Mongabay.co.id

Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara, Wilayah Ini Kandidat Kuat?

 

 

Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur [Kaltim], untuk meninjau lokasi yang akan menjadi alternatif ibu kota negara yang baru, Selasa [07/5/2019].

Jokowi langsung menuju kawasan Bukit Soeharto yang berada di area taman hutan raya [tahura] di Jalan Poros Balikpapan-Samarinda. Sesuai usulan Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor, tahura ini dinilai sangat layak menjadi kandidat kuat pengganti ibu kota negara lantaran berada di antara Kota Balikpapan dan Samarinda. Insfratruktur memadai juga sudah tersedia di lokasi yang ditunjuk.

Jokowi menyebut, kawasan tahura, Kaltim, layak menjadi Ibu Kota Negara Indonesia. Ditinjau dari segi insfratruktur, tahura merupakan paket lengkap dan mudah dijangkau. Letaknya sudah dilalui jalan tol dari Balikpapan ke Samarinda, yakni dua kota yang masing-masing sudah memiliki bandar udara dan pelabuhan laut.

“Kawasan yang diusulkan Kaltim ini, sudah layak menjadi alternatif ibu kota negara. Dari segi infrastruktur sudah mendukung, ada bandara dan ada pelabuhan laut,” katanya.

Meski demikian, Jokowi tidak lantas menyetujui tahura sebagai kandidat terkuat. Menurutnya, harus ada persiapan matang untuk pemindahan ibu negara. Tidak saja dari kelengkapan infrastruktur tapi juga segi lingkungan, sosial-politik, kebutuhan air, kebencanaan, dan lain-lain.

“Selain Kaltim, juga ada Kalimantan Tengah yang sudah mengajukan kawasan alternatif pengganti ibu kota. Semua aspek dilihat dulu, kemudian baru ditentukan pilihan,” jelasnya.

Baca: Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Luar Jawa, Berikut Masukan Para Pihak

 

Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Foto: Wikimedia Commons/Arief Rahman Saan [Ezagren]/Own work/Creative Commons/Pubic domain

 

Rencana ini disambut baik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Wakil Gubenur Kaltim, Hadi Mulyadi, yang mendampingi Jokowi, menyatakan terima kasih kepada Presiden karena telah melirik Kaltim sebagai salah satu kandidat untuk menggantikan Jakarta. “Tinggal menanti keputusan Presiden saja,” jelasnya.

Ketua DPRD Kaltim, M Sahrun dan Walikota Balikpapan, Rizal Effendi, yang turut meninjau lokasi bersama Jokowi, merespon baik harapan tersebut. Rizal mengatakan, ketika Kaltim diusulkan menjadi salah satu calon ibu kota negara, tentu sudah dengan berbagai pertimbangan. Balikpapan harus siap menyokong alokasi lahan, sebab kebijakan Pemprov Kaltim itu sendiri.

“Infrastruktur sudah ada. Seperti Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, juga pelabuhan laut dan jalan tol. Lahannya juga ada,” katanya.

 

Presiden Jokowi saat mengunjungi Tahura Bukit Soeharto sebagai salah satu wilayah alternatif ibu kota baru. Foto: Humas Pemprov Kaltim

 

Tahura adalah hutan konservasi

Terlepas dari usulan Gubernur Kaltim, Tahura Bukit Soeharto merupakan hutan konservasi yang tergerus. Hutan ini hanya terlihat rimbun di pinggir, sementara bagian tengah, telah gundul.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] Kaltim, Pradarma Rupang, menegaskan Bukit Soeharto tidak layak menjadi ibu kota pengganti. Jatam juga mengkritik Gubernur Kaltim, pemanfaatan tahura sebagai lahan pembangunan ibu kota adalah langkah penghancuran dan eksploitasi besar-besaran. Jatam melihat, Gubenur Kaltim sengaja mengusulkan tahura untuk menurunkan fungsi hutan.

“Tahura itu dikepung banyak tambang, padahal fungsinya sebagai cadangan air di tiga kota besar Kaltim, yakni Balikpapan, Kutai Kartanegara, dan Samarinda. Gubernur Kaltim merekomendasikan karena mau menurunkan status hutan, hingga akhirnya ada eksploitasi pertambangan,” jelasnya.

Dalam catatan Jatam, aktivitas pertambangan batubara di tahura menggeliat sejak keluarnya surat keputusan kolaborasi Kementerian Kehutanan melalui SK Menhut No. 270/1991 dan SK No 577/2009. SK tersebut menetapkan sejumlah perusahaan yang bisa memanfaatkan jalur sepanjang Tahura Bukit Soeharto untuk jalan hauling. Penjelasan Jatam, SK kolaborasi ini untuk menyiasati izin yang sudah kadung dikeluarkan, sebab perusahaan butuh akses jalan ke stockpile. “Tapi, jalur ini membelah tahura [eks HPH].”

