- Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas membahas soal rencana pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Ide ini sebenarnya sudah wacana lama, sejak era Presiden Soekarno.
- Presiden mengingatkan, pemindahan ibukota memerlukan persiapan matang, detail, baik sisi pilihan lokasi tepat termasuk memperhatikan aspek geoplitik, geostrategis, kesiapan infrastuktur pendukung dan terkait pembiayaan.
- Dalam pembangunan, ada tiga komponen utama perlu diperhatikan, yakni natural capital, human capital dan physic capital. Begitu pula soal tata ruang, perlu konsisten dan kesepakatan bersama semua pihak bahwa sumber daya alam tetap terjaga. Daya dukung yang perlu dibangun, tak hanya fisik atau infrastuktur juga kapasitas manusia.
- Kalangan organisasi masyarakat sipil juga mengingatkan, pemindahan ibukota baru, jangan sampai memindahkan masalah baru, dari persoalan lingkungan sampai konflik-konflik tenurial.
Presiden Joko Widodo menyatakan, pemindahan Ibukota Jakarta, ke luar Pulau Jawa, dalam rapat terbatas Senin (29/4/19). Pertimbangan ini diambil guna mengurangi beban daya tampung dan daya lingkungan Pulau Jawa.
Gagasan pemindahan itu, kata Jokowi, sudah lama muncul, sejak era Presiden Soekarno. Mulai dari Kalimantan Tengah pada zaman Soekarno, Jonggol, Jawa Barat maupun Maja, Banten era Soeharto, pernah menjadi kandidat. Presiden pun mengingatkan, dalam membicarakan soal ini tak boleh berpandangan sempit.
”Kita harus berbicara tentang kepentingan lebih besar untuk bangsa, negara, dan kepentingan visioner jangka panjang sebagai negara besar dalam menyongsong kompetisi global,” katanya.
Bambang Brodjonegoro, Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, ada tiga alternatif ditawarkan kepada presiden.
Alternatif pertama, ibukota tetap di Jakarta tetapi daerah seputaran istana dan Monas dibuat khusus untuk kantor-kantor pemerintahan, kementerian, dan lembaga.
Kedua, pusat pemerintahan pindah ke luar Jakarta, namun masih radius sekitar 50-70 km dari Jakarta.
Ketiga, memindahkan ibukota ke luar Pulau Jawa, terutama kawasan timur Indonesia.
”Dalam rapat tadi diputuskan, presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan ibukota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini,” katanya.
Keputusan ini, katanya, mempertimbangkan agar Indonesia tak Jawa sentris dan terjadi pemerataan ekonomi. Meski demikian, pemerintah belum memutuskan daerah mana yang akan dipilih, kemungkinan mengarah kepada Kawasan Timur Indonesia. Dia bilang, model serupa pernah dilakukan di Brazil, Korea, dan Kazahstan.
Kemudian, katanya, akan ada ratas lanjutan untuk pembahasan panjang, lebih teknis, desain dan berbicara dengan masterplan dari kota itu.
Presiden pun mengingatkan, pemindahan ibukota memerlukan persiapan matang, detail, baik sisi pilihan lokasi tepat termasuk memperhatikan aspek geoplitik, geostrategis, kesiapan infrastuktur pendukung dan terkait pembiayaan.
Adapun, perkiraan biaya yang diperlukan guna memindahkan ibukota negara ini sekitar Rp323–Rp466 triliun.
Konsisten tata ruang
Mahawan Karuniasa, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia mengatakan, beban Jakarta sudah melampaui daya dukung. Indikator terlihat dari kemacetan, banjir, penurunan permukaan tanah (subsidensi), dan air tanah menyusut.
”Dari sisi lingkungan Jakarta, dengan sebagai pusat ibukota negara dan sebagai pusat ekonomi itu beban luar biasa. Sudah jelaslah, saya kira itu sudah melampaui daya dukung di Jakarta,” katanya di Jakarta.
