Mongabay.co.id

Melihat Lingkungan Bali sebagai Medan Pertarungan Ruang, Seperti Apa?

 

Ruang di Pulau Bali saat ini menjadi medan pertarungan berbagai kepentingan yang cenderung mengorbankan lingkungan. Gerakan sosial politik di tingkat lokal bisa menjadi salah satu jalan keluar agar alam Bali tidak semakin menjadi korban.

Demikian salah satu kesimpulan dari diskusi bedah buku Contemporary Bali, Contested Space and Governance karya Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Agung Wardana. Selain Agung Wardana, diskusi di kampus Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Bali pada Senin (13/5/2019) ini juga menghadirkan Manajer Perlindungan Kawasan Laut Conservation International (CI) Indonesia di Bali I Made Iwan Dewantama.

Contemporary Bali merupakan penulisan ulang dari disertasi Agung Wardana ketika menyelesaikan studi doktornya di Murdoch University Perth, Australia. Agung yang juga mantan Direktur Walhi Bali mengambil contoh kasus lingkungan di tiga lokasi yaitu Jatiluwih (Tabanan), Pecatu (Badung), dan Teluk Benoa (Badung).

Menurut Agung, ketiga lokasi itu menjadi contoh terkini bagaimana kepentingan ekonomi politik baik global, nasional, ataupun lokal turut mempengaruhi dalam penataan wilayah (tata ruang) dan berdampak pula pada lingkungan.

baca : Kegelisahan Saras Dewi pada Rusaknya Lingkungan Bali

 

Agung Wardana (tengah) dalam diskusi bedah buku di Denpasar, Bali, Senin Senin (13/5/2019). Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Romantik vs Apokaliptik

Berdasarkan kajian Agung, ada dua narasi dominan dalam melihat Bali saat ini yaitu romantik dan apokaliptik.

Narasi romantik melihat Bali sebagai surga. Kiblat dari pariwisata Indonesia. Bali dianggap unik dan memiliki daya tahan terhadap perkembangan zaman.

Narasi itu muncul sejak zaman kolonial Belanda setelah Puputan Badung pada September 1906. Sebagai upaya menghapus kekejamannya setelah perang besar itu, pemerintah kolonial Belanda membawa politik etis dengan menciptakan citra Bali sebagai surga.

“Saat ini, narasi tersebut terus dipelihara untuk kepentingan bisnis pariwisata,” ujar Agung.

Adapun narasi apokaliptik melihat bahwa Bali saat ini sedang mengalami ancaman internal dan eksternal. Narasi ini melihat Bali bisa saja hancur akibat krisis air, masalah sampah, abrasi pantai, dan lain-lain. Menurut Agung, ada muatan politis dalam narasi ini. Tergantung pada posisi yang mengatakan.

Sebagai mantan aktivis lingkungan, Agung melihat krisis itu dari sudut pandang lingkungan.

 

Danau Beratan, Tabanan, Bali selain menjadi tempat wisata, juga menjadi sumber air bagi para petani di sekitarnya. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menurut Agung ada tiga pendekatan untuk melihat krisis tersebut yaitu pilihan rasional, konservatif, dan institusionalis. Pendekatan pilihan rasional itu misalnya terlihat dalam ancaman masifnya alih fungsi lahan di Bali. “Petani dianggap menjual sawahnya hanya karena mereka tergiur pada uang dari pariwisata,” kata Agung.

Padahal, masalahnya lebih kompleks dari itu. Dalam persoalan Jatiluwih sebagai ikon subak yang menjadi Warisan Budaya Dunia (WBD), misalnya, Agung menilai bahwa alih fungsi lahan terjadi di sana tak semata karena pilihan rasional, tetapi juga kondisi sosial politik, Revolusi Hijau, dan pajak yang tak mendukung petani.

Pendekatan konservatif melihat krisis di Bali terjadi akibat pengaruh dari luar. Misalnya, pendatang dan investor. Adapun pendekatan institusionalis menganggap bahwa krisis di Bali terjadi akibat struktur pemerintahan yang tidak sesuai kondisi di lapangan.