Dijelaskan Rupang, jika Bukit Soeharto terpilih, maka Kota Balikpapan lebih dulu akan merasakan dampaknya. Balikpapan akan mengalami krisis air bersih, karena cadangan airnya sebagian besar dari Bukit Soeharto. “Seharusnya Gubernur Kaltim melihat ini.”

Terlebih, lanjut dia, mengutip pernyataan Kepala Badan Kepegawaian Negara [BKN], Bima Haria Wibisana, akan ada satu juta aparatur sipil negara yang ikut pindah ke ibu kota baru, dengan begitu Kaltim akan sesak. Menurutnya, selain pembangunan gedung-gedung perkantoran, pemerintah juga akan membangun rumah-rumah baru. “Mau dibangun di mana rumah-rumah itu? Kalau semua dibagun di tahura, Bukit Soeharto tinggal kenangan,” katanya.

Rupang mengungkapkan kecurigaan, dalih mengusulkan ibu kota adalah langkah awal kejahatan korporasi yang baru. Sebab, semua batubara yang ada di tahura akan lebih dulu dipindah, setelahnya baru pembangunan perkantoran. “Gubernur Kaltim butuh alasan kuat dan ketemu momentumnya,” ujarnya.

Senada, konsultan pemetaan lingkungan di Kaltim, Doni Tiaka, menyebut pemindahan ibu kota ke Bukit Soeharto adalah hal mustahil. Ketimpangan kehidupan dan krisis air akan terjadi. Terlebih, dengan pertambahan penduduk sejumlah satu juta jiwa. “Tahura itu sudah rusak, ada tambang, ada jalan tol, sekarang mau jadi ibu kota. Mustahil tidak merusak lingkungan. Semula posisinya bukan di tahura, seharusnya pemerintah melihat dengan jeli,” ungkapnya.

 

Harus ada persiapan matang untuk memindahkan ibu kota negara beserta kajian lingkungan, sosial-politik, kebutuhan air, kebencanaan, dan lainnya sehingga bukan hanya kesiapan infrastruktur. Foto: Humas Pemprov Kaltim

 

Pemerintah

Akademisi sekaligus peneliti dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Rustam Fahmy mengatakan, kelayakan Bukit Soeharto sebagai alternatif ibu kota sudah lebih dulu dikaji.

“Kalau jadi pindah, tentu teknik sipil yang bertugas mengkaji ini sudah memperhitungkan berbagai hal. Bisa jadi, dengan hadirnya ibu kota di tahura, pemerintah membentuk rencana ibu kota hijau,” ujarnya.

Rustam melanjutkan, menentukan alih fungsi hutan adalah hak pemerintah. Contoh yang paling jelas adalah pembangunan jalan tol di kawasan tahura. Menurutnya, demi kepentingan publik, pemerintah bebas membuat kebijakan. “Sama seperti ibu kota ini, jika memang untuk kemaslahatan bersama, pemerintah bisa membuat keputusan alih fungsi hutan.”

Rustam membenarkan, kondisi tahura saat ini kritis. Bukan hanya diambang kehancuran, tapi memang hancur. Sebab, selain konsesi pertambangan batubara, tahura juga lekat dengan perambahan kayu dan dua kali mengalami kebakaran. “Berbagai masalah menyerang, tapi masih ada hutan bagus. Ada yang dikelola litbang Samboja, kawasan itu harus dipertahankan. Nantinya, kalau bisa dibuat hutan-hutan kecil seperti ruang terbuka hijau.”

Rustam mengatakan, untuk pembangunan perkantoran baru, pemerintah dipastikan tidak akan mengganggu hutan yang masih bagus. Meski ada tujuh DAS di sana, tidak ada aliran sungai yang menuju Kota Balikpapan. “Kalau ada yang mengatakan sebagai penyangga air di Kota Balikpapan, harus dikaji kembali. Semua, tidak ada yang mengalir di permukaan tanah. Mungkin di dalam tanah ada. Tapi selama ini, tidak ada yang mengalir langsung ke Balikpapan,” tegasnya.

Tahura Bukit Soeharto berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK.577/Menhut-II/2009 luasnya 67.766 hektar. Sebesar 53.151 hektar atau 78,43 persen merupakan hutan sekunder dan hutan primer [alami]. Wilayahnya berada di dua kabupaten, Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara.

Hutan ini dibelah jalan poros Balikpapan-Samarinda, tepatnya mulai Jalan Soekarno Hatta kilometer 38 hingga kilometer 69. Sebelah timurnya berbatasan dengan Pantai Tanah Merah, Desa Tanjung Harapan, Samboja, Kutai Kartanegara. Sementara di barat, bersisian dengan Desa Semoi Dua dan Sidomulyo, Sepaku, Penajam Paser Utara [Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Provinsi Kalimantan Timur, IPB, 2010, halaman 43].

 

 

Exit mobile version