Mongabay.co.id

Petunjuk Luar Biasa Wallace di Nusantara

Tarsius spectrum si penjelajah malam. Foto: Rhett A. Butler

 

 

The Malay Archipelago, catatan prestisius tentang kekayaan hayati Indonesia bagian timur, tepat berumur 150 tahun. Kemewahan biodiversity yang ditulis apik Alfred Russel Wallace [1823-1913], penjelajah dan naturalis Inggris, menjadi rujukan penting bagi keragaman flora, fauna, dan manusia di Nusantara.

Dalam delapan tahun [1854-1862] pengembaraan, Wallace berhasil mengumpulkan lebih dari 125.000 spesimen. Ada reptilia [100 spesimen], mamalia [310 spesimen], moluska [7.500 spesimen], burung [8.050 spesimen], kupu-kupu [13.100 spesimen], kumbang [83.200 spesimen], dan serangga lainnya 13.400 spesimen.

Tak hanya itu, Wallace juga pencatat yang baik. Dia mendata suku-suku dan bahasa yang digunakan di Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara. Kawasan-kawasan tersebut dikenal Wallacea, wilayah paling tinggi hayati endemisnya.

Wallacea menjadi rumah ratusan burung penetap dan migran. Berdasarkan laporan Burung Indonesia tahun 2019, burung di Wallacea berjumlah 813 jenis, yang sekitar 359 jenis merupakan endemis.

Baca: Jejak Alfred Russel Wallace Itu Sungguh Mengagumkan

 

Tarsius spectrum si penjelajah malam. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Meski begitu, Kepala Komunikasi dan Pengembangan Burung Indonesia, Ria Saryanthi sedikit cemas. Pasalnya, jumlah populasi burung khas tersebut secara umum ditaksir mengalami penurunan.

Deforestasi, kerusakan terumbu karang, hingga pertumbuhan populasi penduduk perlahan memberi dampak negatif. Intesitas perburuan dan perdagangan satwa terus meningkat.

“Di Kepulauan Maluku, penyelundupan burung terbilang tinggi. Ini menjadi ancaman paling serius,” terangnya baru-baru ini.

Tahun 2018, Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Provinsi Maluku mengamankan sebanyak 1.007 jenis tumbuhan dan satwa dilindung. Menurut laporan yang diterima Mongabay, burung nuri asal Maluku Utara yang paling banyak diamankan.

Selain ancaman perburuan, Yanthi menyebut, di beberapa kawasan sudah menunjukan adanya perubahan. “Kalau di burung, perubahan itu berpeluang mendesak habitat. Seperti kerapatan dan keragaman vegetasi mulai berkurang,” jelasnya.

Padahal keragaman hayati di Wallacea unik, sebagian besar kawasan tersebut dihuni burung bidadari kerabatnya cendrawasih Papua. Pesona yang membuat Wallace jatuh hati. Ketika itu dia menemukan burung bidadari saat berada di Pulau Bacan, Halmahera.

Baca: Wallacea, Surga Keragaman Hayati yang Minim Penelitian

 

Yaki [Macaca nigra]. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Pada kawasan Wallacea terdapat garis imajiner yang memisahkan secara zoogeografis wilayah Sumatera, Jawa dan Kalimantan sebelah barat dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua di sebelah timur. Menurut garis tersebut, flora-fauna di wilayah barat cenderung mirip dengan benua Asia. Sedangkan spesies di sebalah timur dengan Benua Australia.

Pengetahuan ini, mengilhami Wallace perihal persebaran spesies di Nusantara. Dia, misalnya, melihat di Papua banyak cendrawasih, tapi tak satu pun ada di Sumatera. Di Maluku banyak burung indah, tapi tidak di Kalimantan. Begitu juga dengan anoa dan burung maleo Sulawesi, tak muncul di Jawa.

Lantas Wallace menyurati penemuannya itu kepada bapak teori evolusi, Charles Darwin. Isinya, dia bertutur bahwa seleksi alam adalah metode utama yang dapat menjelaskan keragaman flora-fauna di Nusantara dan belahan Bumi lainnya. Berkat kegemilangan merekam hal itu, kawasan yang pernah disinggahi Wallace dikenal dengan sebutan Garis Wallacea.

