Mongabay.co.id

Ancam Lingkungan dan Masyarakat, Organisasi Lingkungan Gugat Aturan Tata Ruang Nasional

Aparat kepolisian menjaga proses penggusuran rumah dan pepohonan warga untuk bandara di Kulon Progo. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Ruang mengajukan uji materiil Peraturan Pemerintah No. 13/2017 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, khusus Pasal 114A ke Mahkamah Agung di Jakarta, Senin (10/5/19). Mereka menilai, pasal itu mengancam kelestarian lingkungan dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. Gugatan diajukan Walhi dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KTNI).

Arip Yogiawan, Pengacara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (11/5/19) mengatakan, aturan itu banyak mengakomodir kepentingan pembangunan proyek strategis nasional (PSN).

Dalam Pasal 114A menyatakan, pemerintah mengizinkan membangun PSN seperti tertera dalam lampiran aturan meskipun tak sesuai RTRW provinsi atau kabupaten. Setidaknya, ada 245 PSN tertera dalam lampiran PP itu.

“Kami sebenarnya masih bingung mengenai kriteria PSN yang tidak jelas. Kenapa sebuah proyek bisa disebut sebagai PSN juga tak jelas. Ketika disebut PSN, pemerintah daerah sampai pusat wajib memfasilitasi supaya itu terselenggara dan segera dibangun. Itu jalan walaupun ada benturan dengan RTRW daerah. Rujukannya, ke RTRW nasional,” katanya, seraya bilang, aturan ini hanya memfasilitasi pembangunan PSN.

 

Sejumlah nelayan Cirebon berunjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Bandung, Jabar, Kamis (19/04/2017) lalu. Gugatan yang mereka layangkan akhirnya dikabulkan oleh majelis hakim terkait ditebitkannya izin lingkungan PLTU II Cirebon yang diterbitkan Pemprov Jabar. Foto : Donny Iqbal

 

Padahal, di beberapa tempat, proyek yang termasuk dalam PSN tak jarang menimbulkan konflik. Seperti pembangunan bandara di Kulonprogo Yogyakarta, atau pembangunan PLTU Cirebon unit II.

“Teman-teman di Yogyakarta juga menggugat PP ini. Mereka menggugat terkait lampiran daftar PSN dalam PP ini yang memasukkan proyek bandara di Kulonprogo. Ini menunjukkan bahwa belum tentu semua PSN berjalan mulus,” ujarnya.

Dia bilang, terlepas proyek masuk PSN atau bukan, seharusnya proses perizinan dengan baik dan benar. Ia harus sesuai RTRW kabupaten dan provinsi, juga dengan tahapan benar, seperti penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan lain-lain.

“Dengan ada PP ini, tak mesti disesuaikan RTRW kabupaten, provinsi. Cukup RTRW nasional. Ini melanggengkan praktik-praktik kurang baik. Menerobos aturan hukum seharusnya menunggu dulu penyesuaian RTRW daerah.”

Menurut dia, aturan ini mendiskreditkan problem gejolak sosial dan berorientasi pembangunan PSN. “Harusnya berorientasi pada pemanfataan ruang yang disesuaikan kondisi geografis, sosial dan ekonomi masyarakat,” kata Yogi. Aturan ini juga dianggap melabrak kepentingan hukum dan sosial.

Kalau merujuk penolakan warga Cirebon atas pembangunan PLTU II, katanya, terlihat jelas PP tak mengindahkan ruang partisipasi publik. Warga Cirebon bersama Walhi Jabar, sempat menggugat izin pembangunan PLTU.

Pada tingkat pertama, mereka menang. Hakim beralasan pembangunan PLTU Cirebon II tak sesuai RTRW daerah. Pemprov Jabar mengeluarkan izin baru. Ketika warga menggugat lagi, hakim menolak gugatan karena berlandaskan Pasal 114A ini.

Aturan RTRW ini juga, sejalan dengan Inpres Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional. Di inpres itu, diinstruksikan kepada seluruh jajaran pemerintah dari daerah sampai pusat agar mendukung pembangunan PSN.

“Diperintahkan memfasilitasi pengadaan tanah, tak boleh menghalangi, memfasilitasi penyelesaian konflik sosial dan supaya tak ada hambatan dari sisi kebijakan,” katanya.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, Pasal 114A berpotensi menimbulkan masalah. Pasal ini, katanya, menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak proses pembuatan RTRW yang terdesentralisasi dan berjenjang.

