Mongabay.co.id

Kedaulatan Negara di Laut Bergantung pada Bakamla

 

Kebijakan penenggelaman kapal ikan asing (KIA) pelaku aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) yang sudah dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan intensif sejak 2014, kembali dikritik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Langkah KKP tersebut, di mata Luhut sudah seharusnya dihentikan segera.

Kritikan Luhut tersebut menjadi yang kedua, setelah pada 9 Januari 2018 lalu dia juga mengkritik kebijakan yang sama dan ditujukan kepada orang dan lembaga yang sama. Menurut Luhut, kebijakan penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan di wilayah laut Indonesia selama lima tahun terakhir, dinilai sudah cukup memberikan efek jera kepada para pelaku.

Tetapi, di mata Luhut, kebijakan tersebut tidak layak untuk dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Mengingat, sektor kelautan Indonesia saat ini sudah membutuhkan langkah lanjutan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Langkah yang dimaksud, tidak lain adalah peningkatan ekonomi untuk sektor kelautan dan perikanan yang sejak dipimpin Susi terus mengalami penurunan.

“”Ya memang apa yang dibuat ibu Susi itu bagus, kita tenggelamin harus ada shock therapy itu. Tapi jangan sepanjang masa, capek juga orang nanti akhirnya bosan,” ujar Luhut saat mengisi acara Musrenbang (Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan) Bappenas di Jakarta, Kamis (9/5/2019) lalu.

baca : Indonesia Murka pada Kapal Ikan Asing Pelaku Pencurian Ikan

 

Ilustrasi. Menko Maritim Luhut B. Pandjaitan saat kunjungan kerja ke Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (19/3/2019). Luhut menjanjikan adanya pelatihan pembudidayaan lobster kepada nelayan. Foto : maritim.go.id/Mongabay Indonesia

 

Menurut Luhut, kebijakan menenggelamkan kapal asing pencuri ikan memang harus dilakukan, karena mereka sudah berkeliaran di wilayah laut Indonesia dan mengambil sumber daya ikan dengan rakus dan tanpa henti. Akan tetapi di saat yang sama, kapal ikan dari Indonesia justru tidak banyak melakukan aktivitas mencari ikan, walau sumber daya ikan juga diketahui melimpah.

“Banyak sekali tempat kayak seperti di Natuna. Kita marah-marah orang kapal asing datang ke kita, loh kapal kita tidak ada di sana,” ujarnya.

Pernyataan Luhut tersebut juga sudah diucapkan pada awal 2018 lalu. Selain penenggelaman, saat itu dia menyinggung kinerja KKP untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Dari sektor kelautan dan perikanan, saat itu Luhut mengklaim bahwa kinerjanya terus memburuk yang ditandai dengan penurunan angka ekspor.

 

Ekspor

Untuk bisa meningkatkan kinerja ekspor, Luhut tanpa ragu menyebut KKP harus meningkatkan produktivitasnya dengan baik. Agar itu bisa terwujud, satu-satunya cara adalah dengan membiarkan kapal-kapal ikan yang sudah ada untuk beroperasi dengan penuh dan tidak dipersulit untuk mendapatkan perizinan berkaitan dengan kapal mereka.

“Saya itu ikut menginiasi dan mengusulkan penenggelaman (kapal) saat masih menjabat sebagai kepala staf Presiden. Saya mendorong itu. Tapi sekarang, masa begitu terus. Apa langkah berikutnya?” ujarnya.

baca juga : Ini Sinyal Tegas Indonesia untuk Kapal Pencuri Ikan Vietnam

 

Penenggelaman 13 kapal ikan vietnam pelaku ilegal fishing di perairan Tanjung Datuk, Kalimantan Barat, Sabtu (4/5/2019). Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Menurut Luhut, yang penting untuk dilakukan saat ini adalah bagaimana mengembalikan ekspor dan peningkatan produksi perikanan di dalam negeri. Sehingga, pelaku usaha yang ada dalam sektor perikanan dan kelautan bisa kembali pulih kondisinya.

Luhut mengatakan, pada kondisi sekarang dimana produksi ikan melimpah, tapi ternyata fakta di lapangan menjelaskan bahwa pabrik ikan banyak yang tutup. Penyebabnya, karena pasokan bahan baku ikan untuk kebutuhan pabrik-pabrik tersebut sudah tidak ada semenjak kebijakan yang dibuat KKP tiga tahun lalu diberlakukan.

“Ini bisa terjadi seperti itu, kenapa? Ekspor juga turun terus, itu kenapa? Sekarang kita fokus saja pada tugasnya masing-masing. Bagaimana memulihkan itu semua seperti sedia kala. Sekarang kita fokus bagaimana meningkatkan produksi supaya ekspor kita meningkat,” ungkapnya.

Perlunya memulihkan ekspor, menurut Luhut, karena saat ini banyak produk kelautan dan perikanan yang bisa dimaksimalkan produksinya lebih besar lagi. Termasuk, produksi ikan Napoleon di Natuna yang jumlahnya mencapai puluhan ribu ekor. Selain Napoleon, KKP harus fokus untuk meningkatkan aktivitas perikanan budidaya di seluruh Indonesia.

