“This is a real good place for living” seru Ronald Roosjen pelancong asal Belanda. Lontaran kekaguman jelas terlihat di matanya saat ia memandang kontur teras khas Subak yang membentang di Jati Luwih, Tabanan Bali. Terhampar didepannya sekitar 350-an hektar areal persawahan padi yang hijau di kelerengan Gunung Batukaru, seperti ingin mengingatkan kembali memori pada tema lukisan klasik era mooi indie. Siang itu, Ronald dan sekitar 70 orang peserta Konperensi Internasional Ecosystem Service Partnership ke-6, sedang mengikuti kunjungan lapang untuk melihat bagaimana pengelolaan Subak dilakukan oleh masyarakat di Jati Luwih.
Meskipun ada beberapa model pengelolaan lahan pertanian sawah terasering seperti yang terdapat di Sumatera, Jawa, Flores, Sulawesi bahkan di Filipina, Subak di Bali berbeda. Steve Lansing, peneliti Arizona University yang telah lebih dari tigapuluh tahun tentang Subak, menyatakan bahwa Subak merupakan sistem pertanian paling demokratis di dunia. Subak menurut Lansing, tidak hanya sekedar pengelolaan mendistribusikan air dari sungai, namun merupakan perwujudan dari sebuah institusi sosial dan religius diantara para petani untuk berbagi tanggung jawab yang adil dari pembagian aliran irigasi persawahan.
“Dari kacamata modern, mungkin Subak tidak efisien, tetapi dapat saya katakan Subak merupakan sistem yang sangat efektif untuk mengelola sumberdaya alam yang ada,” demikian Profesor I Wayan Windia Pengajar dari Universitas Udayana menambahkan tentang peran penting Subak.
Sesuai dengan kepercayaan Hindu Bali, Subak merupakan perwujudan manifestasi Tri Hita Karana (Tiga Hubungan Kesejahteraan), yaitu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya. Sehingga tidak salah, jika dikatakan intisari dari Tri Hita Karana adalah wujud dari nilai filosofi kehidupan di Bali.
Lebih lanjut Windia menjelaskan bahwa Sistem Subak, adalah model yang berperan untuk menghindarkan konflik horisontal diantara para petani sawah. Semua diatur melalui sistem demokratis, dimana terdapat seorang kelian (pengurus Subak) yang diserahi untuk mengatur urusan-urusan terkait pembagian air maupun hubungan sosial diantara anggota Subak.
Dalam sistem Subak terjadi model kerjasama sosial dalam mengelola air, intinya di dalam sistem sosial, bentang lahan (landscape) tidak boleh dirubah. Aliran sungai yang tercipta oleh aliran gunung vulkanik tidak diubah, tetapi diatur aliran airnya untuk memenuhi kebutuhan areal persawahan. Jika terjadi pelanggaran, hukuman yang dijatuhkan, dilakukan melalui pembayaran sanksi denda berupa uang maupun kewajiban melakukan upacara. Karena sifatnya yang dibangun dari bawah (buttom up), pemerintah tidak melakukan intervensi dalam pengelolaan sistem Subak ini.
Sumber air untuk seluruh Subak di Bali berada di danau-danau yang berada di pegunungan pulau Bali. Di bentang lahan Subak Catur Angga Batukaru yang meliputi kawasan Jati Luwih misalnya, air berasal dari Danau Tamblingan yang berada di Kabupaten Buleleng dan aliran sungai yang terbentuk kontur Gunung Batukaru (2.276 m dpl).
Merujuk ke sejarahnya, terasering dan pura dapat ditelusuri hingga inskripsi yang berasal dari abad 10 yang menyebabkan Subak ini merupakan salah satu yang tertua di Bali. Sebagai batas dari areal Subak ini terdapat lima Pura yang sekaligus menjadi batas bagi bentang lahan pertanian. Subak ini dibangun dengan wilayah kelola ekologi yang melingkupi teras persawahan yang mencakup skala seluruh wilayah yang dapat dialiri oleh air dari sungai.
Konversi Lahan, Ancaman Utama Terhadap Kelestarian Subak di Bali
Meskipun telah sejak tahun 2012 Subak dinyatakan menjadi Cultural Landscape World Heritage Site oleh UNESCO, namun hingga sekarang model pengelolaan situs warisan budaya ini masih terus dicari dan dirumuskan. Berbeda dengan warisan budaya yang mati, maka Subak adalah warisan kultural yang hidup, yang dinamis di satu sisi, namun jika tidak dijaga dengan baik akan berubah menjadi rusak bahkan hilang.
Dalam paparannya, Steve Lansing menyebutkan bahwa ancaman terhadap kelestarian Subak adalah disebabkan pesatnya perkembangan pembangunan, termasuk pariwista di dalamnya. Denyut pariwisata yang menyokong ekonomi Bali, tidak hanya menghasilkan dampak positif namun kedepannya dapat menjadi bumerang bagi intisari kehidupan orang Bali dengan filosofi budaya agrarisnya. “Bentang lahan dan tradisi kultural yang sangat terkenal di Bali, telah menyebabkan banyak petani di Bali menjual lahan sawahnya kepada para pengembang, tidak kurang terjadi konversi 1.000 hektar dalam setahun.”
Permasalahan yang terjadi sangatlah sistemik. Ketika sebuah petak sawah dijual untuk dikonversi menjadi bangunan komersial seperti hotel, maka otomatis pajak bumi dan bangunan serta tanah akan menjadi meningkat, tidak saja untuk bidang lahan yang dijual tersebut, namun juga berimbas untuk bidang lahan tetangganya yang berada dalam satu area.
Tentu saja, seorang petani tidak akan mampu untuk membayar pajak yang tinggi yang tidak sebanding dengan penghasilan yang dihasilkannya. Akibatnya, terjadi efek domino, seluruh wilayah yang terbebani oleh pajak yang meningkat akan dilepaskan oleh para petani. Alih-alih membayar pajak tinggi, pada akhirnya mau tidak mau, lahan persawahan produktif terpaksa dijual oleh pemiliknya. Dengan terjadinya efek berantai dari penjualan tanah, pada akhirnya sistem Subak akan kolaps dan dikuatirkan berujung pada kehancuran.
Untuk mendukung Subak, Pemda Bali telah memberikan bantuan dua puluh juta rupiah kepada setiap organisasi petani untuk melestarikan sistem Subak. Bantuan yang diberikan ini adalah untuk mendukung pelestarian budaya seperti mengadakan upacara dan pertanian yang dibutuhkan oleh Subak dari proses tanam hingga padi di panen.
Namun demikian, kelestarian Subak tetap ditentukan oleh para anggota masyarakat yang tergabung dalam Subak itu sendiri. Seperti yang disampaikan oleh I Wayan Kudus, Kelian Subak blok Besi Kalung di Jati Luwih, “Masyarakat termasuk Kelian Subak harus tegas, kalau tidak nanti areal Subak dapat hilang. Karena ini merupakan satu kawasan, maka jika akan diganti menjadi areal bukan sawah, harus mendapatkan ijin dari Kelian untuk persetujuan. Selama ini saya tidak mau memberikan tandatangan jika ada rencana pelepasan seperti ini.”
Kedepan tentunya diperlukan suatu solusi bijak bagi pelestarian sistem Subak di Bali, sebuah mahakarya pengelolaan pertanian warisan leluhur berusia lebih dari seribu duaratus tahun.