Bali juga selesai,” katanya, seraya bilang penyelesaian konflik lain tetap lanjut.

Sofyan mengatakan, kasus sengketa lahan di KATR/BPN ada 8.959 kasus. Kasus-kasus itu, ada sudah selesai, juga ada baru masuk.

“Dari 8.959 kasus, 56% sengketa antarmasyarakat, antara tetangga dengan tetangga, sengketa batas, harta warisan dan lain-lain. Kemudian 15% orang dengan badan hukum, dan 0,1% badan hukum dengan badan hukum,” katanya.

Dia bilang, pemerintah berkomitmen menyelesaikan konflik lahan masarakat adat perusahaan. Kalau ternyata perusahaan bersalah, pemerintah akan ambil tindakan tegas sesuai ketentuan hukum.

Mengenai konflik antara masyarakat dengan negara, seperti dengan kementerian, TNI, pemerintah daerah dan lain-lain, katanya, penyelesaian memerlukan perlakuan khusus.

“Ini karena dalam UU Keuangan Negara menyatakan, aset negara tak bisa dieksekusi. Itu yang menyebabkan Konflik dengan instansi banyak tak mampu selesai. Kecuali tanah dilepaskan oleh institusi. Yang sulit, begitu sengketa dengan institusi, tanah sudah didaftarkan dan jadi aset negara. Kita tak bisa selesaikan. Ini perlu penanganan khusus,” katanya.

Sofyan mengatakan, dengan pendekatan penyelesaian konflik KATR/BPN, dia optimis berbagai sengketa tanah akan makin berkurang.

“Diharapkan masa depan tak ada konflik lagi. Kita akan sertifikatkan tanah seluruh Indonesia. Tahun ini Jakarta akan selesai. Daerah yang sudah 11% selesai antara lain, Bali, Solo dan Magelang.”

Menanggapi hal itu, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam keterangan pers mengatakan, KPA mengapresiasi perintah Presiden Jokowi. Dia berharap, hasil ratas dan perintah presiden tidak menguap begitu saja. Sebab, berdasarkan catatan KPA, presiden beberapa kali memimpin ratas dengan membahas hal serupa.

“Selama ini, kami menilai jajaran kementerian terkait seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian BUMN, justru menghindari langkah penyelesaian konflik agraria bersama rakyat,” katanya.

Kementerian-kementerian ini, katanya, malah kembali pada kerja-kerja biasa (bussines as usual), di mana masalah konflik agraria dengan rakyat dipandang sebagai problem adminsitrasi hukum semata, bukan masalah keadilan sosial.

Dia bilang, komitmen ratas juga bisa menguap kala para pimpinan daerah seperti gubernur dan bupati tak diperintahkan mengambil langkah sejalan agenda ini.

Berdasarkan catatan KPA, selama dekade Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, telah mewariskan sebanyak 1.770 konflik agraria dialami 926.700 keluarga. Hal ini disertai penangkapan 1.534 petani dan masyarakat adat di banyak tempat di Indonesia.

“Dengan warisan semacam itu, saat Pemerintahan Jokowi mulai memimpin, penyelesaian masalah konflik dan ketimpangan agraria jadi pekerjaan rumah yang ditunggu masyarakat luas. Terutama petani, penggarap, buruh tani, dan masyarakat adat. Langkah pemerintah kami pandang belum serius.”

Dalam empat tahun terakhir ini, kata Dewi, para menteri terkait enggan menyentuh wilayah-wilayah konflik agraria yang bersifat struktural untuk masuk kerangka reforma agraria. Dalam 2015-2018, ada 1.769 konflik agraria di berbagai provinsi.

“Kami mengkritisi unit-unit penyelesaian konflik dan sengkreta agraria di ragam kementerian dan lembaga negara baik pusat dan daerah. Terbukti tidak sanggup berbuat banyak. Konflik agraria adalah problem lintas sektor pemerintahan, hingga unit tidak dapat menyelesaikan konflik agraria lintas sektor secara tuntas dan berkeadilan.”

Pemerintah, katanya, perlu mengambil tindakan korektif cepat dan sistematis langsung dipimpin dan diawasi presiden.

“Presiden memimpin dan mengawasi berkala langkah-langkah penyelesaian konflik agraria sesuai perintah dalam ratas. Presiden seharusnya menggunakan kecepatan dan ketepatan penyelesaian konflik agraria sebagai langkah evaluasi kinerja para menteri,” katanya.

