Mongabay.co.id

Surat Kemenko Perekonomian soal Larang Buka Data Sawit Tuai Protes

HGU PTPN ini juga sudah habis dan belum ada perpanjangan dari BPN. Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Surat Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tertanggal 6 Mei 2019, bikin geger. Soalnya, surat yang berisi upaya perbaikan tata kelola sawit ditutup dengan tak boleh mengeluarkan informasi kepada para pihak dengan alasan melindungi informasi sawit. Sontak, surat ini viral dan menuai kritikan banyak kalangan.

Surat ini dianggap melanggar putusan Komisi Informasi Pusat dan putusan Mahkamah Agung. Padahal, baru saja Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet terbatas (3/5) mengintruksikan percepatan penyelesaian konflik agraria yang terkait erat dengan syarat harus ada keterbukaan.

Surat ini ditandatangani oleh Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian ini, ditujukan kepada Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan pimpinan perusahaan-perusahaan di sektor sawit.

Ada empat point tertuang. Poin pertama, dibuka dengan menyebutkan pemerintah berupaya menetapkan kebijakan untuk praktik perkebunan sawit berkelanjutan. Kedua, menyebutkan, upaya praktik berkelanjutan memerlukan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan termasuk melindungi data dan informasi sawit yang disebut strategis dalam ekonomi dan kekayaan Indonesia.

Ketiga, disebutkan, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah menetapkan, data dan informasi mengenai hak guna usaha kebun sawit, baik nama pemegang, peta maupun lokasi sebagai informasi dikecualikan untuk dapat oleh pemohon informasi publik. Menurut surat itu, sesuai diatur UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan PP Nomor 61/2010 tentang KIP.

”Kami harap saudara dapat pula ikut serta dalam mendukung kebijakan melindungi data dan informasi sawit dan diharapkan tidak melakukan inisiatif membuat kesepakatan dengan pihak lain (konsultan, non-governmental organization, multilateral agency, dan pihak asing) dalam pemberian data dan informasi yang terkait kebun sawit,” begitu bunyi poin keempat surat itu.

Koalisi masyarakat sipil untuk advokasi buka data HGU menilai, surat ini merupakan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Agung. Koalisi terdiri dari YLBHI, Walhi, Forest watch Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Sawit Watch, Huma, TuK Indonesia, Auriga, AMAN, ICEL, Greenpeace, dan Elsam.

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Mereka menuntut pencabutan surat edaran ini. Kalau tidak, akan jadi langkah mundur negara yang menjanjikan reforma agraria, pengakuan wilayah adat, dan moratorium sawit.

”Menurut kami surat itu sangat tak beralasan dan tak berdasarkan hukum karena upaya itu adalah sepihak dan intervensi pemerintah ke pengusaha untuk menutup-nutupi atau tak terbuka dengan HGU perkebunan sawit,” kata Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dia mengatakan, sudah ada tiga putusan Mahkamah Agung yang mengatur tentang ketebukaan informasi data HGU. Bahkan, putusan MA telah membatalkan hasil uji konsekuensi KATR/BPN tentang informasi data HGU Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP. Yakni, putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/TUN/2017 soal pembatalan hasil uji konsekuensi oleh KATR/BPN. Melalui putusan itu juga, MA menetapkan, informasi HGU dengan rincian nama pemegang izin HGU, tempat atau lokasi, luas HGU, jenis komoditi, dan peta area dilengkapi titik koordinat dinyatakan terbuka.

Dengan begitu, katanya, informasi publik yang dinyatakan terbuka bagi masyarakat berdasarkan mekanisme keberatan dan, atau penyelesaian sengketa, sebagai informasi publik yang dapat diakses pengguna informasi publik.

Kondisi ini, katanya, membuktikan pemahaman pejabat pubik dan kementerian terhadap UU KIP masih sangat minim.

Selain surat dari Deputi Kemenko Perekonomian, dua tahun lalu, 8 September 2016, Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN menjawab surat Gapki perihal klarifikasi terkait pelayanan informasi publik di lingkungan BPN. Ia menggarisbawahi, berdasarkan UU Nomor 14/2008 tentang KIP, bahwa informasi publik tak dapat diberikan atau dikecualikan, antara lain, informasi berkaitan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tak sehat dan informasi yang berkaitan hak-hak pribadi.

