Mongabay.co.id

Belt and Road Initiative, Walhi: Syarat RI Jangan Hanya Bagus di Kertas

Greenpeace dan nelayan Celukan Bawang Bali utara melakukan aksi menolak PLTU Celukan Bawang pada Selasa (18/4/2018). Foto : Made Nagi/Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

 

 

Pertemuan kedua forum kerjasama internasional, Belt and Road Inititive (BRI) berlangsung 25-28 April 2019 di Beijing, Tiongkok. Sebelumnya, pada Mei 2017. Pertemuan ini dihadiri lebih 37 negara termasuk Indonesia. Rombongan delegasi Indonesia dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla didampingi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Retno Lestari Priansari Marsudi Menteri Luar Negeri, Menteri Ristekdikti Mohamad Nasir dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong.

Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah memberikan syarat bagi masuknya investasi asing dari Tiongkok antara lain, pertama, investor Tiongkok harus pakai tenaga kerja asal Indonesia. Kedua, perusahaan yang berinvestasi harus memproduksi barang bernilai tambah.

Baca juga: Riset Sebutkan Negara Terlibat Belt and Road Cenderung Pilih Energi Bersih, Bagaimana Indonesia?

Ketiga, perusahaan asal Tiongkok wajib transfer teknologi kepada para pekerja lokal. Keempat, Pemerintah Indonesia memprioritaskan konsep investasi melalui business to business (B to B) bukan government to government (G to G). Kelima, jenis usaha yang dibangun harus ramah lingkungan.

Ridwan Djamaludin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mengatakan, BRI antara Pemerintah Indonesia dan Tiongkok, jangan seolah menjual kedaulatan Indonesia. Dia menjamin kerjasama itu menguntungkan kedua pihak.

Dia bilang, pendanaan proyek ini tak akan jadi utang pemerintah. Ia merupakan kerjasama antarpelaku swasta. “Dana Pemerintah Tiongkok tak disalurkan ke Pemerintah Indonesia, misal, proyek gagal, itu tak jadi utang pemerintah,” katanya.

Dalam skema BRI disepakati empat koridor, yakni, Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Bali. Penentuan empat koridor ini dibuat agar pembangunan Indonesia tak Jawasentris.

“Kita membuat empat koridor itu selain menarik investor juga menyeimbangkan pembangunan Indonesia. Agar tak hanya terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Kita ingin dengan empat koridor terjadi pemerataan lebih cepat.”

Untuk menjamin skema BRI tak akan jadi utang pemerintah, katanya, pemerintah tak perlu tandatangan apapun dengan perusahaan. Pemerintah, katanya, hanya dokumen yang menyatakan, sepakat menjalin kerjasama terkait program di empat koridor itu. Dia bilang, pemerintah memastikan kepastian hukum dan insentif yang disiapkan.

“Kemudian isu keterlibatan publik. Saya merasa mereka juga tak ingin ada isu negatif yang berkembang. Seolah Tiongkok bermaksud menguasai dan menjajah negara lain. Semua negara pasti tak nyaman kalau distigmakan seperti itu. Ketika Indonesia mengusulkan pola B2B, mereka menyambut baik.”

Kerjasama skema BRI itu, katanya, diperlukan Indonesia. Dia contohkan, proyek pengembangan pelabuhan dan kawasan industri di Kuala Tanjung, ini masuk proyek strategis nasional. Hingga kini, belum ada investor mau mengambangkan lebih lanjut hingga kerjasama dengan Tiongkok dibuka.

“Ketika Tiongkok mau masuk, kenapa salah? Kenapa dikonotasikan seolah kita mau menjual NKRI? Yang kita lakukan, menarik investor.”

Dalam kerjasama ini, Pemerintah Indonesia dan Tiongkok, sepakat untuk studi kelayakan bersama. Bappenas dan China International Development Cooperation Agency (CIDCA) sudah menyiapkan dokumen buat jadi acuan bersama.

“Kemarin ada tiga sudah disepakati, antara lain, kawasan industri di Kalimantan Utara, kawasan industri pariwisata di Sulawesi Utara, pembangunan taman bunga di Danau Toba.”

Selain itu, katanya, pengembangan pendidikan vokasi dan cetak biru konsep industrialisasi Indonesia. “Kita tahu mereka sudah maju. Kita ingin mengambil pengalaman mereka.”

Kerjasama skema BRI, katanya, juga berupaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dia contohkan, ada kerjasama antara Tsin Hua University dengan Institut Teknologi Bandiung (ITB).