“Dari kasus yang ditangani Walhi, aturan ini sudah menimbulkan banyak masalah. PLTU Cirebon II digugat warga karena proyek bertentangan dengan RTRW daerah. Walaupun warga menang tetapi peninjauan kembali menggunakan Pasal 114 A ini. Berdasarkan pasal ini, seluruh proses di daerah ini bisa dinihilkan kalau proyek bersangkutan masuk PSN,” kata Yaya, sapaan akrabnya.

PSN, katanya, menimbulkan banyak masalah, seperti soal tanah dan ruang hidup warga. Hingga kini, permasalahan tenurial dan kepastian hak-hak warga atas tanah masih belum selesai.

“Konflik agraria masih terjadi di mana-mana, konversi pertanian terjadi. PSN akan berdampak lebih besar apalagi partisipasi masyarakat dalam proses penetapan RTRW nasional minim.”

 

 

Marthin Hadiwinata, Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan, Pasal 114 A melanggar hak nelayan. Tak hanya soal tempat tinggal, juga bagaimana mereka beraktivitas atau menangkap ikan.

“Sebenarnya, dalam kerangka hukum, kita sudah ada ketentuan yang harusnya melindungi tempat tinggal dan ruang hidup menangkap ikan. PP RTRW nasional tiba-tiba muncul dan mekasakan berbagai PSN yang antara lain dibangun di wilayah pesisir.”

Dengan aturan ini, katanya, tak ada celah bagi nelayan menyetop proyek yang menimbulkan ancaman-ancaman bagi mereka ini.

Dia contohkan, proyek national capital integrated coastal development (NCICD) di Teluk Jakarta. Ia sudah berjalan dan menimbulkan banyak masalah bagi nelayan pesisir utara Jakarta. Proyek ini, katanya, menimbulkan masalah kesehatan dan akses nelayan menuju laut terganggu.

“NCICD menutup tanggul di pantai. Setelah tanggul, karena proses tak selsai, mangkrak, saat ini ada genangan air kotor. Nyamuk makin banyak. Juga menimbulkan penyakit kulit bagi warga sekitar. Proses pembangunan tak ada partisipasi publik,” katanya.

Kasus lain, katanya, pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara dan Makassar New Port di Sulawesi Selatan. Kedua proyek ini, membuat nelayan tergusur dari tempat tinggal. “Juga tidak ada partisipasi publik. Ruang menangkap ikan tergangguPun proses ganti rugi juga benar-benar tak mengindahkan suara nelayan.”

Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak, menyayangkan, nuansa sentralistik pada Pasal 114 A. Untuk itu, Pasal 114A harus diubah agar kebijakan tata ruang Indonesia tak sentralistik.

“Jikapun harapan pemerintah pusat agar ada pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam berbagai otorita ruang, tidak berarti jalan keluar sentralistik. Pemerintah pusat seharusnya menfasilitasi kerja sama ketataruangan antar daerah.”

Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, sebenarnya, PSN karena keperluan nasional, tak ada hubungan dengan persoalan strategik ruang.

Problemnya, kata Hariadi, ada implikasi persoalan yang terjadi karena strategis–maka harus dilindungi–padahal di lapangan terjadi masalah.

Seharusnya, proyek strategis tetap harus mengikuti berbagai macam regulasi terkait lingkungan, ekonomi dan sosial.

Ruang itu, katanya, terdiri atas pola dengan struktur. Pola ruang, tebagi dalam lindung dan budidaya, sedangkan struktur ruang terdiri atas tata desa dan perkotaan.

”Semua proyek tidak bisa lepas dari kualifikasi amdal dan izin lingkungan yang di dalamnya sudah harus sesuai tata ruang.”

Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, pasal itu akan menimbulkan peningkatan konflik agraria. Seringkali proses perubahan tata ruang tak transparan.

”Masyarakat tak tahu menahu, pemerintah melalui PSN karena demi kepentingan rencana bisnis bisa mengubah tata ruang dan kewenangan tatat ruang.”

Lagi-lagi masalah Indonesia, katanya, belum memiliki tata guna lahan secara nasional. ”Mana untuk kepentingan pertanian, luasan kawasan properti berapa persen, hutan berapa persen dan untuk ekspansi perkebunan berapa persen.”

Dengan tak punya tata guna lahan, katanya, menyebabkan pemerintah pusat dan daerah bisa seenaknya mengubah tata ruang untuk kepentingan tertentu dan elit politik tanpa melihat aturan nasional.

Kalau tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat luas dan terbuka, kata Dewi, bisa menyebabkan kontraproduktif dengan komitmen Presiden Joko Widodo, dalam upaya penyelesaian konflik. Meski demikian, KPA belum menghitung berapa konflik karena PSN.

 

Keterangan foto utama:  Aparat kepolisian menjaga proses penggusuran rumah dan pepohonan warga untuk bandara di Kulon Progo. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version