Mongabay.co.id

Kementerian Lingkungan Perkuat Pengawasan Perdagangan Satwa Liar Lewat Sosial Media

Bayi lutung jawa yang diamankan dari pedagang satwa online di Malang. Foto: COP

 

 

 

 

Perdagangan satwa liar dilindungi melalui jejaring sosial media terus terjadi. Berdasarkan pemantauan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sejak Oktober 2017-April 2019, setidaknya ada 1.210 postingan jual beli satwa liar dilindungi melalui sosial media. Pada 2017, sebanyak 227 postingan, dan 2018 jadi 740 postingan. Sampai April tahun ini, sudah 213 postingan yang mayoritas berasal dari situs Facebook dan Instagram.

Rasio Ridha Sani, Dirjen Penegakan Hukum KLHK mengatakan, angka ini sangat memprihatinkan. Permintaan satwa liar dilindungi bukan hanya dari dalam negeri, juga luar negeri.

Guna menekan ini, katanya, KLHK menggandeng berbagai pihak, seperti Badan Intelejen Negara (BIN), Kepolisian, TNI, Kementerian Informatika dan pihak lain.

“Kami ingin membangun jaringan memantau bagaimana kejahatan-kejahatan tumbuhan satwa liar melalui sosial media. Hasil pemantauan kita terkait perdagangan online ini sejak 2017, memang ada kecenderungan menurun. Ini karena ada tindakan,” kata Roy, sapaan akrabnya, di Jakarta.

Selain penegakan hukum, katanya, KLHK bekerjasama dengan Keminfo menghapus postingan pedagangan TSL. Kalau menemukan postingan itu, mereka juga mengirimkan surat kepada Facebook atau Instagram agar menghapus bahkan menutup akun bersangkutan.

“Mayoritas satwa diperjualbelikan burung dan anak kucing hutan. Intensitas perdagangan satwa ilegal melalui online sangat signifikan. Kami punya satgas internal memantau setiap hari.”

Menurut Roy, satwa yang diperjualbelikan mayoritas masih hidup untuk dipelihara. Ada juga bagian tubuh satwa seperti gading gajah, cula badak, kulit harimau dan lain-lain.

“Kami perlu membangun jaringan lebih luas dengan berbagai pihak antara lain, dari BIN, Bareskrim, Kemeninfo, Kejaksaaan. Kami ingin memperkuat upaya pemantauan perdagangan satwa liar dilindungi pakai media sosial.”

Selama empat tahun terakhir, yang ditangani Dirjen Gakum KLHK ada 617, terkait perdagangan TSL ada 199 kasus. Angka itu, katanya, menunjukan perdagangan satwa liar cukup signifikan.

Selain pemantauan melalui sosial media, Gakum juga ke berbagai situs jual beli online. Kalau menemukan jual beli TSL, Gakum akan mengirimkan surat kepada pemilik situs untuk menghapusnya.

 

Petugas sedang merapikan barang bukti sitaan dari pelaku perdagangan online bagian tubuh satwa dilindungi. Foto: KLHK

 

Tak hanya itu. KLHK, katanya juga kirim surat ke Komisi Penyiaran Indonesia bagi tayangan televisi yang menayangkan tontotan berpotensi memancing masyarakat menggunakan atau memelihara satwa liar.

Dia nilai, jual beli satwa liar dilindungi melalui sosial media marak, katanya, merupakan fenomane gunung es. Untuk itu, pemantauan dan penindakan akan terus berjalan.

Soal penegakan hukum, kata Roy, banyak pihak menilai hukuman pelaku masih lemah karena maksimal hanya lima tahun kurungan penjara dan denda Rp100 juta.

Meski begitu, katanya, kecenderungan kini hakim memutuskan hukuman maksimal. “Itu hal positif. Ini tak terlepas dari dorongan publik yang kian hari makin perhatian serius.”

Dwi Nugroho Adhiasto, Counter Wildlife Trafficking Specialist Wildlife Conservation Unit (WCU) saat dihubungi Mongabay Selasa (14/5/19) mengatakan, perdagangan satwa liar dilindungi memang banyak beralih gunakan media online, baik sosial media, maupun situs jual beli online.

“Ini karena mereka menganggap dengan platform online, lebih memudahkan,” katanya.

Mereka tak perlu membuka toko atau memajang satwa terlebih dahulu. Cukup pakai foto, katanya, dan jangkauan pembeli bisa lebih luas. “Tak hanya dalam negeri, juga luar negeri. Juga bisa lebih dari satu kali transaksi dalam waktu cepat,” katanya.

Dalam rentang tiga tahun terakhir, dari berbagai kasus yang ditangani WCU, hampir separuh melalui online.

“Kalau lewat sosial media ada beberapa yang membuat notifikasi bahwa itu tak diperbolehkan. Contoh, Facebook. Tokopedia, Bukalapak sudah mengeluarkan aturan melarang jual beli satwa liar dilindungi. Mereka memfilter perdagangan ini. Cuma masih belum 100% sempurna.”

Karena berbagai larangan itu, kaytanya, pelaku beralih ke media lain, seperti Twitter, Whatsapp, Telegram dan lain-lain yang belum mempunyai aturan larangan jual beli satwa dilindungi.

Telegram kita tahu sangat melindungi privasi pengguna. Hingga mereka banyak menggunakan itu. Tak heran jika teroris juga banyak pakai Telegram untuk berkomunikasi.”

Menurut Dwi, langkah yang sudah dilakukan Pemerintah dan penegak hukum mengatasi perdagangan satwa liar melalui online, sudah bagus dan mesti terus ditingkatkan.

Dia contohkan, kepolisian sudah menunjukkan langkah maju menangani berbagai kasus. Begitu juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Imigrasi, Bea Cukai dan lain-lain. Meskipun begitu, katanya, upaya ini harus jadi gerakan nasional dan bersama-sama melawan kejahatan ini.

Perdagangan satwa liar dilindungi, katanya, merupakan kejahatan lintas negara. Dia sarankan, pemerintah menjalin kerjasama lintas batas lebih banyak dengan negara-negara lain.

“Pembeli di luar negeri itu tak membeli satu dua, mereka pemasok. Lewat kerjasama dengan negara lain, diharapkan bisa memutus rantai perdagangan satwa liar Indonesia ke negara itu,” katanya, seraya bilang, Indonesia baru lakukan itu dengan Malaysia, Belanda, dan Australia.

 

Keterangan foto utama: Bayi lutung jawa yang diamankan dari pedagang satwa online di Malang. Foto: COP

 

Exit mobile version