 

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya?
Foto: Dokumen AMAN Kaltim

 

Dewi bilang, sebenarnya ada beberapa langkah mempercepat proses ini, misal, presiden memerintahkan para menteri membuka data konsesi perusahaan perkebunan, kehutanan, tambang, properti, hak guna usaha, hutan tanaman industri, dan hak guna bangunan. Juga data Perhutani, Inhutani dan izin tambang yang menyebabkan ketimpangan dan konflik agraria. Selama ini, banyak merugikan dan melanggar hak-hak masyarakat.

Selain itu, katanya, segera overlay data-data konsesi dengan peta wilayah hidup rakyat yang telah diusulkan berulangkali kepada pemerintah baik pusat dan daerah.

Dengan demikian, kata Dewi, presiden dapat mengganti acara-acara penyerahan sertifikat melalui program PTSL dengan pelepasan dan pengeluaran desa-desa, kampung-kampung, sawah, kebun masyarakat, ladang pengembalaan, tambak, fasilitas umum dan fasilitas sosial masyarakat dari klaim tanah maupun hutan negara, HGU dan konsesi lain.

“Menurut kami, langkah ini hanyalah permulaan dari agenda reforma agraria sejati sesuai UU Pokok Agraria dan Tap MPR Nomor 9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.”

 

 Capaian reforma agraria

Sofyan Djalil mengatakan, reforma agraria untuk memberikan kepastian hukum soal kepemilikan tanah bagi masyarakat.

“Reforma agraria hakikatnya bagaimana kepemikian tanah ini bisa mendapatkan kepastian hukum dan akses masyarakat kepada tanah. Saat ini kepastian hukum yang paling penting adalah dengan program sertifikasi tanah,” katanya.

Sejak 2017, KATR/BPN meluncurkan program PTSL untuk mendukung reforma agraria. PTSL, katanya, berbeda dengan program sebelumnya. Kalau dulu program sertifikasi tanah secara sporadis, katanya, sekarang secara sistematis.

Hasil PTSL, pada 2017, mengeluarkan sertifikat 5,4 juta bidang. Pada 2018, kenaikan jadi 9,3 juta bidang. Target ingin dicapai pada 2019, 9 juta bidang tanah yang disertifikasi.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, menetapkan agenda reforma dengan target 9 juta hektar yang meliputi dua kelompok program besar. Pertama, legalisasi aset 4,5 juta hektar yang terdiri dari legalisasi terhadap tanah-tanah transmigrasi yang belum bersertifikat seluas 600.000 hektar dan legalisasi tanah-tanah yang sudah dalam penguasaan masyarakat 3,9 juta hektar. Kedua, redistribusi tanah 4,5 juta hektar meliputi redistribusi tanah terhadap HGU habis, tanah terlantar, dan tanah negara seluas 400.000 hektar dan tanah-tanah dari pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektar.

Kebijakan pemerintah mendukung program reforma agraria tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 86/2018. Sampai saat ini pemerintah baru berhasil menyelesaikan 12,5 juta bidang dengan luas 3,58 juta hektar atau 39,8% dari target yang telah ditentukan.

Soal redistribusi tanah, Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Muhammad Ikhsan Saleh mengatakan, sejak 2015-2018 telah redistribusi tanah 545.245 bidang seluas 412.354 hektar.

Pada 2018, target redistribusi tanah 350.000 bidang dengan realisasi 286.236 bidang (80,26%) seluas 215.876 hektar.

Sumber tanah untuk redistribusi tanah juga beragam. Realisasi dari bekas kawasan hutan 18.615 bidang (15.067,68 hektar), HGU habis atau tanah terlantar 17.343 bidang (9.955,62 hektar), tanah negara bebas 202.137 bidang (166.543,28 hektar).

Kemudian, lahan kelebihan maksimum 1.460 bidang (310,91 hektar), absentee 4.854 bidang (2.064,84 hektar), bekas erpacht 10.707 bidang (2.064,84 hektar), bekas swapraja 12.442 bidang (9.802,83 hektar), bekas gogolan 1.132 bidang (147,94 hektar), bekas hak adat atau ulayat 14.546 bidang (8.788,60 hektar).

“Tahun 2019, pemerintah meningkatkan redistribusi tanah menjadi 750.000 bidang di 31 Provinsi.”

Sementara itu, hingga kini sudah terbentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GRTA) di 31 provinsi dan 21 GTRA di kabupaten/kota.

 

Keterangan foto utama: Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version