Baca juga: Cekakak-pita Biasa, “Dewi Laut” yang Dipuja Alfred Russel Wallace

 

Maleo senkawor, burung endemik Sulawesi. Hanya ada di kawasan Wallacea namun populasinya terancam. Foto: Burung Indonesia

 

Catatan paling penting Wallace menyoal endemisitas yang amat tinggi di Wallacea. Khususnya, keragaman burung. Terkait itu, Yanthi berpendapat, kriteria burung di Wallace memiliki ciri khas yang tak dijumpai dibelahan Nusantara lain. Kemungkinan besar dipengaruhi faktor habitat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2016, dituliskan kawasan Wallacea terdapat 7.452 pulau.

Sebagai contoh, kehicap boano [Monarcha boanensis]. Burung dengan ciri khas dagu hitam ini habitatnya hanya ada di Pulau Buano, Kepulauan Maluku Utara. Akan tetapi, populasinya mengalami penurunan akibat deforestasi, baik penebangan liar untuk eksploitasi kayu maupun alih fungsi hutan.

Data Burung Indonesia menyebut, jumlanya diperkirakan tidak lebih 70-130 individu. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources [IUCN] memasukkannya sebagai spesies Critically Endangered atau Kritis, satu langkah menuju kepunahan di alam, sejak tahun 2000.

 

Berbagai jenis kumbang di Nusantara yang dikoleksi Alfred Russel Wallace. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Terlupakan

Berdasarkan data statistik, populasi penduduk di kawasan Wallacea tumbuh pesat dari 14,1 juta jiwa tahun 1971 menjadi 29,1 juta jiwa pada 2010. Pada 2020, diperkirakan bertambah jadi 33,7 jiwa. Di sisi lain, dikhawatirkan bertambahnya penduduk mengancam keragaman hayati di wilayah ini [Harian Kompas edisi 25/07/2018].

Di Pulau Buano, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, misalnya, tidak semua masyarakat mengetahui flora-fauna endemis. Mereka hanya tahu keragaman hayati berlandaskan kebudayaan setempat dengan memegang tradisi nenek moyang.

Said Tuhuteru [42], warga Dusun Huhua, Buano Selatan, bercerita jika di pulau seluas 13.500 hektar ini dihuni sembilan marga masyarakat. Dia menuturkan, tiap marga diwakili kepala adat atau sowa dalam Bahasa Maluku.

“Tiap sowa ada aturan adat masing-masing,” papar dia.

Dikatakan Said, aturan adat itu mencakup semua tatanan kehidupan. Termasuk menjaga wilayah adat atas dasar pamali [larangan]. Biasanya, aturan diberlakukan untuk melindungi hutan yang dikeramatkan masyarakat, turun temurun.

 

Wallacea. Grafis: Aip Abbas/ Burung Indonesia

 

Yang menarik, selain menjaga hutan, setiap sowa mempunyai satwa keramat yang mereka sebut totem. Menurut Said, totem dijadikan simbol penghormatan kepada nenek moyang. Sebab satwa keramat memiliki nilai yang terikat secara historis dengan sowa tertentu.

“Di pulau ini, ada sedikitnya 32 sowa. Pamali membunuh atau menangkap totem baik di darat maupun laut. Bagi kami, menjaga totem sama halnya dengan merawat hutan,” tuturnya. Sowa Tuhuteru memiliki totem di darat, pombo [Ducula bicolor], salah satu burung endemik. Di laut, Tuhuteru tidak boleh membunuh jenis paus dan hiu.

Belakangan, Said gusar. Pasalnya, seiring berkembangnya masyarakat, kultur adat perlahan melunak. Pelanggaran seperti perambahan hutan dan pengeboman di laut masih terjadi. Dia menduga, kemungkinan dilakukan para pendatang.

“Kalau katong [kita] punya nenek moyang sebetulnya sangat bijaksana sekali. Menentukan mana yang mesti dijaga dan dimanfaatkan. Semua sudah ada aturannya,” imbuhnya. Said menyesalkan, kondisi ini.

Sejauh ini, belum ada lagi pengamatan terbaru mengenai kondisi terkini “warisan” Wallace. Belum ada ada lagi referensi luar biasa yang merekam perkembangan flora-fauna di Wallacea.

 

 

Exit mobile version