Dalam pembangunan, ada tiga komponen utama perlu diperhatikan, yakni natural capital, human capital dan physic capital. ”Saat ibukota datang dimana pun, jangan sampai mereduksi natural capital (sumber daya alam-red). Karena itu mengancam kerusakan lingkungan,” katanya.
Soal tata ruang, katanya, perlu konsisten dan kesepakatan bersama semua pihak bahwa sumber daya alam tetap terjaga. Daya dukung yang perlu dibangun, katanya, tak hanya fisik atau infrastuktur juga kapasitas manusia.
”Sampai saat ini isu penduduk masih dianggap belum penting, padahal itu paling penting,” katanya. Kalau nanti ibukota pindah Kalimantan, misal, dia berharap pengetahuan lokal dan budaya asli Kalimantan, lebih tereksplorasi.
Menurut dia, ada dua konteks yang membuat pemerintah resmi memindahkan ibukota ke luar Pulau Jawa. Pertama, pemerintah berupaya mengurangi daya tarik Jakarta sebagai pusat perekonomian.
Kedua, dari sisi sosial, Jakarta, memiliki urbanisasi yang terus meningkat dan penduduk terus bertambah melampaui daya dukung.
”Kata kunci saat pemindahan ibukota negara itu adalah ibukota negara dan pemerintahan saja yang pindah, disertai regulasi dan tata ruang harus diatur baik. Perlu konsisten dengan itu.”
Prencanaan tata ruang, katanya, harus benar. Kalau ada kawasan harus dilindungi perlu konsisten terlindungi, meski datang sektor ekonomi, pembangunan dan pemukiman. “Ini jadi pekerjaan rumah karena ada kemungkinan muncul para makelar tanah.”
Dari awal, katanya, tata ruang harus dibangun berkelanjutan, baik sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dia contohkan, tak ada pemukiman berdiri di kawasan lindung.
”Konsepnya pun harus sustainable city, satu kota yang berorientasi masa depan. Energi ibukota baru kalo bisa jangan berbasis batubara tapi berbasis terbarukan,” katanya.
Mengenai lahan, perlu tata kelola yang baik dan mampu mengendalikan ibukota baru serta wilayah penyangga sekitar.
”Yang tadinya Kalimantan sudah 50% tak berhutan, dengan ibukota negara di sana hutan (bisa) kembali lebih 50%.”
Kalau tak konsisten, katanya, akan membuat masalah baru di tempat baru. “Maka akan ada kota di Indonesia yang daya dukung melampaui seperti Jakarta jika tidak berpindah dengan paradigma baru.”
Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas mengatakan, wacana pemintahan ibukota negara ke luar Pulau Jawa, tidak hanya mempertimbangkan soal isu lingkungan. ”Tidak hanya isu lingkungan, berbagai angle harus dipertimbangkan. Dari sisi ekonomi, lingkungan, kemudian juga dari pertahanan keamanan.”
Berbicara sisi lingkungan, pemindahan ibukota tidak hanya berbicara soal dampak, namun timbal balik dari sumber daya alam dan lingkungan di lokasi itu.
”Saran saya, ibu kotanya saja yang pindah, pusat bisnis dan ekonomi tak usah,” kata Mahawan. Pasalnya, Indonesia sebagai negara berkembang perlu berhati-hati karena peran pemerintah masih dominan dalam ekonomi.
Bambang bilang, Jakarta, jadi kota terburuk keempat berdasarkan survei kondisi lalu lintas saat sibuk dari 390 kota. Peringkat sembilan terburuk untuk kepuasan pengemudi, dan kinerja kemacetan terburuk, 33.240 stop start index serta grid lock yang mengakibatkan komunikasi dan koordinasi antar kementerian lembaga kadang-kadang tak efektif.
“Kerugian ekonomi yang diakibatkan tahun 2013 sebesar Rp56 triliun per tahun, kami perkirakan sekarang sudah mendekati Rp100 triliun per tahun dengan makin berat kemacetan di Jakarta,” kata Bambang.
