- Kawasan persawahan Jatiluwih terkenal sebagai ikon Warisan Budaya Dunia (WBD) yang ditetapkan oleh UNESCO pada 2012.
- Subak sebagai sistem irigasi tradisional maupun kelompok petani berperan penting dalam budaya pertanian di Jatiluwih.
- Bagi petani Bali, subak merupakan manifestasi dari konsep hubungan baik dengan tuhan, manusia, dan alam.
- Setelah penetapan sebagai WBD, jumlah turis ke Jatiluwih terus naik tiap tahun. Begitu pula dengan pendapatan dari tiket masuk.
Pada 2012, Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan sistem subak di Bali sebagai warisan budaya dunia (WBD). Kawasan WBD ini berada di lima wilayah kabupaten yaitu Bangli, Gianyar, Tabanan, Buleleng, dan Badung. Luasnya lebih dari 19.500 hektar.
Jatiluwih, kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel, Tabanan bisa disebut sebagai ikon subak sebagai WBD. Tiga tahun terakhir lebih dari 200.000 turis domestik dan mancanegara mengunjungi kawasan ini tiap tahun.
Namun, banyaknya turis justru menjadi ancaman bagi masa depan Jatiluwih. Begitu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, Jatiluwih hanya dianggap sebagai daerah tujuan pariwisata, bukan lagi lahan pertanian yang harus dilestarikan.
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari serial yang akan melihat bagaimana kondisi Jatiluwih khususnya dan subak Bali umumnya setelah penetapan sebagai WBD sejak tujuh tahun lalu.
***
Matahari beranjak naik di persawahan Jatiluwih pada Kamis (18/04/2019) lalu. Cuaca cerah di areal persawahan di kaki Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan ini. Persawahan ini berjarak sekitar 50 km dari Denpasar. Lokasinya di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Pada bulan April, tanaman padi lokal di Jatiluwih memasuki umur empat bulan. Panen masih dua bulan lagi. Hamparan padi lokal Bali masih menghijau dengan bulir-bulir padi mulai merunduk di pucuk-pucuknya.
I Made Gendra, 73 tahun, duduk di gubuknya yang terbuat dari bambu. Tak sekadar menjadi tempat rehat, gubuk itu adalah juga tempatnya menggantungkan pendapatan tambahan saat ini. Gubuk itu sekaligus warung tempat dia menjajakan aneka minuman dan makanan.
Dagangan Gendra antara lain beragam kripik: keladi, singkong, pisang. Ada pula beras putih, beras merah, dan ketan. Padi dalam bentuk buliran yang masih terikat dan kepala muda utuh melengkapi gubuk persis di samping jalur jalan-jalan (trekking) utama persawahan Jatiluwih itu.
“Sekadar ada saja. Biar bisa numpahin unek-unek. Daripada di rumah saja,” katanya.
Turis hilir mudik di samping gubuk milik Gendra. Sebagian hanya berlalu begitu saja ketika kakek tiga cucu itu menawarkan dagangannya. Sebagian lain berhenti untuk bertanya atau sekadar foto-foto dengan Gendra.
“You are so beautiful,” kata salah satu turis dari Kanada yang memotret Gendra dengan berasnya. Namun, si turis ini sama sekali tidak membeli dagangan. Selesai berfoto, dia ngobrol sebentar lalu pergi.
Toh, bagi Gendra itu tak masalah. “Yang penting bisa cari hiburan,” lanjutnya.
Dari semula hanya bertani, Gendra kini turut menikmati kue pariwisata di kawasan sawahnya. Tak sekadar bercocok tanam padi dan palawija, dia juga membuka gubuk bambu sebagai warung aneka jajanan.
baca : Beginilah Nasib Subak di Bali
Berubah
Gendra hanyalah salah satu petani yang kini menambah profesi di Jatiluwih. Dari sekadar bertani, kini mereka juga membuka usaha kecil-kecilan. Dengan modal Rp500 ribu, petani seperti Gendra memulai warung kecil. Pada musim menunggu panen, mereka pun bisa memperoleh pendapatan kotor rata-rata Rp500 ribu per hari. Itu belum dipotong modal dagang.
“Biar orang kecil juga bisa hidup,” lanjutnya.
Perubahan yang dialami Gendra terjadi seiring makin banyaknya turis ke Jatiluwih, kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru.
Setelah ditetapkan sebagai bagian dari Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO pada 2012, jumlah turis terus naik. Pada 2014, jumlah turis asing dan domestik ke Jatiluwih mencapai sekitar 165.144. Meskipun sempat turun pada 2015 menjadi 164.366, pada tahun-tahun selanjutnya turis terus bertambah: 213.509 (2016), 250.973 (2017), dan 277.189 (2018).
Saat ini, turis asing harus membayar Rp40.000 untuk masuk Jatiluwih. Turis domestik Rp15.000.
Maka, naiknya jumlah turis berarti bertambahnya pundi-pundi rupiah di Jatiluwih. Dari semula kurang dari Rp3 miliar pada 2014, pada tahun lalu naik lebih dari tiga kali lipat menjadi hampir Rp9,8 miliar.
baca juga : Subak, Situs Warisan Budaya yang Saat Ini Terancam
Menurut Made Pariana, salah satu pemandu di Jatiluwih, sebagian besar turis yang mengunjungi Jatiluwih berasal dari Eropa dan Australia. Pagi itu, misalnya, dia membawa sepasang turis, bapak dan anak, dari Inggris dan Kanada.