Dengan begitu, kata Ridwan, kerjasama ini tak semata-mata bertujuan komersil belaka juga ada aspek yang menguntungkan kedua belah pihak.

“Misal, untuk pengembangan industri mobil listrik. Baterai mobil listrik itu membutuhkan nikel, mangan dan kobalt. Untuk kobalt, Tiongkok sudah meneliti selama 15 tahun. Dengan kerjasama ini, kita akan melakukan terobosan iptek yang berdampak pada pembangunan.”

 

Ilustrasi. Penanaman kembali sawit rakyat akan masuk dalam pembiayaan Belt and Road Initiative?  Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, Tsin Hua University juga pengembangan South East Asia Region International Hub di Bali. Lewat kerjasama ini, katanya, akan ada banyak perusahaan terlibat dalam pengembangan inovasi.

Hal lain disinggung Ridwan, dalam skema BRI ini juga menyasar program penanaman kembali perkebunan sawit warga. Hal ini, katanya, perlu mengingat masih ada 12-14 juta petani sawit belum bisa tanam lagi.

“Untuk palm replanting, belum disepakati adalah metode penjaminan risiko exchange trade. Fluktuasi nilai mata uang siapa yang menjamin? Kemarin kita rapat melibatkan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan. Sampai kini belum dapat disepakati persis skemanya.”

Hal lain, dalam kerjasama ini juga pelatihan keterampilan massif. Untuk jalankan program ini, kata Ridwan, kedua belah pihak sepakat lewat tiga pendekatan. Pertama, Indonesia akan mengirim tenaga kerja ke Tiongkok. Kedua, Tiongkok mengirim instruktur mereka ke Indonesia. Ketiga, bantuan peralatan.

“Ini supaya ketika industri Tiongkok masuk, orang-orang kita sudah familiar dengan mesin. Supaya tak ada isu jutaan tenaga kerja Tiongkok menguasai Indonesia dan lain-lain. Mereka mau memakai tenaga kerja Indonesia. Itulah, perlu pelatihan ini, kita persiapkan semua,” katanya.

Soal proyek masih banyak pembangkit batubara, Ridwan berdalih, pembangunan PLTU akan gunakan teknologi ultra super critical. Sebisa mungkin, katanya, meminimalisir kerusakan lingkungan. “Kita memastikan, teknologi yang dibawa ini ramah lingkungan.”

Teknologi ultra super critical, katanya, jadi pilihan strategi pembangunan energi. Teknologi ini dinilai bisa meminimalisir pelepasan emisi.

“Hal yang kita kejar itu antara manfaat ekonomi dengan upaya melindungi lingkungan. Tak masalah juga. Itu bisa. Emisi bisa dimonitor terus-menerus. Kita harus sadari juga dalam pembangunan itu pasti ada biaya-biaya yang harus dibayar.”

 

Jangan hanya bagus di atas kertas

“Kelima syarat itu tentu saja terlihat baik, namun perlu dilihat apakah selama ini proyek yang dibiayai oleh China melaksanakan ketentuan itu,” kata Juru Kampanye Walhi Nasional, Edo Rakhman, akhir April lalu.

Dalam laporan perkembangan Pemerintah Tiongkok tentang BRI sebelum pertemuan kedua, menegaskan untuk jalankan Kesepakatan Paris. Namun, katanya, proyek-proyek pembangkit listrik batubara masih mendominasi pinjaman sektor listrik di BRI, bahkan menyumbang porsi terbesar (42%) dari pembiayaan sektor energi oleh bank-bank Tiongkok pada 2018.

Kondisi ini bertentangan dengan upaya global menurunkan emisi terutama sektor energi. Negara-negara lain sudah mulai meningggalkan energi kotor batubara, namun Pemerintah Tiongkok, melalui pembiayaan bank-bank mereka justru melanggengkan ketergantungan terhadap energi fosil.

“Baik G to G ataupun B to B, kami menganggap bukan di situ persoalannya. Kami tak mau terjebak pada perdebatan itu. Pada dasarnya, Indonesia sudah mengelola utang dari Pemerintah China,” kata Edo.

Instalasi panel surya buat warga Temon, Kulon Progo. Proyek-proyek energi terbarukan mikro yang melibatkan masyarakat yang harusnya mendapatkan perhatian, Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Data terakhir rilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (Sunli) April 2019, menunjukkan , status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah Tiongkok sebesar US$17,7 miliar atau setara US$248,4 triliun dengan kurs Rp14.000. Utang ini, dikelola pemerintah Rp22,8 triliun dan swasta Rp225,6 triliun, termasuk utang BUMN.