Selain kemacetan, katanya, masalah yang harus diperhatikan di Jakarta, adalah banjir. Tak hanya banjir dari hulu, juga penurunan muka tanah di pantai utara Jakarta, dan kenaikan permukaan air laut, hingga 50% wilayah Jakarta itu rawan banjir atau memiliki kerawanan banjir di bawah 10 tahunan.
Idealnya, sebuah kota besar kerawanan banjir minimum 50 tahunan. “Penurunan muka air tanah di utara rata-rata 7,5 cm per tahun dan tanah turun sudah mencapai 60 cm pada periode 1989-2007. Akan terus meningkat sampai 120 cm karena pengurasan air tanah.”
Sedangkan air laut, katanya, naik rata-rata 4-6 cm karena perubahan iklim. Belum lagi, katanya, kualitas air sungai di Jakarta, 96% tercemar berat, hingga memiliki bahaya bencana signifikan untuk human pandemic sebagai dampak sanitasi buruk.
Tiga provinsi rekomendasi
Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengatakan, ada tiga provinsi rekomendasi BNPB sebagai ibukota baru karena dinilai aman dari bencana, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
”Kalau kita lihat dari tahun 1960 hingga kini, bencana wilayah paling aman ya di Kalimantan, Kalimantan Tengah, Timur dan Barat,” katanya.
Meski demikian, pemerintah harus memperhatikan terkait kebakaran hutan yang seringkali terjadi di Kalimantan.
”Harusnya itu bisa dikendalikan. Apalagi jika itu jadi pusat pertumbuhan ibu kota,” katanya.
Raditya Jati, Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB menyebutkan, terlepas dari pemindahan ibukota negara, secara spasial, tata ruang dan infrastruktur akan menimbulkan risiko baru.
”Titik penting bukan pada pemindahan ibukota, tetapi bagaimana menyiapkan mitigasi dan kesiapsiagaan,” katanya.
Wilayah-wilayah di Indonesia, memiliki peta risiko tinggi dan sedang terhadap bencana. “Yang kita siapkan adalah, upaya kesiapsiagaan.” Dia bilang, masih banyak pekerjaan rumah guna membenahi pengendalian tata ruang saat ini.
Sebenarnya, BNPB sudah memiliki kajian peta kerawanan bendana terintegrasi dalama perencanaan daerah. Sayangnya, Indonesia masih memiliki banyak tantangan kalau berbicara penegakan hukum. Untuk itu, katanya, perlu ada terobosan, misal, memberikan insentif bagi daerah yang memiliki penataan risiko bencana.
“Tata ruang itu menjadi catatan penting, karena pintu masuk peletakan semua secara spasial ada di tata ruang. Ini jadi pekerjaan rumah bersama bagaimana kita melakukan review tata ruang. Termasuk daerah kesiapan seperti apa, termasuk daerah yang betul-betul dikendalikan, ditaati. Ini kan tantangan.”
Berdasarkan dokumen Pemindahan Ibukota Negara atau Pemerintahan Indonesia pada Januari 2018 oleh Tim Nawa Cita menyebutkan, lokasi yang disarankan untuk ibukota baru adalah Jawa Pantai Utara Kawasan Tengah dan Kalimantan Daratan Kawasan Tengah. Implementasi kebijakan ini pun mesti berjalan dengan tiga prinsip, yakni, smart, speed, secrecy.
Nirwono Joga, Pakar Perkotaan mengatakan, wacana pemindahan ibukota ini harus dipertimbangkan matang. Dia nilai, tak tepat kalau alasan pemindahan ke luar Jawa, hanya karena masalah banjir, macet dan urbanisasi.
“Kalau ini menjadi alasan, saat yang bersamaan sebenarnya pemerintah sedang menyiapkan pembangunan infrastruktur Rp571 triliun untuk membenahi kemacetan dan banjir di Jabodetabek sampai 2030. Artinya, kita punya impian bersama 2030, Jakarta dan sekitar bisa bebas dari banjir ataupun terurai masalah kemacetan.”