Pariana mengaku biasanya mendapat tamu karena rekomendasi tamu-tamu sebelumnya. Dia tidak terikat dengan satu agen perjalanan, tetapi jualan langsung melalui Facebook dan WhatsApp. Pagi itu dia berpakaian adat Bali madya dengan sarung (kamen) dan ikat kepala (udeng).
“Biasanya turis yang saya handle untuk paket perjalanan lima hari. Jatiluwih pasti masuk salah satu lokasi yang dikunjungi,” ujarnya.
Andrea dari Austria dan Petra dari Italia, termasuk dua turis yang datang ke Bali untuk menikmati Jatiluwih. Tanpa pemandu mereka menyusuri pematang sawah yang sudah dibatu dan beton untuk memudahkan pengunjung tersebut.
“Teraseringnya indah,” kata Andrea. Pendek.
Meskipun tidak ditemani pemandu, Andrea mengaku tahu sedikit informasi tentang subak sebagai sistem irigasi tradisional Bali. Dia membacanya dari buku panduan perjalanan.
Karena keindahannya itu pula, Presiden Amerika Serikat ke-44, Barack Hussein Obama pun sampai mengunjungi Jatiluwih ketika dia ke Bali pada pertengahan 2017 lalu. Saat itu Obama menyusuri kawasan Jatiluwih pada pagi hari dan ngobrol dengan beberapa petani.
menarik dibaca : Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia
Tradisional
Gede Suweden adalah salah satu dari petani di Jatiluwih yang menjaga agar kawasan itu tetap indah dengan teraseringnya. Warga Banjar Gunungsari, Desa Jatiluwih ini juga fasih menjelaskan tata cara petani menjaga Jatiluwih secara lahir (skala) dan batin (niskala).
Suweden menjelaskan subak berperan penting dalam menjaga kelestarian sawah-sawah di Bali, termasuk Jatiluwih. Subak sendiri bisa bermakna dua, sebagai sistem irigasi perairan di sawah dan kelompok petani tradisional.
Sebagai sistem irigasi, subak merupakan teknologi tradisional menyangkut tata cara pembagian air sesama petani. Tata cara ini mulai dari hulu yaitu sumber-sumber air hingga hilir yaitu sawah-sawah petani.
Di sisi lain, sebagai organisasi tani tradisional, subak juga memiliki perangkat dari tingkat paling kecil yaitu kelompok subak atau tempekan subak hingga di tingkat kawasan. Pada umumnya subak yang dikenal adalah di lahan basah atau sawah, tetapi ada pula subak di kebun kering yang biasa disebut subak abian.
Jumlah tiap anggota tempekan subak ini beragam. Rata-rata 30 petani. Pemimpin tempekan subak ini disebut kelihan subak. Di kawasan Jatiluwih terdapat tujuh tempekan subak kecil yang semuanya berhimpun dalam Subak Gede Jatiluwih. Pemimpinnya disebut pekaseh.
Menurut Suweden anggota subak di Bali menerapkan konsep tiga keseimbangan yang disebut Tri Hita Karana dalam praktik pertanian mereka sehari-hari. Tiga keseimbangan itu adalah hubungan baik dengan Tuhan (parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan lingkungan (palemahan).
baca juga : Ekowisata Subak Sembung, Melestarikan Sawah Sekaligus Mencegah Banjir
Secara spiritual, tiap petani memiliki empat pura terkait sistem subak di sawahnya masing-masing. Pura itu berada antara lain di sawah, sumber air, dan desa. Selain berfungsi secara spiritual, pura itu juga ada yang berfungsi sebagai batas sawah antarpetani ataupun ruang untuk berkumpul.
“Tiap tahapan dalam pertanian juga ada upacaranya masing-masing,” ujarnya.
Dari sisi pawongan, Suweden melanjutkan, petani Jatiluwih melakukan kerja gotong royong saat mengerjakan sawahnya mulai dari membajak, membuat benih, hingga panen. Meskipun saat ini makin sedikit petani yang bergotong royong akibat tekanan teknologi, ikatan sebagai anggota subak di kalangan petani masih kuat.
Adapun dari sisi palemahan, petani memerhatikan penggunaan bahan-bahan alami untuk padi lokal. Pada saat menanam padi lokal beras merah, petani tidak boleh menggunakan bahan kimia. Karena itu, tiap petani juga memiliki sapi sebagai sumber pupuk bagi mereka.
Di bagian lahan miring, petani menanam tanaman produktif. Tujuannya untuk melindungi tanah dari erosi dan menyerap air. Pada saat baru selesai menanam padi, petani di Jatiluwih juga sangat memperhatikan estetika. Mereka membersihkan sisi-sisi pematang itu sehingga menciptakan bentuk terasering sawah Bali yang termasyhur.
Namun, kemasyhuran itu kemudian justru menjadi bumerang ketika Jatiluwih menjadi bagian dari WBD yang ditetapkan UNESCO tujuh tahun lalu. Bagi sebagian petani Jatiluwih, penetapan itu justru membawa masalah.