”Sudah semestinya informasi yang bersangkutan perlu dijaga kerahasiaannya oleh para pelaku industri sawit nasional, sekalipun dokumen memuat data dan informasi termasuk dalam atau berkenaan dengan kepemilikan, penguasaan dari masing-masing pelaku industri sawit yang bersangkutan,” kata Sofyan, dalam surat itu.

Sebelumnya, pada 4 April 2016, Ferry Mursyidan Baldan, Menteri ATR/BPN menjawab surat RSPO berdasarkan Peraturan Kepala BPN Nomor 6/2013, Pasal 12 menyebutkan, informasi yang dikecualikan dalam keterbukaan informasi publik yaitu buku tanah, surat ukur dan warkah. RSPO mensyaratkan kepada anggota yang punya perkebunan sawit untuk memberikan atau mempublikasikan peta kebun kepada organisasi.

Sofyan beralasan, aturan peraturan Kepala BPN itu hanya diberikan kepada instansi pemerintah tertentu dalam menjalankan tugas dan bersifat kasuistis.

 

Hutan di Aceh, Indonesia, terbabat jadi sawit. Foto: Janaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

Maladministrasi kebijakan

Koalisi pun menduga terjadi maladministrasi kebijakan dengan ada surat imbauan ini. Mereka berencana melaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

”Ombudsman perlu lacak apakah ada mal administrasi dari proses lahirnya surat ini, apa rasional surat ini? Pihak mana yang diuntungkan dengan lahir surat ini? Yang jelas, petani-petani kecil masih berjuang mendapatkan HGU yang akan dirugikan,” kata Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI.

Dewi Kartika, Sekjen KPA mengatakan, surat ini bertolak belakang dengan instruksi presiden dalam ratas percepatan penyelesaian konflik agraria dan menunjukkan ada konspirasi di dalam tubuh kementerian dengan kelompok perusahaan sawit. “Ini juga melengkapi kolaborasi kuat antara pengusaha sawit dengan anggota DPR yang tengah menggodok RUU Perkelapasawitan.”

Desakan membuka HGU sudah lama dilakukan masyarakat sipil. FWI mencatat, sepanjang 2013-2018, KATR/BPN sudah 11 kali diadukan kelompok masyarakat sipil maupun perorangan untuk kasus sengketa informasi terkait dokumen HGU. Mulai dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Aceh dan Papua. Semua putusan Komisi Informasi Publik (KIP) agar pemerintah membuka data. Sembilan kasus telah ada putusan KIP.

 

Orangutan ini menderita luka di kepalanya dan ruang geraknya juga menyempit akibat habitatnya di Hutan Lindung Sungai Lesan mulai dikelilingi sawit. Foto: Centre for Orangutan Protection (COP)

 

Dia contohkan, Maret 2019, koalisi melaporkan Menteri ATR/BPN ke Bareskrim Polri terkait penolakan membuka data HGU. Adapun pelaporan ini berdasarkan pada putusan KIP Nomor: 004/III/KI-Papua-PS-A/2018, tertanggal 28 Mei 2018 oleh LBH Papua yang mengajukan sengketa terhadap Kanwil BPN Papua atas data 31 HGU perusahaan perkebunan sawit.

Dalam eksekusi, proses sudah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura tertanggal 10 September 2018. Permohonan eksekusi dikabulkan PTUN Jayapura pada 2 Oktober 2018 dan menyatakan putusan KI No. 004 tahun 2018 dapat dieksekusi. Sayangnya, hingga kini, informasi data HGU belum juga diberikan kepada LBH Papua.

Bareskrim Polri memutuskan kasus ini dilimpahkan ke Polda Papua. ”Ini juga salah satu upaya (pengabaian terhadap keterbukaan informasi) karena bagaimana mungkin Polda Papua memanggil menteri?” kata Era.

Menurut dia, beberapa putusan keterbukaan informasi sudah menang, namun hingga kini pemerintah tak jalankan putusan pengadilan. ”Political will saja tidak cukup. Ini sudah persoalan politik karena beberapa tindakan hukum sudah tidak diindahkan. Bolanya sekarang di presiden.”

Ada surat deputi di Kemenko Perekonomian ini, katanya, malah bertolak belakang dengan upaya pemerintah menjalankan Instruksi Presiden Moratorium Sawit.