“Sebagai contoh, masalah lingkungan di Bali dianggap terjadi akibat kebijakan otonomi daerah di mana tiap daerah makin menonjolkan ego masing-masing,” ujar lulusan Master Hukum Lingkungan Universitas Nottingham, Inggris ini.

perlu dibaca : Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [1]

 

Pembangunan penginapan di pinggir sawah Jatiluwih, Tabanan, Bali. Contoh alih fungsi lahan dari pesawahan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pertarungan

“Dalam konteks ruang di Bali, masyarakat berbenturan satu sama lain dan kemudian menggunakan hukum sesuai kepentingan mereka sebagai justifikasi,” Agung melanjutkan.

Dia memberikan contoh munculnya konflik antara desa adat dengan pemerintah terkait tata ruang di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Desa adat di bagian selatan Bali ini menolak Peraturan Daerah (Perda) No.16/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali.

Perda RTRW itu memasukkan keputusan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pada 1994 terkait radius kesucian pura. Perda menyatakan bahwa dalam radius 5 km dari Pura Besar (Sad Kahyangan) tidak boleh ada bangunan yang bersifat komersial.

Namun, pada saat itu, Desa Adat Pecatu justru menolak aturan kesucian tersebut. Salah satu alasan karena ada objek pariwisata di dalam kawasan 5 km dari Pura Sad Kahyangan.

“Ini anomali karena masyarakat adat di Bali selalu dilihat secara romantik sebagai pihak yang hidup selaras alam. Namun, ini justru menolak aturan formal yang ingin melindungi lingkungan di desa adat mereka,” kata Agung.

Munculnya pertarungan perebutan terhadap ruang itu, terjadi seiring perubahan persepsi terhadap ruang. Dari semula dianggap sebagai sesuatu yang sakral, ruang-ruang di Bali justru menjadi bagian dari kapital dan aset komersial karena masuknya bisnis pariwisata.

Dalam kasus di Pecatu, warga adat pun menolak karena aset komersial itu tidak bisa digunakan jika mengacu pada Perda RTRW.

“Oleh elite lokal, kegelisahan itu kemudian digerakkan. Merekalah yang lebih terganggu jika ruang itu dibiarkan sebagai sesuatu yang sakral,” ujar Agung.

Pertarungan serupa juga kini terjadi di kawasan Jatiluwih. Tidak hanya konflik antara petani dengan turis, tetapi juga petani dengan Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih dan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan.

Alih-alih memberikan nilai tambah, penetapan Jatiluwih sebagai WBD justru menimbulkan konflik subak dengan pariwisata. “Petani tidak mendapatkan keuntungan apapun dari penetapan Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia,” kata Agung.

baca juga : Empat Rencana Proyek Besar Mengancam Pesisir Bali Selatan

 

Perluasan Bandara Ngurah Rai Bali yang dilakukan karena belum adanya RZWP3K. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Perlunya Penguatan

Iwan Dewantama mendukung pernyataan Agung Wardana. Sebagai aktivis lingkungan yang terlibat dalam perencanaan kebijakan, termasuk tata ruang, Iwan mengakui bahwa konflik perebutan ruang di Bali memang makin banyak terjadi. Salah satu yang paling besar saat ini adalah penolakan pada rencana reklamasi di Teluk Benoa.

Pertarungan atas ruang itu juga terjadi saat ini dalam revisi Perda RTRW yang sedang dalam tahap validasi oleh Pemerintah Pusat. “Saya menemukan banyak hal mengkhawatirkan dalam revisi Perda ini,” katanya.

Menurut Iwan revisi Perda RTRW Bali saat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan rutinitas karena sudah sepuluh tahun sejak disahkan pada 2009 dan formalitas karena untuk mengakomodir proyek-proyek nasional. Misalnya, pelebaran Pelabuhan Benoa oleh Pelindo, pembangunan bandara baru di Buleleng dan reklamasi di sisi barat Bandara Ngurah Rai.

“Padahal semua proyek itu dilakukan dengan mengorbankan lingkungan, termasuk terumbu karang di barat bandara dan hutan mangrove di Teluk Benoa,” ujarnya.

Berkaca dari beberapa gerakan lingkungan di Bali, menurut Iwan dan Agung, penguatan gerakan sosial politik di tingkat lokal bisa menjadi salah satu cara agar mereka dilibatkan sehingga bisa mencegah makin masifnya kerusakan lingkungan.

perlu dibaca : Peringatan Dini Terkikisnya Hutan Mangrove, Benteng Alami di Selatan Bali [Bagian 1]

 

Mangrove mati dengan lumpur mengering dan terlihat pecah-pecah di Teluk Benoa, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version