Dia bilang, harus mempunyai alasan lebih kuat lagi untuk memindahkan ibukota.
Kalau persoalan urbanisasi jadi alasan, katanya, hal ini terjadi karena pembangunan di Indonesia cenderung Jakarta sentris. Untuk itu, pekerjaan rumah bukan hanya memindahkan Jakarta, tetapi pemerataan pembangunan di Indonesia.
“Membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jakarta. Fokusnya ke sana. Baik itu pembangunan di Bodetabek, maupun di Ibukota provinsi di Jawa yang menjadi sumber pendatang paling banyak ke Jakarta.”
Untuk memastikan, pembangunan ibukota baru itu jadi atau tidak, katanya, harus ada keputusan politik seluruh anggota parpol. Untuk membangun Ibukota itu, katanya, bisa sampai 20 tahun. Sedangkan, periode pemerintah sekarang, kalaupun kembali terpilih, hanya lima tahun.
“Lima tahun ini, kalau secara teknis belum bisa membangun fisik keseluruhan. Selama lima tahun pasti mengkaji dulu, memutuskan tempat dan lain-lain. Baru mungkin tahun keempat atau kelima akan ada peletakan batu pertama.”
Dengan begitu, harus ada keputusan politik bersama bahwa perpindahan ibukota jadi kesepakatan parpol.
Menurut dia, harus ada perubahan Undang-undang tentang ibukota, membentuk badan otoritas khusus yang menangani pembangunan ibukota.
Dengan keputusan bersama dari semua partai politik, kalaupun nanti terjadi perpindahan kepemimpinan negara, rencana pemindahan ibukota itu tak berhenti di tengah jalan.
Selain itu, katanya, soal tata ruang, di mana pemindahan memerlukan lahan sangat luas sekitar 30-40.000 hektar. Contoh paling mudah sebagai pembanding BSD Serpong.
“Itu kan dibangun di tanah seluas 6.000 hektar. Sampai sekarang lebih 25 tahun, baru berkembang dan dibangun sekitar 2.500 hektar.”
Selain itu, pemindahan ini berpotensi menguras keuangan negara. Angka perkiraan yang dilansir oleh Kementerian Bappenas untuk membangun ibukota baru Rp466 triliun dan kemungkinan bertambah.
“Dari sisi pembiayaan juga harus dieprtimbangkan. Apakah murni APBN, dan didukung BUMN-BUMD, atau swasta? Jangan sampai membangun ibukota baru dengan dana pinjaman, apalagi bantuan asing. Tak elok kita membangga-banggakan ibukota baru, tetapi hasil utang.”
Selain itu, pemenuhan lahan ibukota baru ini, masuk kawasan atau bukan karena dampak bakal muncul tentu berbeda.
“Kalau misal, di Kalimantan, pilihan harus menebang hutan minimal 40.000 hektar. Kan gak mungkin membangun di atas bekas tambang atau lahan gambut. Pasti dicari tanah yang dirasa paling aman. Paling memungkinkan di kawasan hutan.”
“Itu jadi persoalan, bagaimana kapasitas daya dukung lingkungan? Kerusakan lingkungan apa yang akan ditimbulkan?”
Kalimantan, kata Nirwono, mengalami banyak kerusakan lingkungan karena hutan untuk pertambangan, perkebunan sawit, maupun pembalakan liar.
Sebelum memilih daerah target ibukota, katanya, harus ada kriteria. “Kriteria atau pun kecocokan lokasi itu harus memperhatikan faktor-faktor di lapangan. Ini kriteria keamanan dari ancaman bencana, ketersediaan infrastruktur, daya dukung lingkungan.”
Dia contohkan, kalau tak mempunyai sumber air bersih kuat, atau cukup, bisa dipastikan satu kota tak akan tumbuh. “Kita membutuhkan sekali air bersih. Ini harus dipertimbangkan matang. Setelah ada keputusan harus diikuti kajian-kajian mendalam, atau dicari altternatif terbaik.”