Fatilda, Manajer Kampanye Wilayah Kelola Rakyat Walhi Nasional mengatakan, pemerintah seharusnya segera mengevaluasi kinerja perkebunan sawit. Banyak masalah tumpeng tindih HGU dengan wilayah hutan maupun non hutan dan lahan kelola masyarakat. Juga perambahan tanpa mengantongi izin dan memiliki HGU tetapi tidak melakukan penanaman.

”Praktik ini berpotensi pada konflik agraria. Kami duga sangat tinggi potensi korupsi. Di sinilah, kerusakan hutan dan lingkungan amat tinggi di kawasan perkebunan,” katanya.

Agung Ady Setyawan dari FWI mengatakan, surat ini memerlihatkan, pemerintah seperti ketakutan dan berupaya menjaga nama baik Indonesia di dunia Internasional.

”Semestinya untuk perbaikan tata kelola industri sawit di Indonesia itu harusnya pemerintah tak melihat itu dulu. Kalau mau perbaiki tata kelola sawit harusnya dari hal-hal, seperti transparansi harus benar. Kalau mau bicara sawit yang baik dan berkelanjutan, ya kami rasa dengan surat ini malah langkah mundur.”

Keterbukaan informasi, katanya, erat kaitan dengan pelaksanaan program reforma agraria. Untuk itu, perlu ada ketegasan presiden mengevaluasi kinerja para pembantunya.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, surat ini merugikan masyarakat dan keragaman hayati di Indonesia. Pertama, masyarakat karena ketidaktahuan dan basis klaim dari perusahaan harus terusir dari tanah leluhur yang sudah jadi ‘milik’ perusahaan.

Kedua, negara memiliki potensi kehilangan pendapatan dari lahan yang tak terdaftar dalam HGU dan potensi kerusakan lingkungan maupun keragaman hayati akibat dari usaha di luar HGU. Pemerintah, katanya, perlu melihat ini tak seperti kata mata kuda. “Apakah ketika data HGU tak diberikan, maka perkebunan sawit yang berkelanjutan dapat tercapai?”

 

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Keistimewaan elit politik

Menurut KPA dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), surat ini jadi keistimewaan kepada pengusaha industri sawit sekaligus memperlihatkan pembangkangan kementerian atas perintah presiden.

Mereka khawatir, surat ini membahayakan hak-hak dan masa depan petani dan masyarakat adat. Keterbukaan data HGU, katanya, sangat penting untuk kepentingan publik lebih besar.

“Surat edaran justru menunjukkan arogansi pemerintah yang tak menghormati hukum, terutama putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan pemerintah melalui Menteri ATR/BPN membuka data HGU kepada publik,” kata Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN.

Untuk itu, katanya, tak ada alasan lagi bagi pemerintah menutup data yang bisa menghambat penyelesaian konflik agraria sampai ke akar, terutama, ketidakadilan dampak pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan.

Dia bilang, keistimewaan pada industri sawit ini berbanding terbalik dengan upaya pengakuan hak-hak petani dan masyarakat adat. “Kini puluhan ribu desa, wilayah adat, garapan petani, dan kebun rakyat berada dalam klaim HGU perusahaan.”

Selama ini, masyarakat sipil sudah melaporkan dan menyerahkan data-data konsesi bermasalah dengan tanah rakyat. Di masa Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, KPA bersama 120 organisasi tani telah menyerahkan data usulan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) kepada pemerintah. Ini menyangkut konflik agraria antara desa-desa, pemukiman, kebun dan sawah masyarkat dengan konsesi seluas 662. 493 hektar di 522 desa. Dari total luasan itu, 400.593 hektar tumpang tindih dengan HGU swasta dan negara.

Begitu juga AMAN, telah menyerahkan data wilayah adat dari 785 komunitas total luasan 9.596.765 hektar. Dari total itu 313.687 hektar wilayah adat tersebar di 211 komunitas tumpang tindih dengan HGU.

Koalisi pun masih menunggu langkah korektif melalui eksekusi reforma agraria sebagai jalan pemenuhan hak konstitusional rakyat secara penuh dari klaim-klaim konsesi perkebunan kepada masyarakat adat dan petani, termasuk masyarakat miskin di pedesaan dan pedalaman.

Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, dengan ketertutupan data HGU, malah akan makin menyulitkan penyelesaian konflik agraria, terutama sektor perkebunan sawit.

Satu contoh konflik lahan warga dan perusahaan sawit di Kalteng. Sejak 2008, warga di Desa Sembuluh I, Kecamatan Danau Sembuluh, Seruyan, Kalimantan Tengah, berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit, PT Selonok Ladang Mas. Hingga kini, konflik tidak kunjung selesai. Konflik ini bahkan melibatkan oknum kepolisian dari Polsek Danau.

“Warga yang memperjuangkan tanah dan sumber kehidupan sekitar Danau Sembuluh terus dipaksa menyerahkan tanah kepada perusahaan. Permintaan penghentian aktivitas perusahaan dan agar proses dialog melalui mediasi oleh Kepala Desa Sembuluh tak dihiraukan perusahaan dan oknum kepolisian,” kata Agus, perwakilan warga Desa Sembuluh I, saat diskusi di Jakarta, Kamis (9/5/19).

Padahal, katanya, warga sudah mendiami wilayah itu sejak lama. Warga juga memegang bukti kepemilikan tanah seperti surat kepemilikan tanah (SKT).

Ketika masyarakat Desa Sembuluh I meminta perusahaan menunjukkan data HGU, tak pernah mau. Perusahaan mengklaim wilayah mereka berdasarkan HGU seluas 14.166 hektar.

“Tanah yang berkonflik cukup banyak. Di forum kami ada 400 orang, di situ saja ada 500 hektar tanah belum selesai. Padahal, kami memegang SKT,” katanya.

Ketidakterbukaan data HGU seperti dialami Agus ini membuktikan, data itu penting dibuka kepada publik agar konflik bisa selesai.

Berdasarkan data Walhi Kalteng, di provinsi ini, setidaknya ada 344 konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan. Dari jumlah itu, banyak terjadi di perkebunan yang mengklaim sudah mendapatkan HGU.

“Info tak terbuka ini menimbulkan kebingungan di masyarakat. Perusahaan mengatakan, sudah memegang HGU. Mengatakan masyarakat tak berhak mengklaim tanah yang sudah didiami sejak lama. Tetapi masyarakat juga tak merasa pernah menjual lahan. Contoh, di Desa Sembuluh ini, di mana pemilik lahan tiba-tiba ditarik polisi keluar dari tanah mereka sendiri,” kata Dimas.

 

 

Sikap pemerintah melalui deputi di Kemenko Perekonomian itu, menunjukkan ketidakseriusan dalam menyelesaikan berbagai konflik agraria.

Wahyu Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Walhi Nasional mengatakan, data HGU tak terbuka punya ancaman lingkungan cukup serius. Dia merujuk pada data sebaran titik api yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan.

“Jadi ketidakterbukaan data HGU punya implikasi lingkungan. Juga menimbulkan kehilangan kepastian hukum. Bukan hanya untuk masyarakat, juga penegakan hukum.”

Dia juga menilai, surat edaran Kemenko Perekonomian itu, bertentangan dengan semangat presiden mempercepat proses penyelesaian konflik agraria.

Belum sebulan, saat rapat terbatas kabinet di Istana Presiden Jakarta, Jokowi mendesak para menteri dan jajaran serius menyelesaikan konflik agraria. Bahkan presiden mengancam, agar mencabut konsesi perusahaan yang belum menyelesaikan konflik agraria. Anehnya, titah presiden malah dijawab bawahan dengan surat agar menutup informasi sawit.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mendesak pemerintah mencabut surat edaran itu. Yaya, biasa disapa mengatakan, kalau data HGU tak dibuka akan makin mempersulit penyelesaian konflik agraria.

“Konflik agraria persoalan yang berlangsung sejak lama, berpuluh tahun. Kalau melihat ke belakang, Jokowi mengatakan, pemerintah akan koreksi kesalahan masa lalu. Dengan langkah ini, tak sejalan dengan ucapan,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama: HGU PTPN ini juga sudah habis dan belum ada perpanjangan dari BPN. Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Surat Deputi Kementerian Koordinaror Perekonomian soal data dan informasi kebun sawit

 

Exit mobile version