“Jadi baik itu G to G atau B to B yang didominasi BUMN, tetap akan jadi tanggungjawab negara dan pasti jadi beban rakyat Indonesia.”

Pada 2017, tiga bank Tiongkok, yakni,  China Contruction Bank, ICBC dan Bank of China termasuk dalam 10 bank di dunia yang paling buruk karena membiayai energi fosil. Total pembiayaan tambang batubara pada 2015-2017, masing-masing China Contruction Bank: US$12.608 juta, ICBC US$9.464 juta, dan BoC US$8.215 juta. Total pembiayaan PLTU batubara masing-masing bank, adalah ICBC US$13.463 juta, China Contruction Bank US$13.264 juta, BoC US$9.064 juta.

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye dan Keadilan Iklim Walhi Nasional menambahkan, dari 28 proyek usulan Pemerintah Indonesia senilai Rp1.296 triliun dalam kerangka BRI ini juga masih ada proyek listrik batubara antara lain, PLTU batubara berkapasitas 1.000 Mw kawasan industri dan pelabuhan internasional (KIPI), Tanah Kuning, Mangkupadi di Kalimantan Utara. Juga PLTU batubara berkapasitas 2×350 Mw di Celukan Bawang, Bali dan PLTU mulut tambang Kalselteng III berkapasitas 2×100 Mw serta Kalselteng IV berkapasitas 2×100 Mw, Kalimantan Tengah.

“Pembiayaan energi batubara masih berjalan dengan memorandum of understanding untuk tiga PLTU batubara. MoU dengan Toba Bara dengan Luhut sebagai salah satu pemilik menimbulkan konflik kepentingan. Dua PLTU juga sudah dibiayai Bank Mandiri dan PT SMI. Poryek sudah berjalan. Satu PLTU lagi tak jelas lokasi dan siapa pembangunnya,” katanya.

Bebeberapa proyek dengan MoU sudah berkali-kali, kata Yuyun, tak ada kejelasan hingga kini. Pembangunan KIPI Tanah Kuning dengan PLTU besar dan smelter, bagi Walhi, menunjukkan paradigma pembangunan masih mengandalkan industri ekstraktif dan ekspor bahan mentah.

Pemerintah, kata Edo, mesti mendudukkan masalah dari proyek yang akan ‘dijual’ ke Tiongkok. “Apakah sudah diketahui masyarakat tingkat tapak?”

Catatan Walhi, 80% masyarakat sekitar kawasan industri dan pelabuhan internasional Tanah Kuning, tak tahu informasi detil tentang proyek di daerah mereka. Informasi tak utuh ke masyarakat, katanya, rentan menimbulkan konflik.

“Masyarakat berhak tau proyek-proyek itu. Apa dampak bagi mereka.”

Yuyun bilang, secara keseluruhan proyek-proyek BRI tak ada korelasi dengan upaya pengurangan emisi secara global.

“Proyek-proyek BRI tak peka perubahan iklim dan lingkungan hidup.”

Alih-alih menawarkan proyek energi bersih seperti PLTA skala besar, Walhi menilai sebaiknya pemerintah membuka ruang untuk proyek energi bersih skala kecil seperti PLTS atau mikrohidro. Dengan proyek kecil, katanya, masyarakat bisa terlibat dan meminimalisir dampak lingkungan.

Merujuk pada proyek BRI yang berjalan di Indonesia, salah satu kereta cepat Jakarta-Bandung, Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Nasional mengatakan, proyek ini punya banyak catatan buruk.

“Proyek ini secara lingkungan bermasalah. Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red) hanya dikerjakan selama 10 hari, jadi preseden buruk,” katanya.

Selain itu, pengembangan Kawasan Walini di Kabupaten Bandung Barat dan Tegal Luar, akan memperluas bencana banjir. Walini, katanya, termasuk wilayah rawan pergerakan tanah.

“Daerah sekitar Tegal Luar itu jadi banjir rutin, ketika dibangun Transit Oriented Develompment praktis akan menimbun tanah. Sekarang sedang menimbun, otomatis daerah sekitar jadi lebih rendah, akan kebanjiran.”

Setelah Walhi melayangkan surat keberatan kepada PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), perusahaan merespon dengan mengatakan akan perbaikan antara lain, membuat kalkulasi ulang daerah rawan bencana.

 

Keterangan foto utama:  PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali, sebenarnya tidak termasuk dalam RUPTL 2018-2027. Bali sendiri saat ini sudah kelebihan pasokan listrik. PLTU ini masuk dalam proyek Belt and Road Initiative. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version