“Dengan demikian, volume ekspor yang ditargetkan bisa meningkat akan tercapai,” tuturnya.

Tak lupa, Luhut menambahkan, untuk mendorong volume ekspor, Pemerintah bisa mendorong pemanfaatan usaha pengiriman ikan laut segar ke berbagai negara. Menurutnya, peluang usaha tersebut sangat menjanjikan karena banyak negara peminatnya. Selain itu, pengiriman ikan segar memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk dalam kemasan kaleng.

perlu dibaca : Penenggelaman Tidak Membuat Jera Kapal Asing Pencuri Ikan. Kenapa?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melihat langsung penenggelaman 13 kapal ikan vietnam pelaku ilegal fishing di perairan Tanjung Datuk, Kalimantan Barat, Sabtu (4/5/2019). Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Penguatan Bakamla

Di sisi lain, Luhut mengatakan, ketimbang melanjutkan kebijakan penenggelaman kapal yang diklaim bisa menjaga dan menegakkan kedaulatan Negara, lebih baik Pemerintah Indonesia fokus untuk meningkatkan kekuatan badan keamanan laut (Bakamla). Lembaga Negara tersebut, saat ini dinilainya masih memiliki banyak kekurangan.

Keberadaan Bakamla di mata Luhut, dinilainya menjadi kekuatan yang tidak boleh disepelekan dan justru harusnya terus ditingkatkan kekuatannya. Hal itu, karena Bakamla bagi Indonesia berperan sebagai lembaga patroli Negara di atas laut (coast guard) yang tugasnya adalah menjaga wilayah laut dari aktivitas-aktivitas yang berpotensi melanggar kedaulatan Negara.

“Kita ini sebenarnya masih ada kekurangan. Urusan (patroli) itu harusnya coast guard yang melakukannya. Namun karena coast guard kita kurang, maka lebih banyak angkatan laut kita (yang bekerja),” jelasnya.

Menurut Luhut, masih lemahnya kekuatan Bakamla, tidak lepas dari kewenangan Lembaga Negara tersebut hingga sekarang masih belum cukup jelas. Bagi dia, agar kekuatan Bakamla bisa meningkat dan fungsi penjaga wilayah laut Nusantara bisa berfungsi, maka Negara harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk memberi kewenangan yang lebih jelas kepada lembaga tersebut.

“Kewenangan coast guard itu masih ada di Polhukam. Sejak saya Menko Polhukam itu. Jadi kita itu bikin suatu organisasi yang belum tuntas,” katanya.

Jika sudah dilakukan harmonisasi peraturan, Luhut meyakini kalau kekuatan Bakamla akan sama besarnya dengan coast guard dari negara lain. Dengan demikian, nantinya Bakamla tidak hanya bertugas untuk menindak aktivitas IUUF saja, tapi juga melakukan pengamanan wilayah perairan nasional secara umum.

Tak melulu soal tugas dan fungsi yang ditingkat, Luhut juga menyebut kalau kekuatan Bakamla juga saat ini lemah, karena armada dan peralatan lain yang dibutuhkan sudah ketinggalan zaman. Sementara, di saat yang sama, negara lain terus meningkatkan dan memperbarui armada dan peralatan yang diperlukan untuk coast guard mereka.

menarik dibaca : Seperti Apa Kebijakan Kelautan Indonesia untuk Kedaulatan Maritim?

 

Kapal patroli KN Tanjung Datu bernomor lambung 1101. Kapal patroli laut terbesar milik Bakamla ini menjadi kapal induk ketika berpatroli di wilayah perairan Indonesia.
Foto : Ajang Nurdin/Liputan6.com/Mongabay Indonesia

 

Belum penuhnya kewenangan Bakamla, kata Luhut, membuat Indonesia hingga saat ini harus menyerahkan masa penindakan kapal pelaku IUUF kepada Satuan Tugas Pemberantas Penangkapan Ikan secara Ilegal atau populer dengan sebutan Satgas 115. Kekuatan satgas tersebut dipimpin langsung oleh Menteri KP sebagai komando dan dibantu oleh perwakilan sejumlah lembaga seperti KKP, Bakamla, Polairud, Bea dan Cukai, TNI AL, Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), dan Kejaksaan.

Adapun, penyebutan nama Satgas 115 berasal dari payung hukum pembentukan lembaga tersebut, yaitu Peraturan Presiden No.115/2015 tentang satuan tugas pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing). Satgas bertugas mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam upaya pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal.

Adapun, saat berbincang dengan Mongabay pada pertengahan 2018, Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa kegiatan Satgas 115 menentukan empat wilayah operasi, melaksanakan operasi pengawasan, penyidikan terhadap beberapa tindak pidana perikanan, dan pembentukan pusat komando pengendali.

 

Exit mobile version