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, beban di Pulau Jawa, sudah berlebihan. Hanya saja, katanya, jangan sampai proses pemindahan Ibukota ini menimbulkan masalah di tenpat baru.
“Jangan sampai menimbulkan masalah dan konflik baru. Hingga opsi pemindahan ibukota harus dikaji luas dan mendalam. Bukan hanya aspek sosial dan ekologis, juga dari pelibatan publik secara luas. Terutama publik di wilayah yang jadi target atau sasaran Ibukota baru. Harus ada proses konsultasi publik, persetujuan dan lain-lain.”
Yaya, sapaan akrabnya, mengatakan, lahan untuk membangun Ibukota baru sangat luas. Sebelum penentuan lokasi, katanya, harus dipastikan tempat itu terbebas dari konflik tenurial.
“Tentu 40.000 hektar itu, kalau kita bicara dampak lingkungan, itu tidak hanya akan terjadi di wilayah yang ditetapkan sebagai lokasi. Juga ada aktivitas-aktivitas yang akan berpengaruh kepada wilayah-wilayah sekitar.”
Pembangunan ini, katanya, tentu saja memerlukan infrastruktur dan lain-lain. Lingkup dampak, katanya, bukan hanya di wilayah sasaran pemindahan, juga di seluruh Indonesia. “Terutama wilayah eksploitasi untuk pengambilan material-material pembangunan infrastruktur ibukota itu,” katanya.
Yaya juga mempertanyakan, daerah mana yang memenuhi kriteria seperti yang ditetapkan Bappenas. Karena, katanya, mencari lokasi aman bencana alam, mempunyai ketersediaan air cukup, pencemaran rendah, penerimaan masyarakat terbuka bagi pendatang, akan sulit. Apalagi dalam satu hamparan.
“Kalau dilihat kepulauan di Indonesia, Kalimantan relatif aman bencana alam. Kalau terjadi kebakaran hutan dan gambut, satu Kalimantan, kena semua. Saya bertanya-tanya juga wilayah mana di Indonesia yang bisa memenuhi keseluruhan syarat itu?”
Dia berharap, wacana pemindahan Ibukota ini jangan sampai justru memunculkan para spekulan tanah. Jadi, katanya, pemerintah jangan mengambil keputusan terburu-buru. “Harus jelas peta jalan, dan disampaikan penjelasan kepada masyarakat mengenai ini dengan detail.”
Abdon Nababan, Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa, sebagai hal baik. Mengingat beban di Pulau Jawa, sudah terlalu berat. Dia juga melihat pembangunan di Indonesia, cenderung Jawa sentris.
“Jakarta sekarang sudah kelebihan populasi, banjir dan bencana juga banyak. Pemindahan ini mestinya jadi momentum menata kembali relasi pusat dengan daerah. Kalau pindah harusnya ke daerah yang secara pemerataan ekonomi tertinggal. Yang harus dipikirkan, jangan sampai jadi sumber masalah baru, terutama berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat,” kata Abdon.
Masalah hak-hak masyarakat adat, katanya, harus beres terlebih dahulu sebelum memulai pembangunan. Hal ini, katanya, penting guna menghindari konflik di kemudian hari. Kalau tidak, kata Abdon, pemindahan ibukota hanya akan memindahkan praktik perampasan tanah.
“Sekarang banyak spekulan tanah mulai bermunculan. Spekulasi tanah sekarang sudah tinggi. Di Palangkaraya, saja, banyak tanah-tanah sudah pindah kepemilikan ke orang tidak jelas. Padahal baru isu. Belum ada ketetapan resmi dari pemerintah memindahkan ibukota ke Kalimantan Tengah.”
Keterangan foto utama: Pemindahan ibukota negara jangan sampai menciptakan deforestasi parah lagi. Foto: Komunitas Laman